Oleh: KH Hafidz Abdurrahman
Menyusuri jejak para sahabat selama di Makkah, tak kuasa kita menahan air mata. Meski tapak-tapak rumah mereka, juga rumah Nabi bersama ibunda Khadijah telah rata dengan tanah, tetapi bayangan apa yang pernah mereka lalukan di tempat ini sungguh tak bisa dihapus dengan mudah.
Pelataran Ka'bah, Hijir Ismail, Shafa, Marwa, Jabal Abi Qubais, Jabal Ajyad, Syi'b Abu Thalib, Jabal Tsur, Jabal Nur, Masjid Bai'at di Mina, Masjid Namirah, Padang Arafah, Jabal Rahmah, Masy'ar al-Haram, Muzdalifah, hingga Ji'ranah dan Hudaibiyyah saat semuanya kita jejaki, rasanya bayangan Nabi dan para sahabat seolah hadir kembali. Jejak-jejak kehidupan mereka tak kan pernah lenyap dari muka bumi, meski telah tertimbun dengan bangunan baru. Selama kita terus mengingati, menghayati dan menghadirkannya kembali. Terutama, saat-saat kita melakukan tafakur, saat melakukan Tarwiyah di Mina, Wukuf di Arafah dan Mabit di Muzdalifah dan Mina.
Terkadang saya bertanya, "Mengapa, Allah menetapkan Mina, Arafah dan Muzdalifah, atau Makkah dan Madinah sebagai tempat berhaji?" Maka, kadang terlintas jawaban, saat saya membaca dan menghayati ayat al-Qur'an, "Inna ha'ulai yuhibbuna al-'ajilata wa yadzaruna wara'ahum yauman tsaqila [Sesungguhnya mereka mencintai kehidupan dunia, dan melupakan hari yang sangat berat [Hari Kiamat] di bekalang mereka]." (Q.s. al-Mursalat: 27). Hari setelah kita dibangkitkan dari kubur itu adalah hari yang sangat berat. Allah menyebutnya dengan "Yauman Tsaqila", dimana terik panas matahari begitu luar biasa menyengat kepala dan tubuh kita. Kita harus antri menunggu giliran, dimintai pertanggungjawaban oleh Allah satu per satu.
Miniatur "Yauman Tsaqila" itu kita temukan, saat lebih dari 4 juta orang berkumpul di Mina, Arafah dan Muzdalifah, dengan terik panas yang luar biasa. Semuanya berkumpul di padang. Saat ini kita memang masih bisa berteduh, tetapi nanti, saat "Yauman Tsaqila" itu benar-benar kita lalu, oh.. tidak bisa dibayangkan betapa beratnya. Maka, kita diperintahkan untuk banyak melakukan tafakur, merenungkan apa yang telah, sedang dan akan kita lakukan dalam hidup ini untuk menghadapi "Yauman Tsaqila" itu.
Maka, saat Khutbah Arafah, kami pun tak kuasa menahan air mata, ketika membayangkan diri kita, dengan dosa-dosa yang tak terkira, dan bagaimana kelak kita akan menghadapi "Yauman Tsaqila". Terlebih, saat kita membandingkan diri yang tertawan dosa ini dengan para sahabat Nabi yang selalu menangis, karena takut kepada Allah, takut menghadapi "Yauman Tsaqila". Bukan takut karena dosa mereka banyak, kata Nabi. Tetapi, takut karena amal mereka tidak diterima oleh Allah SWT. Allah Akbar.
Kalau para sahabat takut amal mereka tidak diterima, membuat mereka berhati-hati dan tidak menambah dosa, sembari terus menangisi kekurangan diri mereka, kita justru merasa aman. Seolah amal kita sudah sempurna, dan sudah diterima oleh Allah SWT. Padahal, yang membuat amal kita diterima oleh Allah itu, karena keikhlasan dan benarnya amal kita. Sementara dua hal ini sulit kita raih dengan sempurna, jika dibanding dengan para sahabat Nabi. Belum lagi, jika ditambah dengan dosa-dosa kita. Anehnya, kita tetap saja sulit menangis, sebagaimana mereka selalu menangis dan bekerja keras untuk terus-menerus menyempurnakan amal perbuatan mereka.
Mereka pun sanggup mengarungi berbagai kesulitan untuk menunaikan panggilan Allah. Begitu Allah memanggil mereka, apapun yang ada di sekitar mereka seketika mereka acuhkan, seolah tidak ada. Begitulah, bagaimana Aisyah menggambarkan Nabi, saat mendengar panggilan adzan, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Begitulah sikap para sahabat, saat mereka mendapat panggilan Allah. Abu Ayyub al-Anshari, meski usianya sudah lebih dari 80 tahun, tetap berangkat menunaikan panggilan jihad, "Infiru khifafan wa tsiqalan.." [Berangkatlah kamu dengan ringan atau berat..] (Q.s. at-Taubah: 41). Begitu juga Thalhah, hingga akhirnya Allah mewafatkan mereka dalam perjalanan di jalan Allah SWT.
Para sahabat yang sudah dijamin surga oleh Allah, melalui lisan mulia Nabi-Nya pun selalu menangis, dan takut, jika kelak amal perbuatan mereka tidak diterima oleh Allah SWT. Mereka takut, saat "Yauman Tsaqila" amal yang mereka harapkan bisa menolong mereka ternyata sia-sia. Boleh jadi, karena amal itu masih banyak dikotori dengan ketidakikhlasan, riya', sum'ah dan kesombongan. Sesuatu yang sangat halus, dan begitu luar biasa lembutnya. Maka, 'Umar pun berandai, "Laitani kuntu mansiya" [Andai saja aku dulu bukan siapa-siapa, dilupaka], saat menjelang ajalnya tiba. Bahkan, Abu Bakar pun sempat berandai-andai menjadi burung, "Ya thairu, ma an'amaka, laitani kuntu mitslaka." [Wahai burung, alangkah enaknya dirimu. Andai saja aku dulu menjadi seperti kamu."
Semuanya itu, karena mereka saking takutnya menghadapi "Yauman Tsaqila". Kita pun mestinya sama. Takut, bagaimana nasib kita saat menghadapi "Yauman Tsaqila" itu. Maka, sebagaimana sahabat, mereka bekerja keras, hingga mereka sanggup berhaji dengan jalan kaki, dari Madinah ke Makkah, Makkah ke Madinah, tidak hanya sekali, bahkan lebih dari 20 kali. Mereka juga sanggup berperang meski terik panas, dan musim kemarau, kering kerontang, dengan bekal yang sangat minim, karena paceklik. Sebagaimana yang mereka lakukan bersama Nabi saat Perang Tabuk, dan peperangan-peperangan lainnya. Semuanya itu untuk menjadi bekal menghadapi "Yauman Tsaqila".
Maka, tercatat selama 10 tahun bersama Nabi, mereka pun lebih dari 79 kali berperang. Pun begitu, mereka malamnya selalu mujahadah, dan air mata mereka pun tumpah, karena takut amal mereka yang begitu luar biasa itu tidak diterima, dan tak cukup untuk menghadapi "Yauman Tsaqila". Mungkin karena mereka paham hadits Nabi, sebagaimana dinukil oleh al-Hafidz Ibn al-Jauzi, "Andai saja Anak Adam sanggup mengerjakan amal perbuatan 100,000 Nabi, 100,000 orang Shiddiq dan 100,000 Syuhada', mereka mengira itu bisa menyelamatkan mereka dari neraka, padahal tidak." Allah Akbar.
Semoga kita mendapatkan ampunan dari Allah atas dosa-dosa dan kekhilafan kita. Semoga amal kita diterima oleh Allah SWT, dan dengannya Allah menempatkan kita bersama Nabi dan para sahabatnya di dalam Jannah-Nya. Amin ya Rabbal al-Alamin.
Dakwah Adalah Cinta
Selasa, 27 September 2016
Jumat, 02 September 2016
Dari Ji'ranah Kita Belajar Mengelola Kecewa
Di Ji’ranah hari itu ada kecewa. Ada kebijakan Rasulullah yang tak dipahami.
Ada keputusan yang disalahmengerti. Sangat manusiawi kelihatannya. Orang-orang Anshar merasa disisihkan selepas perang Hunain yang menggemparkan.
Mereka telah berjuang total. Mereka berperang di sisi Rasul dengan penuh kecintaan. Tapi, harta rampasan perang lebih banyak dibagikan pada orang-orang Quraisy dan kabilah-kabilah Arab lainnya. Sementara pada mereka, seakan hanya memperoleh sisa.
Padahal, semua orang tahu, sebagaimana Rasul pun juga mengetahuinya: merekalah yang berjuang dengan sepenuh iman ketika orang-orang Quraisy dan kabilah Arab itu lari tunggang langgang pada serangan pertama pasukan Malik bin Auf An-Nashry.
Maka, hari itu di Ji’ranah, ada yang kasak-kusuk, ada yang memercikan api, “Demi Allah, Rasulullah saw telah bertemu kaumnya sendiri!” Kalimat itu jelas sarat kekecewaan.
Hari itu juga utusan Anshar, Sa’d bin Ubadah menemui Sang Rasul. Hatinya gusar. Ia ingin segera sampaikan apa yang dirasakan sahabat Anshar pada beliau. Ada yang mengganjal di hati, tapi (mungkin) mereka anggap tak layak untuk disampaikan. Sa’d bin Ubadahlah yang memberanikan diri.
“Ya Rasulullah, dalam diri kaum Anshar ada perasaan mengganjal terhadap engkau, perkara pembagian harta rampasan perang. Engkau membagikannya pada kaummu sendiri dan membagikan bagian yang teramat besar pada kabilah Arab, sementara orang-orang Anshar tidak mendapat bagian apapun.”
Kita menangkap protes itu disampaikan dengan lugas tapi tetap santun. Ada kecewa, tapi iman mereka mencegahnya dari sikap yang merendahkan. Ada ganjal di hati, tapi bukan amarah tak terkendali.
“Lalu, kamu sendiri bagaimana Sa’d?” tanya Sang Rasul.
“Wahai Rasulullah, aku tidak punya pilihan lain, selain harus bersama kaumku.” Jawab Sa’d menjelaskan perasaannya. Jujur. Apa adanya. Ia tidak menutup-nutupi bahwa dirinya juga kecewa. Rasulullah lalu meminta mengumpulkan semua orang Anshar. Pada mereka Rasul menenangkan.
“Bukankah dulu aku datang dan kudapati kalian dalam kesesatan, lalu Allah berikan kalian petunjuk? Bukankah dulu saat aku datang kalian saling bertikai, lalu Allah menyatukan hati kalian? Bukankah dulu saat aku datang, kalian dalam keadaan miskin, lalu Allah mengayakan kalian?”
Orang-orang Anshar itu membenarkan. Mereka memang sedang dilanda kecewa, tapi lihatlah betapa mereka memilih diam, dan tidak balik menyerang dengan kata-kata dan argumentasi yang dapat diungkapkan.
Disebabkan iman sematalah mereka bersikap hormat pada Sang Rasul, meski mereka teramat kecewa. Saya bayangkan hari itu di Ji’ranah. Para sahabat yang mengelilingi Rasulullah.
“Demi Allah, jika kalian mau kalian bisa mengatakan, ‘Engkau dulu datang kepada kami dalam keadaan didustakan, lalu kami membenarkan. Engkau dulu datang kepada kami dalam keadaan lemah, lalu kami menolongmu. Engkau dulu datang kepada kami dalam keadaan terusir, lalu kami memberikan tempat. Engkau dulu datang kepada kami dalam keadaan miskin, lalu kami yang menampungmu.”
Saya bayangkan Rasul yang mulia menghela nafas sejenak. Dapat kita rasakan kata-kata itu menggetarkan dada orang-orang yang diliputi iman itu. Saya bayangkan tempat itu mendadak senyap, kecuali suara Rasulullah yang teduh. Beberapa sahabat mulai menitikkan airmata.
“Apakah ada hasrat di hati kalian pada dunia?” tanya Rasulullah tanpa susulan jawab dari para sahabat. Semua terdiam.
Pertanyaan itu mengetuk sisi terdalam dari jiwa para sahabat. Jiwa yang sejak semula disemai iman.
“Padahal, dengan dunia itu aku hendak mengambil hati segolongan orang agar masuk Islam.” Rasul mulai menjelaskan alasan kebijakannya.
Saya bayangkan para sahabat Anshar yang mengangguk paham dalam diam. “Sedangkan terkait keimanan kalian, aku sudah teramat percaya.” Kata-kata itu begitu dalam dan jujur.
Tetes airmata tak kuasa lagi ditahan. Terlebih ketika Rasulullah melanjutkan, “Apakah kalian tidak berkenan di hati jika orang-orang lain pergi membawa onta dan domba, sementara kalian pulang bersama Rasul Allah?”
Sebuah perbandingan yang kontras. Kesadaran itu hadir tidak tiba-tiba. Tangis para sahabat meledak. Jika bukan karena iman, kekuatan apa yang mampu menghadirkan kesadaran setelah kekecewaan? Sungguh, iman merekalah yang menyebabkan semua itu terjadi.
Kisah di atas teramat panjang. Dari dalamnya kita belajar bagaimana dalam komunitas kebaikan sekalipun, kekecewaan itu nyaris tak dapat dielakkan.
Setiap kita mungkin pernah kecewa. Sebabnya bisa bermacam-macam. Tapi sebagiannya karena kita tak persepaham dengan orang lain; apakah kelakuannya, kebijakannya, pernyataannya, perhatiannya, atau apapun. Kita pun bisa kecewa karena merasa tidak mendapat dukungan yang memadai. Kecewa itu bisa muncul dimana-mana, bahkan dalam dakwah sekalipun.
Di dalam bilik-bilik rumah bisa lahir kekecewaan. Suami kecewa pada istri atau sebaliknya, istri kecewa dengan suami. Di ruang-ruang kerja, kekecewaan dapat juga timbul. Di manapun ketika kita berinteraksi dengan orang lain, kekecewaan bisa hadir tiba-tiba.
Dalam dakwah, kecewa bisa juga tumbuh bagai ilalang. Sebabnya bisa bermacam-macam. Gagasan yang ‘dianggap’ tidak diperhatikan, selera-selera yang tak sama, kebijakan qiyadah yang tak memenuhi keinginan kita, perilaku dan tindakan ikhwah, dan yang lain.
Hanya kekuatan imanlah yang mampu menjaga kita dari penyikapan yang salah saat kecewa. Sebagian di antaranya menyikapi dengan marah, kalap, bahkan bisa juga dengan ‘mutung.’ Sebagian yang lain menyikapi dengan cara-cara yang lebih arif dan bijak.
Jika kecewa datang menggerogoti, periksalah kembali orientasi kita. Selialah motif kita. Periksa pula niat-niat kita dalam beramal dan beraktivitas. Inilah saat paling tepat untuk menakar motif dan orientasi kita.
Semoga pengiring atas rasa kecewa adalah sikap lapang dada, semangat beramal yang makin menggelora, keikhlasan yang mempesona, dan penghormatan pada sesama.
Jangan biarkan, kekecewaan ditanggapi dengan aktivitas yang tidak memuliakan kita. Jangan pula sampai kekecewaan menyeret kita pada devisit iman dan juga devisit emosi.
Sedari awal, kita memilih jalan dakwah, bukan karena ingin selalu disenangkan. Bukan pula hasrat untuk terus dimenangkan. Kadang tak semua hasrat hati mesti terturuti. Begitulah tabiat perjalanan ini; kesediaan untuk berjalan bersama, mesti diikuti lapang dada atas segala kecewa yang muncul menggoda.
Kita memilih jalan dakwah semata karena berharap ridha Allah. Seluruh rasa kecewa itu hanyalah liliput atas kerinduan kita yang besar atas keridlaan Allah.
Semoga Allah menjaga keistiqamahan kita dan menguatkan keikhlasan kita dalam beramal. Aamiin... []
Senin, 22 Agustus 2016
Keutamaan Iman, Jihad dan Haji
Oleh: Arief B. Iskandar
Abu Hurairah ra. menuturkan, suatu saat Rasulullah saw. pernah ditanya, “Amal apa yang paling utama?” Beliau menjawab, “Iman kepada Allah.” Beliau ditanya lagi, “Lalu apa?” Beliau menjawab, “Jihad fi sabilillah.” Beliau ditanya lagi, “Kemudian apa lagi?” Beliau menjawab lagi, “Haji mabrur.” (HR al-Bukhari).
Jika memang urut-urutan jawaban Rasulullah saw. di atas menunjukkan tingkat keutamaan di antara ketiga amal itu, berarti iman menempati urutan pertama sebagai amal yang paling utama; disusul yang kedua, jihad fi sabilillah; dan yang terakhir adalah haji mabrur.
Mengapa iman ditempatkan di tempat tertinggi? Jawabannya jelas, karena seluruh amal, termasuk jihad fi sabilillah dan haji, tak akan pernah diterima oleh Allah SWT, apalagi dibalas dengan balasan pahala, jika tidak didasarkan pada keimanan kepada-Nya. Karena itu percuma saja orang kafir menunaikan shalat atau shaum, berjihad, bahkan bersedekah miliaran rupiah, misalnya. Pasalnya, semua amalannya itu bakal sia-sia di mata Allah SWT, sebagaimana firman-Nya (yang artinya):
Sesungguhnya kaum kafir itu, baik harta maupun anak-anak mereka, sedikitpun tidak akan dapat menolak azab Allah. Mereka itu penghuni neraka dan mereka kekal di dalamnya (TQS Ali Imran [3]: 116).
Allah SWT juga berfirman (yang artinya):
Orang-rang yang kafir terhadap Tuhan mereka, amal-amal mereka itu seperti debu yang tertiup angin pada hari yang amat dingin. Mereka tidak memperoleh sedikit pun manfaat dari apa yang mereka usahakan (TQS Ibrahim [14]: 18).
Karena itulah wajar saat Sufyan bin Abdillah ats-Tsaqafi memohon kepada Nabi saw., “Katakanlah kepadaku ucapan dalam Islam yang tidak akan saya tanyakan lagi kepada seorang setelah engkau,” beliau bersabda, “Katakanlah, ‘Aku beriman kepada Allah.’ Lalu beristiqamahlah.” (HR Muslim dan Ahmad).
Lalu iman yang bagaimana, yang paling utama? Nabi saw. menegaskan, “Iman yang paling utama adalah yang tidak ada sedikit pun keraguan di dalamnya.” (HR Ahmad).
Beliau juga menegaskan, “Iman yang paling utama adalah engkau menyadari bahwa engkau selalu bersama Allah di mana pun engkau berada.” (HR ath-Thabarani).
Lalu tentang jihad (perang) di jalan Allah, mengapa ada di urutan kedua setelah iman? Karena begitu besarnya pahala bagi orang yang berjihad fi sabilillah, apalagi jika kemudian wafat di medan jihad (perang) alias mati syahid. Syahid di jalan Allah, kata Nabi saw., bisa mengantarkan seseorang ke dalam surga-Nya tanpa hisab. Karena begitu besarnya keutamaan jihad fi sabilillah, Rasulullah saw. pun pernah bersabda, “Berjaga-jaga satu jam saja (dalam rangka jihad) di jalan Allah lebih baik daripada menghidupkan Lailatul Qadar di sisi Hajar al-Aswad.” (HR Ibn Hibban).
Bayangkan, menghidupkan Lailatul Qadar—yang notabene keutamannya sama dengan seribu bulan—apalagi di Masjid al-Haram bisa dikalahkan dengan amal jihad fi sabilillah. Karena itulah, banyak riwayat yang menyebutkan betapa para Sahabat selalu berlomba-lomba untuk memenuhi panggilan jihad atau perang di jalan Allah SWT ini demi meraih mati syahid.
Pertanyaannya: Mengapa saat ini orang lebih merindukan haji daripada jihad fi sabilillah? Mengapa orang lebih banyak yang bercita-cita untuk naik haji, tetapi sedikit sekali yang berhasrat untuk bisa berjihad di jalan Allah? Mengapa pula ada orang rela menabung bertahun-tahun demi bisa berangkat ke Baitullah dan menunaikan haji, tetapi langka orang menabung untuk bisa berangkat ke medan jihad fi sabilillah? Padahal jelas, kedudukan jihad fi sabilillah lebih utama daripada ibadah haji. Di dalam hadis di atas, jihad fi sabilillah pun disebutkan lebih dulu oleh Nabi saw. sebelum haji mabrur.
Jika pun saat ini tidak memungkinkan bagi kita berjihad (berperang) di jalan Allah, sebetulnya ada amalan yang pahalanya setara dengan pahala jihad fi sabilillah. Rasul saw. bersabda, “Jihad yang paling utama adalah menyampaikan kebenaran di hadapan penguasa zalim.” (HR Abu Dawud).
Terakhir, tentang haji mabrur, umumnya sudah banyak diketahui keutamannya sehingga hampir setiap Muslim pasti bercita-cita untuk bisa menunaikan ibadah haji. Keutamaannya yang pasti adalah, sebagaimana yang disabdakan Nabi saw., “Haji mabrur itu, tidak ada balasan lain atasnya, kecuali surga.” (HR Ahmad).
Pertanyaannya: Sudahkah kita benar-benar beriman kepada Allah SWT? Sudahkah kita berjihad—atau paling tidak melakukan amalan yang pahalanya setara dengan jihad—di jalan-Nya? Sudahkah kita menunaikan haji sekaligus meraih haji mabrur?
Semoga saja kita bisa meraih tiga keutamaan sekaligus: beriman secara benar kepada Allah SWT, mampu melaksanakan jihad fi sabilillah, sekaligus dapat menunaikan ibadah haji dengan meraih predikat haji mabrur. Amin.
Wa mâ tawfîqi illâ bilLâh. []
Rabu, 10 Agustus 2016
Antara Al-Qadhi Taqiyuddin al-Nabhani & Ibnu 'Atha'illah al-Iskandari -rahimahumallâh-
Al-Qadhi Taqiyuddin al-Nabhani -rahimahullâh- (w. 1977 M) menjelaskan perkara asasi di awal pembahasan kitab pertama yang mesti dikaji setiap syabab Hizbut Tahrir, yakni pembahasan mengenai al-nahdhah (kebangkitan).
Menariknya, kata al-nahdhah pun kita temukan dalam untaian kalimat Ibnu ‘Atha’illah al-Iskandari al-Syadzili -rahimahullâh- (w. 1309 M) dalam kitabnya yang monumental, Al-Hikam:
لا تَصْحَبْ من لا يُنْهِضُك حالُه ولا يدلك على الله مقالُه
“Janganlah engkau berkawan dengan orang yang keadaannya tidak akan membangkitkanmu (baca: menyadarkanmu-pen.) dan tidak pula menunjukkan engkau kembali kepada Allah.”
Al-Hafizh Muhammad Hayat al-Sindi -rahimahullâh- (w. 1163 H) menjelaskan makna (لا تصحب من لا ينهضك) yakni tidak menyokongmu, membimbingmu kepada Allah dan keta’atan kepada-Nya karena hidupnya bukan karena Allah. Makna (ولا يدلك على الله مقاله) karena kesibukannya terhadap selain Allah. Dan hubungan pertemanan sangat berpengaruh dalam kehidupan agamanya. (Muhammad Hayat al-Sindi, Syarh al-Hikam al-‘Athâ’iyyah, Beirut: Mu’assasat al-Ma’ârif, cet. I, 1431 H/2010, hlm.37)
Untaian nasihat indah di atas mengisyaratkan bahwa kebangkitan atau kesadaran seseorang bisa diraih dari teman pergaulan, yakni dengan memerhatikan lingkungan pergaulan dan pertemanan. Dari untaian nasihat Ibnu 'Atha'illah di atas, sudah semestinya mendorong seseorang bersemangat bergabung dalam barisan dakwah memperjuangkan syari'at Allah, bersama-sama dengan para ikhwah fillah yang menasihati dirinya dan orang lain saling memperbaiki diri. Konsep ini sebenarnya konsep yang sudah diajarkan yang mulia Rasulullah -shallallahu 'alayhi wa sallam-. Hadits dari Abu Sa’id al-Khudri -radhiyallahu 'anhu-, bahwa ia mendengar Rasulullah -shallallahu 'alayhi wa sallam- bersabda:
«لاَ تُصَاحِبْ إِلاَّ مُؤْمِنًا وَلاَ يَأْكُلْ طَعَامَكَ إِلاَّ تَقِيٌّ»
“Janganlah engkau bergaul erat kecuali dengan orang beriman, dan jangan ada yang memakan makananmu kecuali orang-orang yang bertaqwa.” (HR. Ahmad, Al-Tirmidzi, dll)
Maka mari bergabung bersama gerakan dakwah yang memperjuangkan tegaknya Al-Islam dalam kehidupan: http://hizbut-tahrir.or.id/gabung/
Dan sedikit informasi, menurut Dr. HM Afif Hasan, konon karena kata itulah (al-nahdhah) Kyai Hasyim Asy’ari -rahimahullâh- sadar dan bangkit mendirikan sebuah Ormas Islam yang bernama Nahdlatul Ulama.
Rabu, 27 Juli 2016
AGAR LISAN KITA MULIA
Oleh: Arief B. Iskandar
Salah satu nikmat terbesar bagi setiap manusia adalah lisannya. Tanpa lisan, manusia tak bisa berkata-kata. Sayang, tidak semua manusia memanfaatkan lisannya untuk hal-hal yang berguna. Tak sedikit mereka menggunakan lisannya untuk hal-hal yang sia-sia bahkan mengandung unsur dosa; berkata-kata kotor, keji, berdusta, menggunjing, memfitnah, bersumpah palsu, merayu wanita asing, dsb.
Padahal setiap orang yang dianugerahi nikmat, termasuk nikmat memiliki lisan, pasti akan dimintai pertanggung jawaban. Allah SWT berfirman: Kemudian pasti kalian akn ditanya pada hari itu (Hari Kiamat) tentang nikmat (QS at-Takatstsur [102]: 8).
Karena itu sudah selayaknya setiap Muslim memperhatikan, menjaga dan memelihara lisannya. Hendaklah setiap Muslim hanya menggunakan lisannya untuk hal-hal yang bermanfaat dan mendatangkan pahala. Jika tidak sanggup, maka Baginda Rasulullah saw. telah memberikan pedoman, “Man kâna yu’minu bilLâh wa al-yawm al-akhir, qul khayran aw liyashmuth (Siapa saja yang mengimani Allah dan Hari Akhir, katakanlah yang baik atau diamlah).” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Karena itu, Ibn Abbas, sebagaimana dituturkan oleh Said bin Zubair, pernah suatu kali memegang lisannya seraya berkata, “Qul khayran taghnam aw ushmuth taslam qabla an tandam (Hai lisan! Katakanlah yang baik, niscaya kamu beruntung; atau diamlah, niscaya kamu selamat, sebelum kamu menyesal).” (Ahmad bin Hanbal, Fadhâ’il ash-Shahâbah, II,952).
Dalam riwayat lain, sebagaimana disebutkan oleh Said al-Jurairi, bahwa Ibn Abbas pernah berkata sambil memegang lisannya, “Celakalah kamu! Katakanlah yang baik, niscaya kamu beruntung. Diamlah dari berkata-kata buruk, niscaya kamu selamat.” Seseorang lalu berkomentar, “Mengapa Anda berkata demikian?” Ibn Abbas menjawab, “Karena saya pernah mendengar bahwa pada Hari Kiamat nanti, seorang hamba sangat membenci lisannya (karena keburukan lisannya saat di dunia, pen.).” (Al-Asbahani, Hilyah al-Awliyâ’, I/327, Al-Bayhaqi, Syu’ab al-Imân, 7/16).
Kata-kata Iabn Abbas ini selaras dengan sabda Baginda Rasulullah saw., “Inna aktsara khathâyâ ibn âdam fî lisânihi (Sesungguhnya kesalahan manusia yang paling banyak bersumber dari lisannya).” (Ath-Thabrani, Mu’jam al-Kabîr, X/197)
Karena itulah, agar lisan kita mulia dan jauh dari kehinaan di dunia maupun di akhirat, setidaknya ada tiga hal yang perlu dilakukan. Pertama: Lisan kita banyak digunakan untuk berzikir kepada Allah SWT. Saat Muadz bin Jabbal bertanya kepada Nabi saw., “Wahai Rasulullah, amal apa yang paling utama?” Beliau menjawab, “Lisanmu senantiasa basah karena selalu berzikir kepada Allah.” (Ibn al-Mubarak, Az-Zuhd wa ar-Raqa’iq, I/328).
Seorang Arab pedalaman juga pernah bertanya kepada Rasulullah saw., “Sesungguhnya bagi saya syariah Islam itu banyak jumlahnya. Adakah satu saja yang bisa menghimpun semuanya?” Beliau menjawab, “Lisanmu selalu basah karena senantiasa banyak berzikir kepada Allah.” (HR ath-Thabrani).
Kedua: lisan kita digunakan untuk banyak memberikan nasihat kepada sesama. Sebab, sabda Nabi saw., “Ad-Dîn an-Nashîhah (Agama adalah nasihat).” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Nabi saw. juga bersabda, “Afdhal ash-Shadaqah shadaqah al-lisân (Sedekah yang paling utama adalah sedekah lisan).” (Asy-Suyuthi, Al-Jâmi’ ash-Shaghîr, I/91). Yang dimaksud di antaranya adalah lisan yang mengandung hidayah yang bisa menyelamatkan penuturnya dan orang lain di akhirat (Al-Munawi, Faydh al-Qadîr, 8/102).
Ketiga: Lisan kita digunakan untuk dakwah dan melakukan amar makruf nahi mungkar. Lisan yang mengandung unsur dakwah adalah lisan terbaik dalam pandangan Allah SWT, sebagaimana firman-Nya (yang artinya): Siapakah yang lebih baik ucapan (lisan)-nya dibandingkan dengan orang yang berdakwah (menyeru manusia) kepada Allah, beramal shalih dan berkata, “Sesungguhnya aku adalah bagian dari kaum Muslim.” (TQS Fushilat [41] 33).
Demikian pula lisan yang digunakan untuk melakukan amar makruf nahi mungkar, apalagi terhadap para penguasa zalim. Rasulullah saw. bersabda, “Afdhal al-jihâd kalimatu haqq[in] ‘inda sulthân jâ’ir
[in] (Jihad yang paling utama adalah menyampaikan kata-kata kebenaran di hadapan penguasa zalim).” (HR ath-Thabrani, al-Baihaqi dan al-Hakim).
Dengan itulah, di antaranya, lisan kita akan menjadi mulia, di dunia maupun di akhirat.
Semua hal yang berkaitan dengan lisan ini berlaku pula untuk tulisan (seperti yang banyak dilakukan oleh banyak orang di media sosial (facebook, BBM, WA, Telegram, dll) akhir-akhir ini. Sebab, sebagaimana dikatakan oleh sebagian ulama, “Al-Kitâbah fî mahal al-maqâlah (Tulisan itu sama kedudukannya dengan ucapan [lisan]).” Karena itu tulisan kita pun, sebagaimana lisan kita, bisa menjadikan kita mulia atau hina, di dunia maupun di akhirat. Semua itu bergantung pada apakah dalam lisan dan tulisan kita terkandung usur zikir kepada Allah SWT, nasihat, dakwah dan amar makruf nahi mungkar ataukah tidak.
Wa mâ tawfîqi illâ bilLâh. []
Kamis, 14 Juli 2016
HAKIKAT IBADAH: TUNDUK DAN PASRAH KEPADA ALLAH SWT
Oleh: Arief B Iskandar
Allah SWT menciptakan manusia dan jin tidak lain untuk beribadah (QS adz-Dzariyat [51]: 56).
Ibadah tak lain merupakan ketundukan dan kepasrahan secara total seorang hamba kepada penciptanya, Allah SWT. Ketundukan dan kepasrahan kepada Allah tentu tidak cukup diekspresikan lewat ibadah-ibadah ritual seperti shalat, tetapi juga harus dibuktikan dalam seluruh pelaksanaan hukum-hukum Allah SWT di luar shalat; baik dalam perkara muamalah (ekonomi, politik, pemerintahan sosial, pendidikan, dll) maupun 'uqubat (hukum dan peradilan).
Imam Ja'far ash-Shadiq, sebagaimana dikutip dalam kitab Fath ar-Rabbani wa Faydh arh-Rahmani karya Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, pernah berkata, “Hakikat ubudiah (penghambaan) seseorang terhadap tuannya adalah: ia menyadari bahwa apa yang ada pada dirinya hakikatnya bukanlah miliknya, tetapi milik tuannya; ia tunduk dan patuh tanpa membantah terhadap setiap perintah tuannya; ia tidak membuat aturan apapun selain menerima aturan yang dibuat tuannya untuk dirinya.”
Dengan demikian, ibadah pada dasarnya adalah kepatuhan dan kepasrahan total kepada Zat yang disembah, yakni Allah SWT, dengan selalu menaati seluruh hukum-hukum-Nya.
Terkait dengan itu, Allah SWT berfirman (yang artinya): ”Demi Tuhanmu, tidaklah mereka beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim dalam apa saja yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak menemukan di dalam diri mereka satu rasa keberatan pun terhadap apa yang kamu putuskan, dan mereka menerima putusanmu itu dengan sepenuh hati” (TQS an-Nisa' [4]: 65).
Ada sejumlah riwayat terkait dengan sababun-nuzul (sebab turunnya) ayat ini. Salah satunya adalah riwayat dari Ummu Salamah, yang menyebutkan bahwa Zubair bin Awwam pernah mengadukan seseorang kepada Baginda Rasulullah saw. dalam suatu perkara. Baginda Rasulullah kemudian mengeluarkan putusan dalam perkara tersebut yang memenangkan Zubair. Orang tersebut dengan nada keberatan lalu berkata, “Engkau memenangkan dia karena dia adalah keponakanmu.” Kemudian turunlah ayat ini (Dikeluarkan oleh Al-Hamidi dalam Musnad-nya, Sa'id bin Manshur, Abdun bin Hamid, Ibn Jarir, Ibn al-Mundzir dan Ibn Hibban dalam al-Kabir).
Dalam riwayat lain, dalam tafsirnya al-Hafizh menuturkan riwayat dari Utbah bin Dhamrah dari bapaknya, bahwa pernah ada dua orang yang berperkara, yang sama-sama mengadukan perkaranya kepada Baginda Rasulullah saw. Beliau lalu mengeluarkan putusan hukum atas perkara tersebut yang memenangkan orang yang dipandang benar dan mengalahkan lawannya yang dianggap salah. Namun, orang yang dikalahkan perkaranya berkata, “Aku tidak rela.”
Yang memenangkan perkara lalu bertanya, “Lalu apa yang engkau mau?”
Ia menjawab, “Kita pergi ke Abu Bakar ash-Shiddiq (untuk meminta putusannya, pen.).”
Keduanya lalu menemui Abu Bakar ra. Beliau lalu berkata, “Kalian berdua harus mematuhi putusan Rasulullah saw.”
Namun, pihak yang dikalahkan menolak dan tetap tidak rela. “Sekarang mari kita menjumpai Umar bin al-Khaththab.”
Lalu keduanya menemui Umar ra. Namun, Umar bukan memberikan putusan. Beliau malah masuk ke rumahnya dan keluar kembali dengan membawa pedang di tangannya. Seketika beliau menebaskan pedang itu ke leher orang yang enggan menerima putusan Rasulullah itu. Kemudian turunlah ayat di atas.
Riwayat senada dituturkan oleh Al-Hakim dan at-Tirmidzi dalam Nawadir al-Ushul dari Makhul. Hanya saja ditambahkan, bahwa setelah membunuh orang munafik yang tidak menerima putusan itu, Umar kemudian berkata, “Begitukah hukuman bagi orang yang tidak rela dengan putusan Rasulullah saw.”
Lalu turunlah Malaikat Jibril kepada Rasulullah sembari memberitahu beliau, “Sesungguhnya Umar telah membunuh orang itu. Allah telah memisahkan kebenaran dan kebatilan melalui lisan Umar.”
Karena itulah kemudian Umar disebut dengan al-Faruq (as-Suyuthi, Ad-Durr al-Mantsur fi Ta'wil bi al-Ma'tsur, III/161-162. Lihat pula: Ash-Shabuni, Shafwah at-Tafasir, I/260-261).
Jelas, ketundukan secara total terhadap hukum-hukum Allah merupakan bukti hakiki keimanan seorang Muslim. Inilah yang juga diisyaratkan secara tegas oleh Allah SWT dalam firman-Nya (yang artinya): ”Sesungguhnya ucapan orang-orang Mukmin itu--manakala mereka diseru kepada Allah dan Rasul-Nya untuk menghukumi mereka--adalah ungkapan, ’Kami mendengar dan kami taat.’ Merekalah orang-orang yang beruntung” (TQS an-Nur [24]: 51).
Sayangnya, saat ini kaum Muslim berada dalam sistem kapitalis-sekuler dan tidak diatur dengan hukum-hukum Allah SWT. Sistem sekuler, dengan demokrasi sebagai pilar utamanya, terbukti telah menjauhkan kaum Muslim dari ketundukan terhadap hukum-hukum Allah SWT. Karena itu, mau tidak mau, umat ini harus segera mengenyahkan sistem sekuler dan bersegera menerapkan syariah-Nya dalam seluruh aspek kehidupan, tentu dalam institusi Khilafah 'ala Minhaj an-Nubuwwah. Hanya dengan itulah kaum Muslim bisa benar-benar tunduk dan pasrah secara total kepada Allah SWT.
Wa ma tawfiqi illa bilLah. []
Allah SWT menciptakan manusia dan jin tidak lain untuk beribadah (QS adz-Dzariyat [51]: 56).
Ibadah tak lain merupakan ketundukan dan kepasrahan secara total seorang hamba kepada penciptanya, Allah SWT. Ketundukan dan kepasrahan kepada Allah tentu tidak cukup diekspresikan lewat ibadah-ibadah ritual seperti shalat, tetapi juga harus dibuktikan dalam seluruh pelaksanaan hukum-hukum Allah SWT di luar shalat; baik dalam perkara muamalah (ekonomi, politik, pemerintahan sosial, pendidikan, dll) maupun 'uqubat (hukum dan peradilan).
Imam Ja'far ash-Shadiq, sebagaimana dikutip dalam kitab Fath ar-Rabbani wa Faydh arh-Rahmani karya Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, pernah berkata, “Hakikat ubudiah (penghambaan) seseorang terhadap tuannya adalah: ia menyadari bahwa apa yang ada pada dirinya hakikatnya bukanlah miliknya, tetapi milik tuannya; ia tunduk dan patuh tanpa membantah terhadap setiap perintah tuannya; ia tidak membuat aturan apapun selain menerima aturan yang dibuat tuannya untuk dirinya.”
Dengan demikian, ibadah pada dasarnya adalah kepatuhan dan kepasrahan total kepada Zat yang disembah, yakni Allah SWT, dengan selalu menaati seluruh hukum-hukum-Nya.
Terkait dengan itu, Allah SWT berfirman (yang artinya): ”Demi Tuhanmu, tidaklah mereka beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim dalam apa saja yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak menemukan di dalam diri mereka satu rasa keberatan pun terhadap apa yang kamu putuskan, dan mereka menerima putusanmu itu dengan sepenuh hati” (TQS an-Nisa' [4]: 65).
Ada sejumlah riwayat terkait dengan sababun-nuzul (sebab turunnya) ayat ini. Salah satunya adalah riwayat dari Ummu Salamah, yang menyebutkan bahwa Zubair bin Awwam pernah mengadukan seseorang kepada Baginda Rasulullah saw. dalam suatu perkara. Baginda Rasulullah kemudian mengeluarkan putusan dalam perkara tersebut yang memenangkan Zubair. Orang tersebut dengan nada keberatan lalu berkata, “Engkau memenangkan dia karena dia adalah keponakanmu.” Kemudian turunlah ayat ini (Dikeluarkan oleh Al-Hamidi dalam Musnad-nya, Sa'id bin Manshur, Abdun bin Hamid, Ibn Jarir, Ibn al-Mundzir dan Ibn Hibban dalam al-Kabir).
Dalam riwayat lain, dalam tafsirnya al-Hafizh menuturkan riwayat dari Utbah bin Dhamrah dari bapaknya, bahwa pernah ada dua orang yang berperkara, yang sama-sama mengadukan perkaranya kepada Baginda Rasulullah saw. Beliau lalu mengeluarkan putusan hukum atas perkara tersebut yang memenangkan orang yang dipandang benar dan mengalahkan lawannya yang dianggap salah. Namun, orang yang dikalahkan perkaranya berkata, “Aku tidak rela.”
Yang memenangkan perkara lalu bertanya, “Lalu apa yang engkau mau?”
Ia menjawab, “Kita pergi ke Abu Bakar ash-Shiddiq (untuk meminta putusannya, pen.).”
Keduanya lalu menemui Abu Bakar ra. Beliau lalu berkata, “Kalian berdua harus mematuhi putusan Rasulullah saw.”
Namun, pihak yang dikalahkan menolak dan tetap tidak rela. “Sekarang mari kita menjumpai Umar bin al-Khaththab.”
Lalu keduanya menemui Umar ra. Namun, Umar bukan memberikan putusan. Beliau malah masuk ke rumahnya dan keluar kembali dengan membawa pedang di tangannya. Seketika beliau menebaskan pedang itu ke leher orang yang enggan menerima putusan Rasulullah itu. Kemudian turunlah ayat di atas.
Riwayat senada dituturkan oleh Al-Hakim dan at-Tirmidzi dalam Nawadir al-Ushul dari Makhul. Hanya saja ditambahkan, bahwa setelah membunuh orang munafik yang tidak menerima putusan itu, Umar kemudian berkata, “Begitukah hukuman bagi orang yang tidak rela dengan putusan Rasulullah saw.”
Lalu turunlah Malaikat Jibril kepada Rasulullah sembari memberitahu beliau, “Sesungguhnya Umar telah membunuh orang itu. Allah telah memisahkan kebenaran dan kebatilan melalui lisan Umar.”
Karena itulah kemudian Umar disebut dengan al-Faruq (as-Suyuthi, Ad-Durr al-Mantsur fi Ta'wil bi al-Ma'tsur, III/161-162. Lihat pula: Ash-Shabuni, Shafwah at-Tafasir, I/260-261).
Jelas, ketundukan secara total terhadap hukum-hukum Allah merupakan bukti hakiki keimanan seorang Muslim. Inilah yang juga diisyaratkan secara tegas oleh Allah SWT dalam firman-Nya (yang artinya): ”Sesungguhnya ucapan orang-orang Mukmin itu--manakala mereka diseru kepada Allah dan Rasul-Nya untuk menghukumi mereka--adalah ungkapan, ’Kami mendengar dan kami taat.’ Merekalah orang-orang yang beruntung” (TQS an-Nur [24]: 51).
Sayangnya, saat ini kaum Muslim berada dalam sistem kapitalis-sekuler dan tidak diatur dengan hukum-hukum Allah SWT. Sistem sekuler, dengan demokrasi sebagai pilar utamanya, terbukti telah menjauhkan kaum Muslim dari ketundukan terhadap hukum-hukum Allah SWT. Karena itu, mau tidak mau, umat ini harus segera mengenyahkan sistem sekuler dan bersegera menerapkan syariah-Nya dalam seluruh aspek kehidupan, tentu dalam institusi Khilafah 'ala Minhaj an-Nubuwwah. Hanya dengan itulah kaum Muslim bisa benar-benar tunduk dan pasrah secara total kepada Allah SWT.
Wa ma tawfiqi illa bilLah. []
Sabtu, 09 Juli 2016
Pantaskah Kita Ikut Merayakan Hari Raya ?
Oleh: KH Hafidz Abdurrahman
Hari Raya adalah hari kemenangan, bagi siapa? Bagi siapa saja yang berhasil meraih takwa, setelah ditempa selama sebulan penuh. Karena takwa adalah hikmah di balik perintah berpuasa, maka tidak semua orang yang berpuasa bisa meraihnya. Itulah, mengapa Nabi Sa-Llahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
كَمْ مِنْ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلاَّ الجُوْعُ وَالْعَطْشُ
“Betapa banyak orang yang berpuasa tidak mendapatkan apa-apa, kecuali hanya lapar dan dahaga.” [Hr. An-Nasa’i, Ibn Majah, ad-Darimi, al-Hakim]
Orang yang bertakwa itu, kata Sayyidina ‘Ali, adalah orang yang takut kepada Rabb yang Maha Agung [khauf min ar-Rabb al-Jalil]; menjalankan apa yang diturunkan oleh Allah [al-‘amal bi at-tanzil]; rela terhadap yang sedikit [ar-ridha bi al-qalil], dan bersiap diri untuk menghadapi Hari Penggiringan [isti’dad li yaumi ar-rahil], saat digiring di Padang Makhsyar, dan dimintai pertanggungjawaban satu per satu di hadapan Allah.
Dengan takwa yang ada di dalam dada, kita bisa menunaikan puasa sebulan penuh dengan keyakinan bulat, semata karena Allah, serta hanya mengharap ridha-Nya, bukan karena apapun, dan siapapun. Begitu juga dengan takwa, kita bisa mendirikan qiyam Ramadhan sebulan penuh dengan keyakinan bulat, semata karena Allah, serta hanya mengharap ridha-Nya, bukan karena apapun, dan siapapun. Dengan semauanya itu, Nabi pun menegaskan, bahwa dosa-dosa kita sebelumnya akan diampuni oleh Allah.
Tak hanya itu, selama Ramadhan, karena takwa di dalam dada, kita menghidupkan siang dan malamnya dengan ketaatan. Dengannya, kita pun berhasil memanen sebanyak-banyaknya amal shalih. Belum lagi, saat nilainya dilipatgandakan oleh Allah, sehingga keberkahannya mengalir deras. Terlebih, ketika kita berhasil mewujudkan misi-misi dan kerja-kerja besar di bulan yang agung dan mulia ini.
Wajar, jika karena semuanya itu, kita lantas merayakan Hari Raya Idul Fitri, untuk merayakan kemenangan dan kesuksesan kita. Kemenangan dan kesuksesan kita mengalahkan syaitan, musuh bebuyutan kita, baik syaitan Jin maupun Manusia, termasuk diri kita sendiri. Kita pun sukses menjaga diri kita dalam ketaatan, dan tak mencatatkan dosa atau maksiat. Karenanya, kesuksesan ini layak kita rayakan, sebagai Hari Raya kita. Sembari terus berikhtiar dan berdosa, agar kita bisa meraih Hari Raya berikutnya.
Saat kita terus berikhtiar dalam ketaatan, sehingga ketika ajal menjemput kita, kita pun tetap istiqamah dalam ketaatan. Ini juga merupakan Hari Raya yang layak kita rayakan. Sembari terus berikhtiar, dan berdoa, memohon kepada-Nya, agar kita bisa meraih Hari Raya berikutnya. Saat kita dibangkitkan dari kubur, dan mendapatkan catatan amal perbuatan kita, dan lolos mempertanggungjawabkan seluruh kata dan perbuatan kita di hadapan Allah ‘Azza wa Jalla. Kita pun lolos, saat melintasi titian shirat, karena tak ada jaminan bagi siapapun untuk lolos darinya. Sebagaimana firman Allah:
وَإِنْ مِنْكُمْ إِلاَّ وَارِدُهَا، كَانَ عَلَى رَبِّكَ حَتْمًا مَقْضِيًّا
“Tak seorang pun di antara kalian, kecuali pasti menjadi santapan neraka. Hal itu bagi Tuhan-Mu merupakan keputusan yang pasti.” [Q.s. Maryam: 71]
Sesuatu yang membuat ‘Abdullah bin Rawwahah, Jenderal yang begitu garang saat menghadapi 100,000 tentara Romawi, itu menangis tersedu-sedu, ketika mendengarkan ayat ini. Saat dia tak bisa memastikan dirinya lolos atau tidak dari neraka. Maka, ketika kita melintasi titian shirat, dan lolos dari neraka, itu merupakan kemenangan dan keberhasilan kita, yang layak kita rayakan.
Setelah itu, kita pun bisa menginjakkan kaki kita di surga, sekaligus merayakan Hari Raya kita yang keempat. Setelah kita bisa memastikan, bahwa surga yang dijanjikan Allah itu dalam genggaman kita. Setelah kita berharap-harap cemas, sembari terus melaksanakan ketaatan, dan menjauhi kemaksiatan. Sesuatu yang mendorong para sahabat, siang-malam bekerja keras tak kenal lelah. Bahkan, membuat seorang Imam Ahmad tak kurang setiap malamnya, konon shalat hingga 1000 rakaat. Saat ditanya putranya, “Wahai Ayah, kapan Ayah aKhadim Majelis-Ma'had Syaraful Haramayn:
kan beristirahat?” Beliau menjawab, “Bagaimana mungkin kita bisa beristirahat, sementara surga di depan kita, belum kita gapai.” Maka, saat surga yang dirindukan itu pun benar-benar dalam genggaman, itu merupakan kemenangan yang layak kita rayakan.
kan beristirahat?” Beliau menjawab, “Bagaimana mungkin kita bisa beristirahat, sementara surga di depan kita, belum kita gapai.” Maka, saat surga yang dirindukan itu pun benar-benar dalam genggaman, itu merupakan kemenangan yang layak kita rayakan.
Akhirnya, kita pun sampai para puncak Hari Raya, saat kita dikumpulkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam surga-Nya. Dalam kitab Raudhatu al-Muhibbin, Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, mengutip hadits Nabi yang menuturkan, bahwa saat itu Allah bertanya, “Wahai hamba-hamba-Ku, adakah yang Aku janjikan kepada kalian belum Aku tunaikan?” Para penghuni surga itu pun menjawab, “Ya Allah, apa yang Engkau janjikan kepada kami, semuanya telah Engkau tunaikan. Kecuali, melihat wajah-Mu.” Maka, Allah pun titahkan kepada Jibril untuk membuka tabir-Nya. “Wahai Jibril, angkatlah tabir-Ku yang pertama.” Jibril pun mengangkat tabir-Nya yang pertama. Para penghuni surga itu pun menyaksikan cahaya-Nya yang begitu terang. Mereka pun membayangkan itulah Allah, lalu mereka bersimpuh dan bersujud kepada-Nya. Allah titahkan kepada mereka, “Wahai hamba-hamba-Ku, bangunlah kalian. Ini adalah surga, tempat memanen, bukan tempat beramal lagi.” Mereka pun bangkit. Allah kembali menitahkan kepada Jibril untuk mengangkat tabir-Nya yang kedua. Jibril pun mengangkatnya, hingga tampak bayangan yang lebih jelas. Ketika itu, para penghuni surga itu pun bersimpuh dan bersujud kepada-Nya. Allah titahkan kepada mereka, “Wahai hamba-hamba-Ku, bangunlah kalian. Ini adalah surga, tempat memanen, bukan tempat beramal lagi.” Mereka pun bangkit. Allah kembali menitahkan kepada Jibril untuk mengangkat tabir-Nya yang ketiga. Jibril pun mengangkatnya, hingga tampaklah “wajah”-Nya. Ketika itu, para penghuni surga itu pun bersimpuh dan bersujud kepada-Nya. Air mata mereka pun tumpah, pikiran mereka melayang, dan semua nikmat yang pernah mereka rasakan sirna, kalah dengan kenikmatan melihat “wajah”-Nya.
Itulah puncak Hari Raya, yang harus kita rayakan. Semoga kita bisa meraihnya, bukan hanya satu Hari Raya, tetapi kelima-limanya. Bukan hanya di dunia yang fana ini, tetapi juga di sana, negeri abadi, di Akhirat dan jannah-Nya..
Langganan:
Postingan (Atom)