Senin, 22 Agustus 2016

Keutamaan Iman, Jihad dan Haji



Oleh: Arief B. Iskandar

Abu Hurairah ra. menuturkan, suatu saat Rasulullah saw. pernah ditanya, “Amal apa yang paling utama?” Beliau menjawab, “Iman kepada Allah.” Beliau ditanya lagi, “Lalu apa?” Beliau menjawab, “Jihad  fi sabilillah.” Beliau ditanya lagi, “Kemudian apa lagi?” Beliau menjawab lagi, “Haji mabrur.” (HR al-Bukhari).

Jika memang urut-urutan jawaban Rasulullah saw. di atas menunjukkan tingkat keutamaan di antara ketiga amal itu, berarti iman menempati urutan pertama sebagai amal yang paling utama; disusul yang kedua, jihad fi sabilillah; dan yang terakhir adalah haji mabrur.

Mengapa iman ditempatkan di tempat tertinggi? Jawabannya jelas, karena seluruh amal, termasuk jihad fi sabilillah dan haji, tak akan pernah diterima oleh Allah SWT, apalagi dibalas dengan balasan pahala, jika tidak didasarkan pada keimanan kepada-Nya. Karena itu percuma saja orang kafir menunaikan shalat atau shaum, berjihad, bahkan bersedekah miliaran rupiah, misalnya. Pasalnya, semua amalannya itu bakal sia-sia di mata Allah SWT, sebagaimana firman-Nya (yang artinya):

Sesungguhnya kaum kafir itu, baik harta maupun anak-anak mereka, sedikitpun tidak akan dapat menolak azab Allah. Mereka itu penghuni neraka dan mereka kekal di dalamnya (TQS Ali Imran [3]: 116).

Allah SWT juga berfirman (yang artinya):

Orang-rang yang kafir terhadap Tuhan mereka, amal-amal mereka itu seperti debu yang tertiup angin pada hari yang amat dingin. Mereka tidak memperoleh sedikit pun manfaat dari apa yang mereka usahakan (TQS Ibrahim [14]: 18).

Karena itulah wajar saat Sufyan bin Abdillah ats-Tsaqafi memohon kepada Nabi saw., “Katakanlah kepadaku ucapan dalam Islam yang tidak akan saya tanyakan lagi kepada seorang setelah engkau,” beliau bersabda, “Katakanlah, ‘Aku beriman kepada Allah.’ Lalu beristiqamahlah.” (HR Muslim dan Ahmad).

Lalu iman yang bagaimana, yang paling utama? Nabi saw. menegaskan, “Iman yang paling utama adalah yang tidak ada sedikit pun keraguan di dalamnya.” (HR Ahmad).

Beliau juga menegaskan, “Iman yang paling utama adalah engkau menyadari bahwa engkau selalu bersama Allah di mana pun engkau berada.” (HR ath-Thabarani).

Lalu tentang jihad (perang) di jalan Allah, mengapa ada di urutan kedua setelah iman? Karena begitu besarnya pahala bagi orang yang berjihad fi sabilillah, apalagi jika kemudian wafat di medan jihad (perang) alias mati syahid. Syahid di jalan Allah, kata Nabi saw.,  bisa mengantarkan seseorang ke dalam surga-Nya tanpa hisab. Karena begitu besarnya keutamaan jihad fi sabilillah, Rasulullah saw. pun pernah bersabda, “Berjaga-jaga satu jam saja (dalam rangka jihad) di jalan Allah lebih baik daripada menghidupkan Lailatul Qadar di sisi Hajar al-Aswad.” (HR Ibn Hibban).

Bayangkan, menghidupkan Lailatul Qadar—yang notabene keutamannya sama dengan seribu bulan—apalagi di Masjid al-Haram bisa dikalahkan dengan amal jihad fi sabilillah. Karena itulah, banyak riwayat yang menyebutkan betapa para Sahabat selalu berlomba-lomba untuk memenuhi panggilan jihad atau perang di jalan Allah SWT ini demi meraih mati syahid.

Pertanyaannya: Mengapa saat ini orang lebih merindukan haji daripada jihad fi sabilillah? Mengapa orang lebih banyak yang bercita-cita untuk naik haji, tetapi sedikit sekali yang berhasrat untuk bisa berjihad di jalan Allah? Mengapa pula ada orang rela menabung bertahun-tahun demi bisa berangkat ke Baitullah dan menunaikan haji, tetapi langka orang menabung untuk bisa berangkat ke medan jihad fi sabilillah? Padahal jelas, kedudukan jihad fi sabilillah lebih utama daripada ibadah haji. Di dalam hadis di atas, jihad fi sabilillah pun disebutkan lebih dulu oleh Nabi saw. sebelum haji mabrur.

Jika pun saat ini tidak memungkinkan bagi kita berjihad (berperang) di jalan Allah, sebetulnya ada amalan yang pahalanya setara dengan pahala jihad fi sabilillah. Rasul saw. bersabda, “Jihad yang paling utama adalah menyampaikan kebenaran di hadapan penguasa zalim.” (HR Abu Dawud).

Terakhir, tentang haji mabrur, umumnya sudah banyak diketahui keutamannya sehingga hampir setiap Muslim pasti bercita-cita untuk bisa menunaikan ibadah haji. Keutamaannya yang pasti adalah, sebagaimana yang disabdakan Nabi saw., “Haji mabrur itu, tidak ada balasan lain atasnya, kecuali surga.” (HR Ahmad).

Pertanyaannya: Sudahkah kita benar-benar beriman kepada Allah SWT? Sudahkah kita berjihad—atau paling tidak melakukan amalan yang pahalanya setara dengan jihad—di jalan-Nya? Sudahkah kita menunaikan haji sekaligus meraih haji mabrur?
Semoga saja kita bisa meraih tiga keutamaan sekaligus: beriman secara benar kepada Allah SWT, mampu melaksanakan jihad fi sabilillah, sekaligus dapat menunaikan ibadah haji dengan meraih predikat haji mabrur. Amin.

Wa mâ tawfîqi illâ bilLâh. []

Rabu, 10 Agustus 2016

Antara Al-Qadhi Taqiyuddin al-Nabhani & Ibnu 'Atha'illah al-Iskandari -rahimahumallâh-





Al-Qadhi Taqiyuddin al-Nabhani -rahimahullâh- (w. 1977 M) menjelaskan perkara asasi di awal pembahasan kitab pertama yang mesti dikaji setiap syabab Hizbut Tahrir, yakni pembahasan mengenai al-nahdhah (kebangkitan).
Menariknya, kata al-nahdhah pun kita temukan dalam untaian kalimat Ibnu ‘Atha’illah al-Iskandari al-Syadzili -rahimahullâh- (w. 1309 M) dalam kitabnya yang monumental, Al-Hikam:

لا تَصْحَبْ من لا يُنْهِضُك حالُه ولا يدلك على الله مقالُه
“Janganlah engkau berkawan dengan orang yang keadaannya tidak akan membangkitkanmu (baca: menyadarkanmu-pen.) dan tidak pula menunjukkan engkau kembali kepada Allah.”

Al-Hafizh Muhammad Hayat al-Sindi -rahimahullâh- (w. 1163 H) menjelaskan makna (لا تصحب من لا ينهضك) yakni tidak menyokongmu, membimbingmu kepada Allah dan keta’atan kepada-Nya karena hidupnya bukan karena Allah. Makna (ولا يدلك على الله مقاله) karena kesibukannya terhadap selain Allah. Dan hubungan pertemanan sangat berpengaruh dalam kehidupan agamanya. (Muhammad Hayat al-Sindi, Syarh al-Hikam al-‘Athâ’iyyah, Beirut: Mu’assasat al-Ma’ârif, cet. I, 1431 H/2010, hlm.37)

Untaian nasihat indah di atas mengisyaratkan bahwa kebangkitan atau kesadaran seseorang bisa diraih dari teman pergaulan, yakni dengan memerhatikan lingkungan pergaulan dan pertemanan. Dari untaian nasihat Ibnu 'Atha'illah di atas, sudah semestinya mendorong seseorang bersemangat bergabung dalam barisan dakwah memperjuangkan syari'at Allah, bersama-sama dengan para ikhwah fillah yang menasihati dirinya dan orang lain saling memperbaiki diri. Konsep ini sebenarnya konsep yang sudah diajarkan yang mulia Rasulullah -shallallahu 'alayhi wa sallam-. Hadits dari Abu Sa’id al-Khudri -radhiyallahu 'anhu-, bahwa ia mendengar Rasulullah -shallallahu 'alayhi wa sallam- bersabda:

«لاَ تُصَاحِبْ إِلاَّ مُؤْمِنًا وَلاَ يَأْكُلْ طَعَامَكَ إِلاَّ تَقِيٌّ»
“Janganlah engkau bergaul erat kecuali dengan orang beriman, dan jangan ada yang memakan makananmu kecuali orang-orang yang bertaqwa.” (HR. Ahmad, Al-Tirmidzi, dll)

Maka mari bergabung bersama gerakan dakwah yang memperjuangkan tegaknya Al-Islam dalam kehidupan: http://hizbut-tahrir.or.id/gabung/

Dan sedikit informasi, menurut Dr. HM Afif Hasan, konon karena kata itulah (al-nahdhah) Kyai Hasyim Asy’ari -rahimahullâh- sadar dan bangkit mendirikan sebuah Ormas Islam yang bernama Nahdlatul Ulama.