Minggu, 14 Februari 2016
Jangan Keluar Dari Jamaah
"Ustadz, dulu Ana merasa semangat dalam Dakwah. Tapi belakangan rasanya semakin hambar. Ukhuwah makin kering. Bahkan Ana melihat ternyata banyak pula yang aneh-aneh."
Begitu keluh kesah seorang Daris kepada Musyrif di suatu hari.
Sang Musyrif hanya terdiam, mencoba menggali semua kecamuk dalam diri Darisnya.
"Lalu, apa yang ingin Antum lakukan setelah merasakan semua itu?" sahut sang Musyrif setelah sesaat termenung.
"Ana ingin berhenti saja, keluar dari jamaah ini. Ana kecewa dengan perilaku beberapa temans yang justru tidak Islami. Juga dengan organisasi Dakwah yang Ana geluti, kaku dan sering mematikan potensi anggota-anggotanya. Bila begini terus, Ana mendingan sendiri saja…" jawab Daris itu.
Sang Musyrif termenung kembali. Tidak tampak raut terkejut dari roman wajahnya. Sorot matanya tetap terlihat tenang, seakan jawaban itu memang sudah diketahuinya sejak awal.
"Adik, bila suatu kali Antum naik sebuah kapal mengarungi lautan luas. Kapal itu ternyata sudah amat bobrok. Layarnya banyak berlubang, kayunya banyak yang keropos bahkan kabinnya bau kotoran manusia. Lalu, apa yang akan Antum lakukan untuk tetap sampai pada tujuan?" tanya sang Musyrif dengan kiasan bermakna dalam.
Sang Daris terdiam berpikir. Tak kuasa hatinya mendapat umpan balik sedemikian tajam melalui kiasan yang amat tepat.
"Apakah Antum memilih untuk terjun ke laut dan berenang sampai tujuan?" Sang Musyrif mencoba memberi opsi.
"Bila Antum terjun ke laut, sesaat Antum akan merasa senang. Bebas dari bau kotoran manusia, merasakan kesegaran air laut, atau bebas bermain dengan ikan lumba-lumba. Tapi itu hanya sesaat. Berapa kekuatan Antum untuk berenang hingga tujuan? Bagaimana bila ikan hiu datang? Darimana Antum mendapat makan dan minum? Bila malam datang, bagaimana Antum mengatasi hawa dingin?" serentetan pertanyaan dihamparkan di hadapan Daris.
Tak ayal, Sang Daris menangis tersedu. Tak kuasa rasa hatinya menahan kegundahan sedemikian. Kekecewaannya kadung memuncak, namun Sang Musyrif yang dihormatinya justru tidak memberi jalan keluar yang sesuai dengan keinginannya.
"Adik, apakah Antum masih merasa bahwa jalan Dakwah adalah jalan yang paling utama menuju ridho Allah?" Pertanyaan menohok ini menghujam jiwa Sang Daris. Ia hanya mengangguk.
"Bagaimana bila temyata mobil yang Antum kendarai dalam menempuh jalan itu ternyata mogok? Antum akan berjalan kaki meninggalkan mobil itu tergeletak di jalan, atau mencoba memperbaikinya?" tanya Sang Musyrif lagi.
Sang Daris tetap terdiam dalam sesenggukan tangis perlahannya. Tiba-tiba ia mengangkat tangannya, "Cukup Ustadz, cukup. Ana sadar. Maafkan Ana. Ana akan tetap istiqomah. Ana berdakwah bukan untuk mendapat medali kehormatan. Atau agar setiap kata-kata Ana diperhatikan…"
"Biarlah yang lain dengan urusan pribadi masing-masing. Ana akan tetap berjalan dalam Dakwah ini. Dan hanya Allah saja yang akan membahagiakan Ana kelak dengan janji-janji-Nya. Biarlah segala kepedihan yang Ana rasakan jadi pelebur dosa-dosa Ana", Sang Daris berazzam di hadapan Musyrif yang semakin dihormatinya.
Sang Musyrif tersenyum.
"Adik, jama'ah ini adalah jama'ah manusia. Mereka adalah kumpulan insan yang punya banyak kelemahan. Tapi di balik kelemahan itu, masih amat banyak kebaikan yang mereka miliki. Mereka adalah pribadi-pribadi yang menyambut seruan Allah untuk berDakwah. Dengan begitu, mereka sedang berproses menjadi manusia terbaik pilihan Allah."
"Bila ada satu dua kelemahan dan kesalahan mereka, janganlah hal itu mendominasi perasaan Antum. Sebagaimana Allah ta’ala menghapus dosa manusia dengan amal baik mereka, hapuslah kesalahan mereka di mata Antum dengan kebaikan-kebaikan mereka terhadap Dakwah selama ini. Karena di mata Allah, belum tentu Antum lebih baik dari mereka."
"Futur, mundur, kecewa atau bahkan berpaling menjadi lawan bukanlah jalan yang masuk akal. Apabila setiap ketidak-sepakatan selalu disikapi dengan jalan itu, maka kapankah Dakwah ini dapat berjalan dengan baik?" sambungnya panjang lebar.
"Kita bukan sekedar pengamat yang hanya bisa berkomentar. Atau hanya pandai menuding-nuding sebuah kesalahan. Kalau hanya itu, orang kafir pun bisa melakukannya. Tapi kita adalah Da'i. Kitalah yang diserahi amanat oleh Allah untuk membenahi masalah-masalah di muka bumi. Bukan hanya mengeksposnya, yang bisa jadi justru semakin memperuncing masalah."
"Jangan sampai, kita seperti menyiram bensin ke sebuah bara api. Bara yang tadinya kecil tak bernilai, bisa menjelma menjadi nyala api yang membakar apa saja. Termasuk kita sendiri!"
Sang Daris termenung merenungi setiap kalimat Musyrifnya. Azzamnya memang kembali menguat. Namun ada satu hal tetap bergelayut dihatinya.
"Tapi bagaimana Ana bisa memperbaiki organisasi Dakwah dengan kapasitas Ana yang lemah ini?" sebuah pertanyaan konstruktif akhirnya muncul juga.
"Siapa bilang kapasitas Antum lemah? Apakah Allah mewahyukan begitu kepada antum? Semua manusia punya kapasitas yang berbeda. Namun tidak ada yang bisa menilai, bahwa yang satu lebih baik dari yang lain!" sahut Sang Musyrif
"Bekerjalah dengan ikhlas. Berilah taushiah dalam kebenaran, kesabaran dan kasih sayang kepada semua yang terlibat dalam organisasi itu. Karena peringatan selalu berguna bagi orang beriman. Bila ada sebuah isyu atau gosip, tutuplah telinga Antum dan bertaubatlah. Singkirkan segala Ghil (dengki, benci, iri hati) Antum terhadap saudara Antum sendiri. Dengan itulah, Bilal yang mantan budak hina menemui kemuliaannya."
Suasana dialog itu mulai mencair. Semakin lama, pembicaraan melebar dengan akrabnya.
Hari itu, Sang Daris menyadari kekhilafannya. Ia bertekad untuk tetap berputar bersama jama'ah dalam mengarungi jalan Dakwah. Pencerahan diperolehnya.
:)
Demikian juga yang diharapkan dari Antum yang membaca tulisan ini.... In syaa' Allah kita tetap istiqomah di jalan Dakwah ini....
Allahu Akbar !
***
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar