Minggu, 28 Februari 2016

Berjuang Sesuai Kapasitas Masing-Masing





Berikut tulisan ust Dwi Condro ketika mengcounter pendapat salah seorang teman yg mengatakan, kita berjuang berdasar kapasitas kita masing2, jd silahkan bila ada yg berjuang utk tegaknya khilafah, dan ada yg berjuang utk kebaikan yg lain, yg penting fastabiqul khoirot.

Alhamdulillah, terima kasih Mas Hadi. Telah mengingatkan pada kita semua. Kalau boleh menambahkan (kalau salah mohon dikoreksi):

Dalam beramal seharusnya tidak hanya sekedar mendasarkan pada kapasitas kita. Namun, berdasarkan taklif yang dibebankan Allah kepada kita, yaitu berdasarkan hukum syari’at yang lima: wajib, sunnah, mubah makruh dan haram. Dan, untuk mengamalkannya-pun harus mengikuti aulawiyatnya, yaitu: wajib harus didahulukan daripada sunnah; sunnah didahulukan daripada mubah dan seterusnya.

Oleh karenanya, yang harus kita fikirkan adalah bagaimana agar segala kewajiban itu dapat kita amalkan terlebih dahulu. Sebab, jika ada kewajiban yang masih kita tinggalkan, maka kita akan berdosa dan bisa terancam masuk neraka.

Masalahnya, kewajiban itu ada dua, yaitu: fardhu ‘ain dan fardhu kifayah. Insya Allah, untuk fardhu ‘ain, kita sudah mampu mengamalkannya. Contohnya, perintah Allah dalam QS. 2:183:يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ ﴿١٨٣﴾“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa...”.
Namun, bagaimana dengan firman Allah dalam QS. 2: 178:يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى ﴿١٧٨﴾“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh,...”. Itu adalah fardhu kifayah yang taklifnya adalah untuk seluruh orang-orang beriman.

Artinya, setiap ada kasus pembunuhan yang tidak dihukum dengan hukum Islam, seluruh orang-orang yang mengaku beriman akan mendapatkan dosa.Yang menjadi masalah, fardhu kifayah itu banyak sekali jumlahnya, masih terbengkalai, tidak diamalkan, karena negara tidak mau menerapkan hukum syari’at.

Setiap hari ada kasus pembunuhan, pencurian, pemerkosaan, masih banyak yang meninggalkan sholat, puasa, zakat, tidak menutup aurat, dalam berekonomi mayoritas masih bertransaksi dengan bunga/riba, dsb.

Nah, bagaimana fardhu-fardhu kifayah itu dapat digugurkan? Jawabnya hanya satu: jika sudah diamalkan oleh negara. Bagaimana jika negara tidak mau mengamalkan? Maka, seluruh rakyatnya akan berdosa, yaitu dosa kifayah.

Pertanyaannya: Mungkinkah kita bisa langsung masuk surga, jika kita masih banyak bergelimpangan dengan dosa-dosa kifayah? Disinilah kita sangat membutuhkan amal yang bisa menggugurkan dosa-dosa kifayah tersebut. Di titik inilah biasanya akan banyak muncul ikhtilaf diantara kita, sehingga masing-masing sudah merasa ikut terlibat dalam perjuangan penegakan Islam.
Terlebih lagi, biasanya kita cenderung enggan untuk berdiskusi dalam masalah ini, dan cenderung sudah cukup hanya dengan saling menghormati, fastabiqul khairat...ini jelas sikap yang kurang tepat. Justru di titik inilah kita seharusnya sangat serius dalam berdiskusi dan beradu hujjah.

Mengapa? Contoh sederhana: jika ada tetangga kita yang meninggal dunia, kemudian jenazahnya kita terlantarkan, tidak ada yang memandikan, mengafani, menyolati dan menguburkan. Siapa yang berdosa? Tentu kaum muslimin akan berdosa.

Apakah dosa ini bisa dihapuskan dengan memperbanyak amal yang lain, misalnya: banyak berdzikir, beristighfar, bershodaqoh, banyak megajarkan qur’an, mengajak yasinan dsb.

Apakah semua amal itu bisa menggugurkan fardhu kifayah tersebut? Sementara jenazah itu masih terlantar di sekeliling kita?
Jawabnya: tentu saja tidak bisa. Sampai kapan? Sampai jenazah itu dikuburkan dengan sempurna. Selama jenazah itu diterlantarkan, jika kita masih beramal dengan amalan yang tidak berhubungan langsung dengan kewajiban tersebut (walaupun amalan itu ada pahalanya), kita akan tetap akan mendapatkan dosa.
Dosa apa? Dosa kifayah.

Pertanyaannya: apa amalan yang bisa menggugurkan fardhu kifayah tersebut? Jawabnya sangat mudah: amalan yang langsung tekait dengan kewajibannya, yaitu mengurus jenaz tersebut.  Bagaimana jika kita tidak bisa mengurus jenazah itu sendirian? Jawabnya: Kita wajib mengajak/menyeru kepada kaum muslimin agar terlibat langsung untuk mengurus jenazah tersebut. Bukan mengajak beramal yang lain, yaitu: mengajak baca qur’an, wiridan, yasinan, tahlilan dsb, sementara jenazahnya justru tetap diterlantarkan.

Kesimpulannya: Jika kewajibannya adalah mengurus jenazah, maka seruannya adalah mengajak untuk mengurus jenazah. Maka, jika kewajibannya adalah penerapan hukum syari’ah oleh penguasa, maka seruannya adalah menyeru kepada penguasa agar mau menerapkan syari’ah.

Mudah bukan? Masalah berikutnya: apakah kita bisa menyeru penguasa, jika kita hanya sendirian? Disinilah kita memerlukan sebuah jamaah, agar seruan kita didengar penguasa. Maka, bergabung dengan jamaah yang amalnya adalah menyeru penguasa agar menerapkan syari’ah dengan institusi khilafah, hukumnya menjadi wajib, sesuai kaidah syara’:مَا لَا يَتِمُّ الْوَاجِبُ اِلّاَ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ“Suatu kewajiban yang tidak dapat terlaksana secara sempurna, kecuali dengan sesuatu, maka adanya sesuatu itu manjadi wajib hukumnya”.

Masalah selanjutnya: Bagaimana jika penguasanya tetap tidak mau menerapkan syari’ah, padahal sudah kita seru/dakwahi terus menerus? Disinilah kita bisa bersandar kepada dalil “keterpaksaan”, sbb:إِنَّ اللَّهَ وَضَعَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ) سنن ابن ماجه(“Sesungguhnya Allah telah mengabaikan (mengampuni dosa) atas ummatku dari kesalahan (ketidaksengajaan), lupa dan keterpaksaan atas mereka” (HR. Ibn Hibban dan Ibn Majah).

Jika kita sudah berusaha sungguh-sungguh untuk mendakwahi penguasa, namun penguasa tetap enggan menerapkan syari’ah, semoga Allah berkenan mengampuni/menggugurkan dosa-dosa kifayah kita, karena keterpaksaan atas diri kita.
Wallahu a'lam

Jumat, 19 Februari 2016

Dakwah adalah Kepedulian, Dakwah Adalah Cinta



Ibunda yang dirahmati Allah…
Andaikan suatu hari, anak yang sangat kita sayangi sedang asyik bermain di tengah rel kereta api.
Padahal, dari jauh kita melihat ada kereta mau melintas..
Nah, bila kita benar-benar mencintainya, kira-kira yang akan kita lakukan?

Meneriaki  dan menyuruhnya segera menepi...…  Tapi, kalau dia tidak mau??
Tarik tangannya atau dorong badannya, entah gimana caranya pokoknya dia bisa keluar dari rel..
Tapi bukankah itu akan membuat dia SAKIT???
Bisa jadi iya…, tapi dengan begitu dia bisa SELAMAT...

Ibunda yang dirahmati Allah...
Maka sesungguhnya, begitulah gambaran dakwah itu…
Dakwah mengajak kepada kebaikan dan mencegah kepada kemunkaran adalah wujud dari CINTA dan kepedulian..

Kita tidak rela orang yang kita sayangi bermaksiat sehingga mengundang siksa Allah..
Kita melakukan berbagai cara untuk mengingatkannya..
Meskipun kadang-kadang harus menyindirnya atau bahkan akan menyakiti hatinya
Tapi dengan itu, dia akan terhindar dari siksa Allah..

Apalagi, Rasulullah SAW telah menyampaikan:
“Barangsiapa yang MENUNJUKKAN KEPADA KEBAIKAN maka baginya pahala
 SEPERTI PAHALA ORANG YANG MELAKUKANNYA.” (HR. Muslim)

Pada riwayat yang lain Rasulullah bersabda yang artinya :
“Barang siapa yang mengajak pada petunjuk, maka baginya adalah pahala orang yang mengikuti ajakannya, tanpa dikurangi sedikitpun dari pahala mereka. Dan barang siapa yang mengajak pada kesesatan, maka baginya menanggung dosa seperti dosa orang-orang yang mengikuti ajakannya itu, tanpa dikurangi sedikitpun dari dosa mereka itu” (HR. Muslim)

Ibunda yang dirahmati Allah..
Maka dengan demikian, ketika kita menyampaikan kebaikan, kemudian ajakan kita diikuti oleh seseorang, maka bagi kita ada pahala seperti pahala orang yang melakukannya...
Begitu juga, ketika orang tersebut menyampaikan lagi kepada orang lain lagi, kita tetap mendapatkan bagian pahala dari orang yang melakukannya tersebut, dan begitu seterusnya meskipun kita kelak sudah meniggal dunia…
Di sinilah potensi kita bisa mendapatkan PAHALA yang usianya JAUH MELAMPAUI usia kita, bahkan sampai hari kiamat..

Jadi…
Kalau dakwah tandakan CINTA..
Kalau dakwah menjanjikan pahala yang TIDAK TERPUTUS…
Tunggu apa lagi??
Mari, kita sama-sama AMBIL PERAN dalam dakwah...

Minggu, 14 Februari 2016

Jangan Keluar Dari Jamaah



"Ustadz, dulu Ana merasa semangat dalam Dakwah. Tapi belakangan rasanya semakin hambar. Ukhuwah makin kering. Bahkan Ana melihat ternyata banyak pula yang aneh-aneh."
Begitu keluh kesah seorang Daris kepada Musyrif di suatu hari.

Sang Musyrif hanya terdiam, mencoba menggali semua kecamuk dalam diri Darisnya.
"Lalu, apa yang ingin Antum lakukan setelah merasakan semua itu?" sahut sang Musyrif setelah sesaat termenung.

"Ana ingin berhenti saja, keluar dari jamaah ini. Ana kecewa dengan perilaku beberapa temans yang justru tidak Islami. Juga dengan organisasi Dakwah yang Ana geluti, kaku dan sering mematikan potensi anggota-anggotanya. Bila begini terus, Ana mendingan sendiri saja…" jawab Daris itu.

Sang Musyrif termenung kembali. Tidak tampak raut terkejut dari roman wajahnya. Sorot matanya tetap terlihat tenang, seakan jawaban itu memang sudah diketahuinya sejak awal.

"Adik, bila suatu kali Antum naik sebuah kapal mengarungi lautan luas. Kapal itu ternyata sudah amat bobrok. Layarnya banyak berlubang, kayunya banyak yang keropos bahkan kabinnya bau kotoran manusia. Lalu, apa yang akan Antum lakukan untuk tetap sampai pada tujuan?" tanya sang Musyrif dengan kiasan bermakna dalam.
Sang Daris terdiam berpikir. Tak kuasa hatinya mendapat umpan balik sedemikian tajam melalui kiasan yang amat tepat.

"Apakah Antum memilih untuk terjun ke laut dan berenang sampai tujuan?" Sang Musyrif mencoba memberi opsi.

"Bila Antum terjun ke laut, sesaat Antum akan merasa senang. Bebas dari bau kotoran manusia, merasakan kesegaran air laut, atau bebas bermain dengan ikan lumba-lumba. Tapi itu hanya sesaat. Berapa kekuatan Antum untuk berenang hingga tujuan? Bagaimana bila ikan hiu datang? Darimana Antum mendapat makan dan minum? Bila malam datang, bagaimana Antum mengatasi hawa dingin?" serentetan pertanyaan dihamparkan di hadapan Daris.

Tak ayal, Sang Daris menangis tersedu. Tak kuasa rasa hatinya menahan kegundahan sedemikian. Kekecewaannya kadung memuncak, namun Sang Musyrif yang dihormatinya justru tidak memberi jalan keluar yang sesuai dengan keinginannya.

"Adik, apakah Antum masih merasa bahwa jalan Dakwah adalah jalan yang paling utama menuju ridho Allah?" Pertanyaan menohok ini menghujam jiwa Sang Daris. Ia hanya mengangguk.

"Bagaimana bila temyata mobil yang Antum kendarai dalam menempuh jalan itu ternyata mogok? Antum akan berjalan kaki meninggalkan mobil itu tergeletak di jalan, atau mencoba memperbaikinya?" tanya Sang Musyrif lagi.

Sang Daris tetap terdiam dalam sesenggukan tangis perlahannya. Tiba-tiba ia mengangkat tangannya, "Cukup Ustadz, cukup. Ana sadar. Maafkan Ana. Ana akan tetap istiqomah. Ana berdakwah bukan untuk mendapat medali kehormatan. Atau agar setiap kata-kata Ana diperhatikan…"

"Biarlah yang lain dengan urusan pribadi masing-masing. Ana akan tetap berjalan dalam Dakwah ini. Dan hanya Allah saja yang akan membahagiakan Ana kelak dengan janji-janji-Nya. Biarlah segala kepedihan yang Ana rasakan jadi pelebur dosa-dosa Ana", Sang Daris berazzam di hadapan Musyrif yang semakin dihormatinya.

Sang Musyrif tersenyum.
"Adik, jama'ah ini adalah jama'ah manusia. Mereka adalah kumpulan insan yang punya banyak kelemahan. Tapi di balik kelemahan itu, masih amat banyak kebaikan yang mereka miliki. Mereka adalah pribadi-pribadi yang menyambut seruan Allah untuk berDakwah. Dengan begitu, mereka sedang berproses menjadi manusia terbaik pilihan Allah."

"Bila ada satu dua kelemahan dan kesalahan mereka, janganlah hal itu mendominasi perasaan Antum. Sebagaimana Allah ta’ala menghapus dosa manusia dengan amal baik mereka, hapuslah kesalahan mereka di mata Antum dengan kebaikan-kebaikan mereka terhadap Dakwah selama ini. Karena di mata Allah, belum tentu Antum lebih baik dari mereka."

"Futur, mundur, kecewa atau bahkan berpaling menjadi lawan bukanlah jalan yang masuk akal. Apabila setiap ketidak-sepakatan selalu disikapi dengan jalan itu, maka kapankah Dakwah ini dapat berjalan dengan baik?" sambungnya panjang lebar.

"Kita bukan sekedar pengamat yang hanya bisa berkomentar. Atau hanya pandai menuding-nuding sebuah kesalahan. Kalau hanya itu, orang kafir pun bisa melakukannya. Tapi kita adalah Da'i. Kitalah yang diserahi amanat oleh Allah untuk membenahi masalah-masalah di muka bumi. Bukan hanya mengeksposnya, yang bisa jadi justru semakin memperuncing masalah."
"Jangan sampai, kita seperti menyiram bensin ke sebuah bara api. Bara yang tadinya kecil tak bernilai, bisa menjelma menjadi nyala api yang membakar apa saja. Termasuk kita sendiri!"

Sang Daris termenung merenungi setiap kalimat Musyrifnya. Azzamnya memang kembali menguat. Namun ada satu hal tetap bergelayut dihatinya.
"Tapi bagaimana Ana bisa memperbaiki organisasi Dakwah dengan kapasitas Ana yang lemah ini?" sebuah pertanyaan konstruktif akhirnya muncul juga.

"Siapa bilang kapasitas Antum lemah? Apakah Allah mewahyukan begitu kepada antum? Semua manusia punya kapasitas yang berbeda. Namun tidak ada yang bisa menilai, bahwa yang satu lebih baik dari yang lain!" sahut Sang Musyrif

"Bekerjalah dengan ikhlas. Berilah taushiah dalam kebenaran, kesabaran dan kasih sayang kepada semua yang terlibat dalam organisasi itu. Karena peringatan selalu berguna bagi orang beriman. Bila ada sebuah isyu atau gosip, tutuplah telinga Antum dan bertaubatlah. Singkirkan segala Ghil (dengki, benci, iri hati) Antum terhadap saudara Antum sendiri. Dengan itulah, Bilal yang mantan budak hina menemui kemuliaannya."

Suasana dialog itu mulai mencair. Semakin lama, pembicaraan melebar dengan akrabnya.

Hari itu, Sang Daris menyadari kekhilafannya. Ia bertekad untuk tetap berputar bersama jama'ah dalam mengarungi jalan Dakwah. Pencerahan diperolehnya.

:) 

Demikian juga yang diharapkan dari Antum yang membaca tulisan ini.... In syaa' Allah kita tetap istiqomah di jalan Dakwah ini....

Allahu Akbar !

***