Senin, 30 Mei 2016

Aamilatun Naashibah


Kita sering membaca ayat dari Al Qur'an.
Ayat ke 3 surah Al Ghosyiyah, mari kita perhatikan sisi lain dari penjelasan ayat yang sangat menggugah itu. Allah Ta'ala berfirman:

عاملة ناصبة
"Amilatun nashibah"

Artinya:
amal-amal yang hanya melelahkan.

Rangkaian ayat di awal surah ini bercerita tentang neraka dan para penghuninya.

Ternyata salah satu penyebab orang dimasukan ke neraka adalah amalan yang banyak dan beragam tapi penuh cacat; baik motif dan niatnya, maupun kaifiyat (tata cara) yang tidak sesuai dengan sunnah Rasulullah.
Astaghfirulah hal'adzim…

Alkisah, Seorang shahabat Umar bin Khathab RA menangis saat mendengar ayat ini.

Suatu hari Atha As-Salami rh, seorang Tabi`in yang mulia, bermaksud menjual kain yang telah ditenunnya kepada penjual kain di pasar. Setelah diamati dan diteliti secara seksama oleh sang penjual kain, sang penjual kain mengatakan, "Ya, Atha sesungguhnya kain yang kau tenun ini cukup bagus, tetapi sayang ada cacatnya sehingga saya tidak dapat membelinya."

Begitu mendengar bahwa kain yang telah ditenunnya ada cacat, Atha termenung lalu menangis.

Melihat Atha menangis, sang penjual kain berkata, "Atha sahabatku, aku mengatakan dengan  sebenarnya bahwa memang kainmu ada cacatnya sehingga aku tidak dapat membelinya, kalaulah karena sebab itu engkau menangis, maka biarkanlah aku tetap membeli kainmu dan membayarnya dengan  harga yang pas."

Tawaran itu dijawabnya, "Wahai sahabatku, engkau menyangka aku menangis disebabkan karena kainku ada cacatnya? ketahuilah sesungguhnya yg menyebabkan aku menangis bukan karena kain itu.
Aku menangis disebabkan karena aku menyangka bahwa kain yang telah kubuat selama berbulan-bulan ini tidak ada cacatnya, tetapi di mata engkau sebagai  ahlinya, ternyata kain itu ada cacatnya.
Begitulah aku menangis kepada Allah dikarenakan aku menyangka bahwa ibadah yang telah aku lakukan selama bertahun- tahun ini tidak ada cacatnya, bisa jadi mungkin di mata Allah sebagai ahli-Nya ada cacatnya, itulah yang menyebabkan aku menangis."

Semoga kita menyadari sedini mungkin tentang amal yang kita lakukan apakah sudah sesuai ataukah tidak.

Hanya dengan ilmulah kita akan mengetahui dimana letak kekurangan amal kita.

Maka bukan hanya dengan  beramal sebanyak-banyaknya tapi juga beramal dengan sebenar-benarnya dan berkualitas.
*Karena syarat diterimanya suatu 'amal adalah ketika amal itu ikhlas karena Allah dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu 'alayhi wa sallam.*

Allahu a'alam

Semoga bermanfaat

HANYA ALLAH YANG SANGGUP MEMBALAS PARA PENGEMBAN DAKWAH YANG IKHLAS



Anda adalah orang besar dalam pandangan Allah, meskipun yang Anda lakukan itu tampak kecil dan sederhana dalam pandangan manusia. Yang anda lakukan adalah aktivitas yang mencengangkan, meskipun banyak orang menganggapnya sebagai sesuatu yang sia-sia. Bobot perjuangan Anda lebih berat daripada himpunan gunung-gunung batu, meskipun banyak orang yang meremehkannya.

Anda telah mengukir sejarah dengan tinta emas. Para malaikat di langit hormat kepada Anda. Apa yang telah Anda lakukan benar-benar sesuatu yang luar biasa. Pilihan Anda benar-benar menakjubkan.

Pilihan, aktivitas dan prestasi Anda tidak layak jika hanya dinilai dengan duniawi. Dunia ini tak kan cukup untuk dijadikan balasan untuk Anda. Dunia ini terlalu kecil. Pujian manusia tak akan sanggup menggambarkan kemuliaan Anda. Sebab, yang layak buat Anda adalah rahmat dan keridhaan dari Allah dan Rasul-Nya. Surga, negeri keabadian, itulah yang layak buat orang-orang seperti Anda.

Oleh karena itulah, jika ada diantara kita yang masih mengharap dunia dengan aktivitas kita, atau merasa iri dengan sebagian anggota masyarakat yang mendapat bagian dunia yang lebih banyak, atau mengeluh dengan keadaan yang serba kekurangan, atau tidak adanya ucapan-ucapan terima kasih dan sanjungan dari masyarakat, maka sebenarnya hal itu merupakan sikap yang kurang tepat. Sebab, Anda lebih layak mendapat yang lebih besar dari itu, yaitu rahmat dan keridhaan dari Allah dan Rasul-Nya.

Namun jika ada diantara kita yang masih sedikit mengharap balasan-balasan kecil berupa kenikmatan dunia, maka hal itu adalah wajar karena Anda adalah manusia biasa, bukan malaikat. Namun, sebenarnya Anda tidak layak jika mendapatkan reward berupa dunia. Anda lebih berhak untuk mendapat yang lebih besar dari semua itu.

Oleh karena itu, marilah kita kejar yang lebih besar. Kita tidak perlu sedih dengan hal-hal kecil dari pernak-pernik dunia.

Marilah kita ambil pelajaran dari peristiwa yang pernah dialami oleh para sahabat Rasulullah yang saat ini perjuangannya tengah kita lanjutkan.

Suatu ketika Rasulullah pernah membagikan harta ghanimah dari perang Hunain. Kepada pemimpin-pemimpin Arab dan orang-orang muallaf (orang yang baru masuk Islam) diberikan jatah yang banyak, sementara sahabat Anshar tidak diberikan apa-apa. Sebagai manusia biasa, sahabat Anshar kurang berkenan terhadap keputusan yang telah diambil Rasulullah ini.

Karena itulah, kemudian Rasulullah mengumpulkan mereka dan menjelaskan mengapa beliau membaginya seperti itu. Rasulullah menyatakan bahwa beliau akan senantiasa bersama mereka, dan sangat mencintai mereka. Rasulullah menjelaskan bahwa pembagian itu dilakukan semata-mata untuk memikat hati (para muallaf), karena tipisnya keimanan mereka.

Rasulullah bersabda, “Demi Allah, jika kalian mau, maka kalian dapat berkata, ‘Engkau datang kepada kami dalam keadaan didustakan, namun kami justru membenarkan engkau. Engkau datang dalam keadaan lemah dan kami yang menolong engkau. Engkau datang dalam keadaan terusir dan kamilah yang memberikan tempat. Engkau datang dalam keadaan miskin dan justru kamilah yang menampung engkau’.

Apakah di dalam hati kalian masih terbersit hasrat keduniaan, yang dengan keduniaan itu aku hendak mengambil hati segolongan orang agar masuk Islam, sedangkan terhadap keislaman kalian aku sudah percaya?

Wahai orang-orang Anshar, apakah hati kalian tidak berkenan jika orang-orang lain kembali pulang membawa domba dan onta, sedangkan kalian kembali pulang bersama Rasulullah ke tempat tinggal kalian?

Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di dalam genggaman-Nya, kalau bukan karena hijrah, tentu aku termasuk orang-orang Anshar. Jika orang-orang menempuh suatu jalan di celah gunung, dan orang-orang Anshar menempuh jalan yang lain, tentu aku memilih jalan yang ditempuh orang-orang Anshar.

Ya Allah, berikan rahmat kepada orang-orang Anshar, anak-anak mereka dan cucu-cucu mereka.”

Belum selesai Rasulullah berkata, mereka tak mampu membendung air mata, sehingga air mata jatuh berlinangan. Mereka berkata, “Kami ridha terhadap Rasulullah.”

Ya, mereka sangat berbahagia dan bergetar hatinya mendapatkan ridha dari Allah dan Rasulullah. Kemilau perhiasan dunia yang sempat terbersit di hatinya segera dihilangkan.

Dunia ini terlalu kecil. Maka, tidak layak sesuatu yang kecil ini kemudian menyita seluruh energi kita sehingga sesuatu yang besar menjadi terbengkalai. Sudah sewajarnya dunia dan seluruh kenikmatan yang ada di dalamnya tidak membuat kita sedih dan lupa. Rasulullah bahkan menggambarkan dunia itu hanyalah setetes air dari lautan.

Beliau bersabda, “Perbandingan dunia dan akhirat itu seperti salah seorang dari kalian memasukkan jarinya di laut, kemudian perhatikanlah apa yang menempel ketika ia diangkat (itulah dunia).” (HR. Muslim, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)

Allah, sang pencipta dunia dan seluruh isinya, menjelaskan tentang dunia ini, “Katakanlah, ‘kenikmatan dunia itu sangatlah sedikit, sedangkan akhirat itu lebih baik bagi siapa yang bertaqwa.” (TQS. An-Nisa [4]: 77). “Wahai kaumku, sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan (sementara). Dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal.” (TQS. Al Mu’min [40]: 39)

Jadi, orang besar seperti Anda dan seperti sahabat Rasulullah tidak layak jika hanya mendapat balasan yang kecil berupa dunia. Anda dan Sahabat Rasulullah lebih berhak mendapatkan balasan yang jauh lebih besar dari semua itu, yaitu keridhaan Allah dan Rasul-Nya. Hanya Allah saja yang sanggup memberikan jannah (surga) kepada hamba-hamba-Nya yang mulia.

“Assabiqunal Awwalun (orang-orang yang pertama dan awal masuk Islam) dari kalangan Muhajirin dan Anshar, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah. Dan Allah menyediakan bagi mereka jannah yang mengalir sungai-sungai di bawahnya. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (TQS. At-Taubah [9]: 100)"

Wallahu a'lam.⚫️
(Ust Choirul Anam)

Saat Ajal Yang Pasti Itu Tiba

Oleh: KH Hafidz Abdurrahman

Hidup adalah rangkaian waktu. Waktu demi waktu terangkai menjadi satu, diberikan kepada setiap manusia sebagai ajal. Iya, itulah tenggat waktu yang diberikan oleh Allah kepada kita. Karena itu, setiap umat, kaum dan manusia mempunyai ajal, tenggat waktu. Ketika tenggat waktu yang diberikan telah berakhir, maka tak satupun yang bisa meminta ditangguhkan. Begitu juga ketika tenggat waktu itu belum tiba, maka ia pun tak bisa diajukan, meski hanya sesaat. Itulah ajal manusia.
Allah berfirman:

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لاَ يَسْتَأْخِرُوْنَ سَاعَةً وَلاَ يَسْتَقْدِمُوْنَ

“Setiap umat mempunyai ajal [tenggat waktu]. Ketika tiba ajal mereka, maka mereka tidak bisa meminta ditangguhkan meski hanya sesaat. Juga tidak bisa minta diajukan.” [Q.s. al-A’raf: 34]

Karena itu, tanpa terasa, setiap detik, menit, jam, hari, minggu, bulan dan tahun berlalu, saat usia kita bertambah, sesungguhnya ajal [tenggat waktu] kita semakin dekat. Karena terus berkurang demi detik, menit, jam, hari, minggu, bulan dan tahun. Rangkaian waktu yang telah kita lalui, meski hanya setahun, sebulan, seminggu, sehari, sejam, semenit bahkan sedetik tak akan bisa ditarik kembali. Jika semuanya itu telah pergi, maka umur kita bertambah, tetapi ajal [tenggat waktu] kita semakin dekat.

Ajal kita sudah ditetapkan oleh Allah. Allah pun Maha Tahu kapan ajal kita berakhir. Saat itulah, kematian kan tiba. Kemanapun kita berlari, meski bersembunyi di dalam benteng yang paling kokoh sekalipun, bahkan tak mampu ditembus oleh apapun, tetap saja kematian akan menghampiri kita. Allah berfirman:

أَيْنَمَا تَكُوْنُوْا يُدْرِكُكُمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنْتُمْ فِيْ بُرُوْجٍ مُشَيَّدَةٍ

“Di mana pun kamu berada, kematian pasti kan menemukan kamu, sekalipun kamu berada dalam benteng yang tinggi lagi kokoh.” [Q.s. an-Nisa’: 78]

Begitulah, ajal manusia. Pasti tiba. Namun, saat ajal itu tiba, apakah kita sudah siap? Menyiapkan apa yang akan kita bawa menghadap kepada-Nya. Pernahkan kita menghitung berapa lama waktu yang kita gunakan untuk maksiat, dan berapa yang kita gunakan untuk taat? Padahal, kita hitung atau tidak, yang pasti Allah Maha Tahu, dan Malaikat pun telah mencatatnya, sehingga kita pun tak kuasa untuk mengelaknya. [Q.s. Maryam: 93-100]

Andai saja Allah memberikan umur kepada kita 60 tahun, tiap hari kita gunakan bekerja selama 8 jam, maka kita telah menghabiskan 20 tahun umur kita untuk bekerja. Jika 8 jam kita gunakan untuk tidur tiap hari, maka 20 tahun pula umur kita kita habiskan di tempat tidur. Maka, sudah dua pertiga umur kita habis untuk bekerja dan tidur. Sisanya, sepertiga lagi, selama 20 tahun, kita gunakan untuk makan, santai, dan lain-lain. Pertanyaannya, lalu berapa waktu yang kita berikan untuk Allah?

Itulah mengapa al-Junaid bin Muhammad, salah seorang shalihin membaca tasbih sebanyak 30,000 kali. Ketika kematian menjemputnya, beliau sedang membaca al-Qur’an, saat itu sedang sakaratul maut. Putranya yang tengah menungguinya bertanya, “Ayah membaca al-Qur’an, padahal Ayah sedang sibuk menjemput kematian?” Beliau menjawab, “Apakah ada di dunia ini yang lebih membutuhkan amal shalih ketimbang ayah?” Dalam kitabnya, Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, Ibn Rajab menuturkan, bahwa Khalid bin Ma’dan membaca tasbih dalam sehari hingga 100,000 kali. Subhanallah, begitulah orang-orang shalih menjaga waktunya.
Iya, hidup adalah rangkaian waktu. Tiap detik, menit, jam dan hari yang hilang telah mengurangi tenggat waktu yang Allah berikan kepada kita. Itu artinya, semakin hari ajal kita semakin dekat. Karena itu, ‘Umar bin al-Khatthab mengingatkan:

حَاسِبُوْا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوْا

“Hitunglah amal perbuatan kalian, sebelum kalian dimintai pertanggungjawab [oleh Allah].”

Maka, rangkaian waktu yang kita lalui lebih berharga ketimbang emas, perak, kedudukan atau apapun yang kita miliki. Jika kita tidak bisa mengisinya dengan benar, sesuai dengan perintah dan larangan Allah, pada akhirnya kita menyesal. Karena perbuatan yang begitu banyak dalam hidup kita, ternyata tak satupun yang diterima oleh Allah SWT. Allah memberikan gambaran itu pada amal perbuatan orang Kafir:

عَامِلَةٌ نَاصِبَةٌ تَصْلَى نَارًا حَامِيَةً

“[Orang Kafir] telah bekerja keras lagi kepayahan, tetapi memasuki neraka yang sangat panas.” [Q.s. al-Ghasyiyah: 3-4]

Ketika amal kita diterima oleh Allah, karena kita persembahkan hanya untuk-Nya, dan kita lakukan semata untuk memenuhi perintah dan larangan-Nya, saat itulah kita merasakan kebahagiaan yang tiada tara saat di dunia. Hidup kita, yang tak lain merupakan rangkaian waktu itu menjadi begitu bermakna. Begitu pun saat kita menghadap-Nya, semua yang kita lakukan bisa kita pertanggungjawabkan di hadapan-Nya. Bahkan, kita pun dirindukan-Nya.

Seperti itulah yang dialami Sa’ad bin Mu’adz, sahabat Nabi yang mulia. Umurnya tidak panjang, hanya sekitar 30 tahunan. Dalam waktu yang tidak kurang dari 6 tahun, dia habiskan waktunya untuk Islam, dia berikan segalanya untuk Allah dan Rasul-Nya, saat ajal menjemputnya, Allah pun memberikan kemuliaan yang tiada tara.

 Kematiannya dirindukan oleh Allah, membuat singgasana-Nya bergoncang.
Abu Hurairah juga demikian. Beliau ditakdirkan Allah hanya bersama Nabi saw. tidak kurang dari 3 tahun. Tetapi, dalam waktu 3 tahun itu, beliau gunakan untuk Islam. Lihatlah, tidak kurang dari 4 karung hadits Nabi dia berhasil kumpulkan. Dia gunakan malamnya, saat orang lain lelap dalam tidur, untuk belajar dan menghapal. Itulah umur dan waktu yang berkah dalam kehidupan. Tidak banyak dan tidak panjang, tetapi di sana Allah berikan kebaikan yang berlimpah.

Maka, Allah pun memberikan kesempatan emas itu kepada kita, jika kita sadar. Dengan shalat berjamaah, nilai sekali shalat kita akan dilipatgandakan menjadi 27 kali. Artinya, jika dalam sehari semalam kita shalat rawatib 5 kali, ditambah 12 kali shalat sunahnya, hanya bisa mengumpulkan 17 point, namun dengan shalat berjamaah, point kita bertambah, menjadi 152 point. Berarti sehari, point kita sama dengan 8-9 hari. Belum lagi, jika itu semua dilakukan di masjid, maka tiap langkah kaki kita akan merontokkan dosa kita.
Dengan shalat di Masjid Nabawi, tiap shalat kita mendapatkan 1000 point. Jika kita bisa meraih 152 point di luar Masjid Nabawi, maka di masjid Nabi ini kita bisa mendapatkan 152,000 point. Itu artinya, nilai kita sehari beribadah di sana, sama dengan 24 tahun. Lalu bagaimana kalau itu kita lakukan di Masjidil Haram? Maka, point yang kita peroleh sama dengan 2,483 tahun. Subhanallah.
Dengan shalat Dhuha tiap pagi, kita pun menutup 360 sendi, yang harus kita tutup dengan sedekah. Mulai dari mengeluarkan kata-kata yang baik, membantu orang yang membutuhkan, memberi minum orang lain, membuang duri di jalan, dan sebagainya. Semuanya itu, ternyata Allah cukupkan dengan mengerjakan shalat Dhuha, 8 rakaat. Bahkan, dengannya Allah menjamin akan mencukupkan semua urusan kita di hari itu. Allah Akbar.

Begitu juga dengan dakwah, menyampaikan hidayah kepada seseorang. Ketika orang tersebut mendapatkan hidayah Allah, dari yang asalnya non-Muslim menjadi Muslim, yang asalnya tidak shalat kemudian akhirnya rajin mengerjakan shalat, yang asalanya tidak berhijab menjadi  berhijab dan taat, maka orang yang mengantarkan mereka mendapatkan hidayah itu diganjar oleh Allah dengan kebaikan yang tak terhingga. Lebih baik daripada terbitnya matahari dan bulan. Allah Akbar.

Begitulah Allah memberikan jalan, agar umur, waktu dan hidup kita menjadi berkah. Tiap rangkaian waktu kita lalui dengan penuh hikmah. Tiap detik, menit, jam dan hari yang hilang dari kita, dilipatgankan oleh Allah kebaikannya, karena berkah. Berkah, karena tiap rangkaian waktunya merupakan bentuk pengabdian hamba kepada Rabb-Nya. Saat ajal yang pasti itu tiba, kita pun menghadap-Nya dengan senyuman. Begitulah jiwa orang-orang Mukmin yang shalih dan shalihah:

يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ اِرْجِعِيْ إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً فَادْخُلِيْ فِيْ عِبَادِيْ وَادْخُلِيْ جَنَّتِيْ!

“Wahai jiwa-jiwa yang tenang, kembalilah menghadap kepada Rabb-Mu dengan penuh kerelaan, dan mendapatkan ridha [dari-Nya]. Masuklah ke dalam kelompok hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.” [Q.s. al-Fajr: 27-30]

Ya Allah, berkatilah umur dan waktu kami. Ya Allah, terimalah amal kami. Jadikanlah kami sebagai hamba-hamba-Mu yang ketika ajal kami tiba, termasuk hamba-hamba-Mu yang menghadap kepada-Mu dengan khusnul khatimah. Dengan penuh kerelaan dan mendapatkan ridha-Mu. Amin.. amin.. amin ya Mujibas Sailin.[]

Minggu, 22 Mei 2016

Resign dari Dakwah: Menelisik Diri untuk Berbenah



Oleh: Dwi Boediyanto (Kabid. Pelatihan dan Dakwah PW IKADI Yogyakarta).

Meninggalkan dakwah itu perkara gampang. Kita tinggal sedikit demi sedikit menjauhinya saja. Tidak aktif lagi tanpa pemberitahuan. Tidak merespon saat dihubungi. Bersikap masa bodoh terhadap aktivasi. Tidak datang saat diundang. Sembunyi ketika dimobilisasi. Intinya, bersikap cuek dan masa bodoh saja. Tenggelamkan dalam aktivitas yang memuaskan diri. Dengan cara demikian lambat laun kita akan meninggalkan (atau barangkali lebih tepat — ditinggalkan dakwah). Gampang sekali. Tapi apa manfaatnya bagi kita mengambil sikap demikian?

Benar, meninggalkan dakwah itu perkara yang mudah. Tapi saya sangat yakin, jauh lebih mudah lagi bagi Allah Ta’ala untuk mencari pengganti yang jauh lebih baik daripada mereka yang memutuskan untuk ‘pensiun’ dari dakwah. Para pengganti itu akan menggerakkan dakwah jauh lebih ikhlas dan bersemangat. Ya, sangat mudah bagi Allah untuk melakukannya. Sangat mudah. Tidak ada sedikit pun kerugian bagi dakwah ketika seseorang *_resign_* darinya. Dakwah akan terus berjalan, ada atau pun tanpa kita.

Sekali lagi kita bertanya, apa manfaatnya bagi hidup kita? *Dakwah memang tidak memberi tumpukan harta. Bahkan bisa jadi kitalah yang mesti menyisihkan dari yang Allah karuniakan pada kita untuk menggerakkan dakwah.* Tapi di sanalah kita menemukan makna yang indah. Kita terlibat dalam dakwah bukan untuk memperoleh harta berlimpah. *Kita ingin mendapatkan keridlaan Allah, sehingga dengannya hidup kita bertabur barakah.*

Sekiranya kita memilih ‘masa bodoh’ dan _resign_ dari dakwah, sungguh ada satu hal yang dikhawatirkan: dicabutnya barakah dari hidup kita. Direnggutnya rasa qanaah terhadap harta dari diri kita. Tiba-tiba saja kita berubah menjadi orang yang sangat _‘kemaruk’_ dan rakus terhadap duniawi, secuil apapun ia. Lalu aktivitas dakwah ditinggalkan. Forum-forum pembinaan mulai diabaikan.

Sebagai gantinya proyek-proyek materi menjadi lebih diutamakan.

Dalam situasi demikian (kadang) seseorang masih merasa berkebajikan. Padahal, yang dilakukannya tidak lebih dari aktivitas remeh yang disesaki oleh hasrat yang besar terhadap uang. Semakin dikejar, rasa puas tak pernah akan terpenuhi. Tiba-tiba juga kebutuhan tak bisa tercukupi, padahal pendapatan lebih banyak dari sebelumnya. Jika hal demikian yang terjadi, alangkah baik, sekiranya kita berhenti sejenak. Menelisik kondisi diri.

Jangan-jangan kebarakahan itu telah dicerabut dari hidup kita. _Na’udzubillahi min dzalik._

Setiap saat kita memang perlu menelisik diri. Jika ada benih-benih bergesernya orientasi, mari diluruskan kembali. Saat kelesuan mulai tumbuh, segera pupus dengan semangat beramal. Ketika kejenuhan mulai melanda, perlulah silaturahmi agar ada penyegaran dan suntikan semangat membara.

Memperturutkan kelesuan dan kemalasan beraktivitas dakwah hanya mendatangkan situasi yang semakin berat. Lambat laun seseorang berkemungkinan *‘resign’* tanpa pamitan.

Dalam situasi demikian, ia tidak menyadari bahwa ada yangi berbeda dari cara berpikir, berasa, dan juga bertindak. Mulailah ia bersikap seperti penumpang dan mulai menanggalkan mental seorang sopir ( _driver_ ) yang bersemangat, pantang menyerah dan berkeluh kesah, berorientasi untuk mencari solusi, dan memilih untuk tidak menghujat serta menghakimi.

Saking mudahnya meninggalkan dakwah, alasan apapun bisa dikemukakan.

Seseorang dapat mengelabuhi murabbi atau qiyadah dakwah dengan alasan yang tampak masuk akal: bisnis, kerja, urusan keluarga, atau apapun (Qs. Al Fath:11 dan Al Ahzab: 13). Tapi sungguh, Allah yang paling tahu apa yang sebenarnya terjadi dalam diri kita.

Apakah alasan-alasan itu benar adanya, ataukah muncul dari kelemahan diri dan hasrat kuat untuk menghindar dari amanah. Lagi-lagi, kita memang perlu banyak menelisik diri sendiri.

Jika hari-hari ini kita mulai tampak lesu dan tidak bergairah di jalan dakwah, forum-forum pembinaan juga terasa gampang ditinggalkan, kontribusi yang mesti diberikan juga terasa berat ditunaikan, kerinduan bertemu ikhwah tergantikan dengan hasrat kuat untuk mengejar duniawi, atau teramat nyinyir dan antipati memandang dakwah serta komunitas kebaikan lainnya, rasa-rasanya kitalah yang lebih butuh untuk menerima banyak nasihat dibandingkan orang lain.

Sungguh, tak ada manfaat yang dapat diperoleh dari meninggalkan dakwah, kecuali hidup yang tercerabut dari memperoleh barakah. Hari-hari ini ketika waktu istirahat bagi sejumlah ikhwah terasa amat singkat, kita sungguh merasa malu. Sebagian kita masih bersantai-santai, bahkan membiarkan diri dalam lalai. Ya, ada banyak di antara kita, termasuk saya, yang lebih butuh nasihat.

Semoga Allah jadikan kita generasi yang Allah kokohkan di jalan dakwah ini, terus kokoh, semakin kokoh hingga husnul khotimah. Aamiin. []

*semoga bermanfaat..