Sabtu, 21 November 2015

Jumlah Besar, Aktivitas Minim



Dalam barisan da'wah ada 3 jenis kriteria:
1. Pengamat.
2. Penikmat. Gerak minim, lebih memposisikan sebagai pendengar bukan pelaku, pionir apalagi pendobrak.
3. Pejuang. Bukan sekedar menggugurkan kewajiban tapi berkorban jiwa raga.
Dampak banyak penikmat:
1. paradigma memperjuangkan Islam kurang pas. Tidak berjual beli dengan Allah. Ilmu untuk ilmu. Bukan untuk melangkah dan berjuang. Taqarrub bukan untuk melangkah dan berjuang.
2. Banyak potensi yang tersiakan padahal beban penerapan Islam tidak bisa ditanggung sebagian orang.
3. Hanya mengejar kepuasan pribadi/intelektual sendiri padahal ilmu yang dimiliki adalah untuk membangkitkan umat dan pendorong kejayaan Islam. BEKAL BERJUANG.
Padahal kalau kita hayati:
-Allah itu Thayyib hanya menerima amal yang Thayyib (Terbaik).
-Islam meminta waktu terbaik bukan sisa
-Islam meminta usia emas bukan usia renta
-Islam meminta harta terbaik
-Islam meminta waktu semangat bukan waktu malas
-Islam meminta semua untuk kelak dibalas dengan Jannah
Kalau ini tidak dilakukan maka akan menjadi Beban bagi orang lain. Bukan pejuang lagi tapi penikmat.
Bagaimana seharusnya?
1. Harus punya niat yang sungguh-sungguh, berazzam yang kokoh untuk menempuh jalan hidup Rasul SAW. Karena sebesar apapun dorongan dari luar tetap kembali pada diri sendiri.
2. Sering-sering menghisab diri. Bertanya dan jawablah sendiri sudah berapa orang yang mendapat hidayah lewat kita dalam sepekan? sudah berapa keluarga yang kita kunjungi dan da'wahi? sudah berapa malam memikirkan Islam? sudah bereaksi seperti apa dalam membela Islam? sudah seberapa optimal memenuhi hak Allah?
--Kita sendiri yang tahu sudah sejauh mana kelalaian kita hingga jangan sampai Allah mencabut nikmat ada dalam Kafilah Da'wah Syariah sehingga kita berkutat dengan masalah, diikat dengan persoalan pribadi. Hingga tidak sempat memperbaiki diri--
Clossing statement:
--Kita perlu terus menjadi orang-orang yang berjuang. Mari kita renungkan siapa yang tidak mengairi sawahnya maka tanamannya akan mati. Lanjutkan aktivitas siang dengan malam. pagi dengan sore. musim hujan dengan kemarau. kemarau dengan musim hujan. Terus berjuang tak lekang oleh waktu--
Fa idzaa faraghta fanshab

Kamis, 12 November 2015

Dakwah Hanya Bisa Dipikul Oleh Generasi Terbaik



Beban berat hanya mungkin dipikul oleh orang yg kuat & hebat. Tugas penting hanya mungkin dijalankan oleh orang pilihan.

Amanah yg utama hanya mungkin dilaksanakan oleh orang yg memiliki keutamaan.

Beban berat, tugas penting, amanah utama & taklif istimewa tak mungkin dipikul oleh orang lemah, sembarangan, berkualitas rendah/ biasa-biasa saja.

Dakwah—apalagi dakwah demi tegaknya syariah & Khilafah—adalah   beban berat, tugas penting, amanah utama & taklif istimewa dari Allah SWT kepada kita.

Dakwah ini hanya akan sukses & berhasil mencapai tujuannya jika diemban oleh orang2 yg kuat & hebat, yg memiliki keutamaan & istimewa; bukan oleh orang-orang yg lemah, sembarangan, berkualitas rendah & biasa-biasa saja.

Dakwah ini hanya mungkin berhasil mewujudkan tujuannya jika diemban oleh orang2sekelas generasi para Sahabat ra.

Di bawah kepemimpinan Rasulullah saw., para Sahabat ra. sbg generasi terbaik terbukti sukses memikul beban dakwah di Makkah hingga berhasil mendirikan Negara Islam di Madinah.

Karena itu, agar sukses dakwah hari ini sama dgn sukses dakwah yg diraih generasi Sahabat pada masa lalu, mau tak mau, para pengemban dakwah hari ini harus meng-copy paste kepribadian (syakhshiyyah) mereka;

baik dalam hal kualitas keimanan dan ketakwaan mereka, keluasan ilmu agama mereka; banyaknya amal shalih mereka; keagungan perilaku dan akhlak mereka; besarnya semangat dan ghirah dakwah mereka; serta luar biasanya pengorbanan harta dan jiwa mereka di jalan Allah SWT.

Saat para pengemban dakwah gagal meng-copy paste seluruh keteladanan generasi para Sahabat ini, dipastikan gagal pula dakwah yang mereka lakukan.

Smoga kualitas & kuantitas ibadah/ketaatan kita bisa seperti generasi sahabat minimal mendekatinya...

Smoga istiqomah dalam jalan dakwah yg mulia ini, baarokallohufiikum, SEMANGAT

Cara Kita Melihat Kegagalan



πŸŒΏπŸŒΊπŸ‚πŸ€πŸŒΌπŸ„πŸŒ·πŸπŸŒΉ

Kita seringkali begitu enteng menilai sebuah kegagalan sebagai 'kegagalan', lengkap dengan komentar-komentar yang meremehkan.

Padahal, umumnya kegagalan terjadi setelah terwujudnya sebuah amal. Atau bahkan, kegagalan terjadi setelah teraihnya sekian langkah keberhasilan.

Contoh sederhana, sebuah kesebelasan sepakbola yang dikatakan gagal masuk final, atau gagal menjuarai kejuaraan piala dunia, atau seorang atlit yang dianggap gagal meraih emas di arena olympiade, lalu orang-orang dengan mudah mencibirnya.

Sesungguhnya mereka telah melewati keberhasilan yang sangat jarang mampu dilewati oleh tim atau orang selevel mereka, apalagi orang yang bukan level mereka.

Maka, meskipun raut kesedihan itu terbayang diwajah mereka karena kegagalan saat itu, sebetulnya mereka telah melewati sekian banyak kebahagiaan dari sekian panjang perjalanan hingga berhasil masuk dalam even bergengsi tersebut.

Agenda DAKWAH, jika dipandang dari sisi target-target yang diharapkan, sering berujung pada penilaian 'gagal', atau paling tidak, dinilai 'tidak memuaskan atau belum sesuai harapan'.

Hanya saja, kita sering hanya melihat dari satu sisi saja, padahal, banyak point yang dapat diambil dari sebuah usaha yang belum mencapai target yang diharapkan.

Jika kita perhatikan, dibalik apa yang dikatakan kegagalan pada sejumlah masyru' (proyek) dakwah pada level tertentu, sesungguhnya kita telah melewati sekian banyak capaian dakwah yang sekian puluh tahun lalu masih merupakan khayalan dan impian. Jika obyektif, anda bisa jadi sulit menghitung banyaknya capaian-capaian dakwah yang cukup membanggakan jika dibandingkan dengan kondisi sebelumnya.

Memang, sisi buram selalu saja ada dalam perjalanan dakwah dan tidak boleh pula diingkari. Hanya saja, jika ada sebagian orang begitu fasih menyebutkan satu persatu keburukan dalam agenda dakwah sehingga berpengaruh melemahkan langkah perjalanan, seharusnya kita lebih fasih lagi menyebutkan capaian-capaian dakwah yang dapat menyemangati langkah dalam perjalanan dan menerbitkan optimisme lebih besar.

πŸ’‘πŸ”‘ Layak kita ingat, titik tekan dalam dakwah adalah 'amal' bukan 'hasil' (At-Taubah: 105).

Sebab kalau titik tekannya adalah hasil, maka Nabi Nuh dapat dianggap 'gagal', karena cuma segelintir saja yang bersedia ikut beriman bersamanya setelah 950 tahun berdakwah, bahkan termasuk anak isterinya tidak ikut beriman.

Nabi Zakaria juga dapat dianggap 'gagal' karena justeru dibunuh oleh kaumnya yang dia dakwahi. Ashahbul Ukhdud adalah kelompok yang 'gagal', karena perjuangan mereka berujung di kobaran api membara.

Namun nyatanya, Allah mengabadikan mereka dalam barisan pioner dakwah yang menjadi inspirasi para dai berikutnya.

πŸ’Maka, ketika seorang dai selalu berada dalam arena 'amal' dan 'kerja nyata' sesungguhnya itulah kebehasilannya dalam dakwah. Perkara hasil, itu wewenang Allah yang menetapkan kapan dan dimana dia diberikan.πŸ’

Sering terjadi dalam arena dakwah, kemenangan, Allah tentukan pada tempat dan waktu yang tidak diperkirakan. Namun yang pasti, Allah telah janjikan kemenangan bagi mereka yang berusaha dan beramal.

πŸ”‘ Yang pasti, kemenangan tidak akan Allah berikan kepada mereka yang tidak beramal.
πŸ”‘Juga yang pasti, orang yang berhasil, adalah orang yang pernah gagal dan orang gagal yang sesungguhnya adalah orang yang tidak pernah berusaha!

Kegagalan yang membuat kita terus bekerja dengan sabar untuk mencari peluang dan berharap kemenangan, jauh lebih mulia ketimbang kemenangan yang membuat kita sombong dan menghentikan langkah.

Bisa jadi, kegagalan merupakan cara Allah agar kita terus berada dalam kebaikan dan kemuliaan beramal seraya terus bersandar kepada-Nya.

Maka, langkah ini tidak boleh berhenti. Tak kan surut kaki melangkah, begitu kata sebait syair nasyid.

Medan amal begitu beragam dan luas terbentang menanti aksi kita. Sebab, surut melangkah karena sebuah agenda yang dianggap gagal, justeru lebih buruk dari kegagalan itu sendiri.

πŸŒΏπŸŒΊπŸ‚πŸ€πŸŒΌπŸ„πŸŒ·πŸπŸŒΉ

Allah Dulu, Kemudian Surga



Saat menengok sejarah kehidupan para Sahabat,
kita akan mendapati bahwa mereka adalah orang-
orang yang begitu antusias memenuhi seruan
menjadi penolong agama Allah. Tekad mereka
menjadi pejuang Islam dan pembela akidah telah
nyata tercatat dalam tinta emas sejarah kehidupan
ini.
Abdurrahman Ra’fat al-Basya pernah
mengumpulkan kisah-kisah para Sahabat tadi dalam
sebuah buku yang ia beri judul “65 Manusia Langit”.
Ya, manusia langit. Tidak berlebihan jika sematan
manusia langit ini diberikan kepada mereka sebab
kontribusi para sahabat tadi dalam menolong agama
Allah begitu luar biasa.
Tengoklah kisah Sahabat bernama Al-Bara’ bin
Malik al-Anshary. Mengenai beliau, Umar bin al-
Khaththab ra. bahkan pernah berkata, “Janganlah
kalian tunjuk Al-Bara’ menjadi Amir dalam pasukan
kaum muslim karena dikhawatirkan ia dapat
mencelakakan tentaranya karena ingin terus maju.”
Apa yang disebutkan Umar memang bukan tanpa
alasan. Pada peperangan Yamamah, perang antara
kaum muslim dan pasukan Musailamah al-Kadzdzab,
si nabi palsu, Al-Bara’ bin Malik ditunjuk untuk
menjadi salah satu pemimpin pasukan. Al-Bara’ pun
melihat kaumnya dan menyemangati mereka,
“Wahai semua kaum Anshar, jangan ada seorang pun
dari kalian yang kafir dengan kembali ke Madinah.
Tidak ada Madinah setelah ini bagi kalian. Yang ada
hanyalah Allah, kemudian surga!”
Kaum muslim pun maju hingga membuat Musailamah
dan pasukannya pergi ke sebuah taman yang
kemudian disebut sebagai Taman Kematian. Disebut
demikian karena banyaknya korban yang tewas di
sana pada hari itu. Musailamah dan pasukannya
berlindung di balik tingginya tembok-tembok Taman
Kematian. Mereka juga menutup pintunya sehingga
kaum muslim hanya bisa menyerang mereka dengan
panah. Melihat kesulitan yang dihadapi oleh kaum
muslim, Al-Bara’ kemudian berkata kepada
kaumnya, “Wahai kaumku, letakkanlah aku di atas
perisai. Angkat perisai itu, lalu lemparkanlah aku ke
dalam kebun!”
Sendirian, Al-Bara’ bin Malik dilemparkan masuk ke
dalam benteng. Kemunculan Al-Bara’ yang tiba-
tiba membuat musuh panik. Ia segera mencari jalan
untuk membuka pintu dari dalam, membuat jalan
bagi kaum muslim yang sudah menanti di luar
gerbang. Disebutkan, pada saat itu al-Bara’ bin
Malik terkena lebih dari delapan puluh luka di
tubuhnya. Atas izin Allah, al-Bara’ berhasil
menyelesaikan misinya dan Musailamah al-Kadzdzab
beserta semua pengikutnya tewas.
Membaca kisah ini, saya merinding. Tekadnya
menjadi penolong agama Allah terlihat jelas dalam
aksinya. Semangatnya menyambut ridha Allah
terpampang jelas melalui kata-katanya, “Yang ada
hanyalah Allah, kemudian surga!”
Menutup tulisan singkat ini, semoga apa yang
ditunjukkan oleh Al-Bara’ bin Malik bisa menjadi
teladan bagi kita semua. Tentu, jika kita ingin
mengembalikan kejayaan Islam di muka bumi ini,
kualitas perjuangan kita tak boleh kalah dengan
para Sahabat. Usaha kita menjadi penolong agama
Allah juga tak boleh kalah daripada yang
ditunjukkan oleh para pendahulu kita. Saudaraku,
mari kita ingat, bahwa dalam jalan dakwah ini,
yang ada hanyalah Allah, kemudian surga.

Sabtu, 07 November 2015

Cinta...Maasyaa Allah


Brukk! Untuk ke sekian kali, kepala ustadz muda itu terbentur. Kali ini kepalanya membentur kusen pintu masjid saat ia hendak keluar seusai menunaikan shalat ashar berjamaah. Saat itu, setelah shalat, ia memang agak buru-buru karena harus segera menemui seseorang untuk kepentingan dakwah.

‘Peristiwa biasa’ yang saya saksikan dari jarak kira-kira lima meter itu, entah mengapa, membuat hati saya trenyuh. Saya pun menangis dalam hati. Tidak lain karena ustadz muda yang saya ceritakan kali ini adalah seorang yang buta. Namun, kondisinya yang buta itu tidak pernah menyurutkan langkahnya untuk senantiasa menunaikan shalat berjamaah di masjid lima kali sehari. Hal itu sudah bertahun-tahun ia jalani, terutama sejak ia mengalami kebutaan permanen sekitar tiga-empat tahun lalu. Saya pun teringat Sahabat Nabi saw. Abdullah bin Ummi Maktum yang juga buta. Ia pun senantiasa shalat berjamaah di masjid karena memang Nabi saw. tidak memperkenankan dirinya shalat di rumah selama ia mendengar azan di masjid.

Sebetulnya, bukan pemandangan itu benar yang membuat hati saya trenyuh. Bukan pula semata-mata karena ustadz muda yang baru beberapa bulan lalu saya kenal itu matanya buta yang membuat saya menangis dalam hati. Lagi pula saya tidak sedang menangisi dia. Sebab, toh dari kata-kata dan sikapnya selama ini, saya tahu ia pun tidak pernah menampakkan kesedihan dan meratapi diri karena kondisinya yang buta itu. Padahal sudah tak terhitung kepalanya terbentur tembok, terantuk batu, terpeleset, terserempet kendaraan di jalanan, bahkan terperosok ke selokan. Itu sudah sering ia alami. Namun, ia selalu menyikapi semua itu dengan kesabaran, bahkan senyuman. Yang membuat saya takjub, semua penderitaan itu justru sering ia alami dalam menjalankan aktivitas dakwahnya; berceramah ke berbagai tempat, mengisi ta’lim, melakukan kontak-kontak dakwah, dll. Sering semua itu ia lakukan dengan berjalan kaki sendirian, tanpa teman yang membantu menuntun dirinya. Semua itu ia lakukan dengan selalu bersemangat, tak kenal lelah, meski ia harus sering-sering meninggalkan anak-istrinya.
Selain berceramah atau mengisi ta’lim, ia mengaku menyisihkan waktu minimal dua jam setiap hari untuk melakukan kontak-kontak dakwah. Itu pun sudah lama ia lakukan. Inilah yang sebetulnya membuat hati ini menangis.

Saya menangis karena dalam kondisi tubuh saya yang sempurna, tidak kekurangan apapun, saya tampaknya belum bisa menyamai apalagi melebihi apa yang sehari-hari dilakukan sang ustadz itu. Jangankan menyisihkan waktu dua jam sehari untuk khusus melakukan kontak-kontak dakwah, bahkan untuk sekadar istiqamah shalat berjamaah lima waktu di masjid pun sulit, terutama zuhur dan ashar, karena boleh jadi masih di perjalanan, di tempat kerjaan ataupun karena hal lain.

Saat saya bertanya, mengapa dalam kondisi semacam itu ia selalu bersemangat berdakwah dan sepertinya tak pernah kenal lelah, ia hanya menjawab dengan satu kata, “Cinta.”

“Maksudnya?” tanya saya lagi.

“Ana melakukan semua ini karena Ana mencintai Islam, mencintai dakwah ini dan mencintai saudara sesama Muslim, terutama mereka yang belum tersentuh hidayah Islam,” jawabnya tegas.

“Kalau bukan karena cinta, Tadz,” lanjutnya kepada saya, “Ana, juga Antum, tak mungkin kan harus capek-capek berdakwah, apalagi dengan kondisi Ana yang cacat seperti ini.”

Cukup rasanya kata-katanya itu menyentakkan kembali kesadaran saya. Saya pun teringat kembali dengan kisah Sahabat Rasululullah saw. yang mulia, Mushab bin Umair ra. Sebelum masuk Islam Mushab ra. adalah seorang pemuda yang biasa hidup dalam kesenangan dan kemewahan. Ia memang berasal dari keluarga kaya-raya di Makkah. Semua itu didukung oleh sosoknya yang memang tegap dan tampan. Pernah orangtuanya membelikan sehelai pakaian seharga 200 dirham. Jika dikonversikan dengan harga sekarang, itu setara dengan Rp 14.075.800,- (Empat belas juta tujuh puluh lima ribu delapan ratus rupiah)! (Catatan: 1 dirham=2.975 gr perak murni=Rp 70.379,-. Sumber: Geraidinar.com, 19/5/2011, pk. 06.30).
Mushab bin Umair ra. kemudian masuk Islam diam-diam tanpa sepengetahuan orangtuanya. Saat kedua orangtuanya mengetahui keislamannya, mereka mengurung dan mengikat dirinya di rumah agar tidak bisa kemana-mana. Namun akhirnya, ia bisa melarikan diri ke Abesinia, tentu dengan meninggalkan segala kesenangan dan kemewahan hidup yang selama ini ia reguk. Tak lama kemudian ia kembali ke Makkah. Ia lalu diutus oleh Baginda Rasulullah saw. ke Madinah sebagai duta dakwah Islam. Atas perannyalah sebagian pemuka Arab Madinah diislamkan. Bahkan akhirnya mereka mau menyerahkan kekuasaan mereka kepada Rasulullah saw. hingga beliau sukses mendirikan Daulah Islam di Madinah.

Suatu saat, ketika Baginda Rasulullah saw. duduk-duduk, lewatlah ke hadapan beliau Mushab ra. dengan pakaian yang sudah kumal dan bertambal-tambal. Rasul saw. tampak bersedih dan berlinang airmata menyaksikan pemandangan itu. Sebab, beliau tahu persis bagaimana keadaan Mushab ra. yang hidup serba gemerlap sebelum masuk Islam. Kini, ia meninggalkan semua kemewahan itu karena satu hal: cinta. Begitu besar cintanya pada Islam, dakwah dan kepada sesama Muslim. Demi cinta itu pula ia rela mengorbankan apa saja. Bahkan karena cinta pula ia rela terbunuh di medan perang dengan cara yang amat mengiris hati.

Saat itu, dalam Perang Uhud, saat tentara Islam mengalami kekalahan, dan sebagian dari mereka lari tunggang-langgang, Mushab ra. tetap berdiri dengan gagah di medang perang sambil memegang Bendera Islam. Tiba-tiba musuh menebas salah satu tangannya hingga putus. Bendera itu pun terjatuh. Cepat-cepat ia meraih kembali bendera itu dengan tangannya yang lain. Musuh itu kembali menebas tangannya yang tersisa itu hingga putus. Buru-buru pula ia mendekap bendera itu di dadanya dengan kedua lengannya yang masih berlumuran darah. Namun, sebuah anak panah tiba-tiba menghujam dadanya hingga akhirnya ia tersungkur ke tanah, dan bendera itu pun terjatuh. Akhirnya, ia pun gugur sebagai syuhada.

Saat jenazahnya hendak dikuburkan, ia hanya memiliki selembar kain yang terlalu kecil. Jika kain itu ditarik untuk menutupi wajahnya, kakinya terbuka. Sebaliknya, jika kain itu ditarik untuk menutupi kakinya, wajahnya yang terbuka (Al-Kandahlawi, Fadha’il A’mal, 626-627).

Begitulah Mushab bin Umair ra. Begitulah sosok para pecinta Islam, dakwah dan kaum Muslim. Bagaimana dengan kita?

Keteguhan Seorang Syekh


✅ Beliau adalah Syeikh Taqiyuddin Annabhani. Saat beliau mendakwahkan Islam apa adanya, menyampaikan yg haq adalah haq dan yang bathil adalah bathil, hal itu membuat penguasa waktu itu, raja Abdullah bin Husein, marah besar.
Akhirnya, Syeikh Taqiyuddin ditangkap dan ditempatkan di penjara kota, di Amnan, Yordania.

✅Waktu itu, raja Abdullah mengundang beberapa orang ulama setiap minggu ke istananya di Raghdan. Hal itu mendorong para syeikh meminta raja Abdullah agar membebaskan rekan mereka, yaitu Syeikh Taqiyuddin. Maka tidak ada pilihan bagi raja. Lalu Syeikh Taqiyuddin dihadirkan ke istana kerajaan dengan dihadiri oleh sejumlah syeikh.

Ketika Syeikh Taqiyuddin duduk di tengah mereka, raja Abdullah sambil menatap ke arah beliau, dia berkata: "Dengarkan syeikh, apakah engkau mau berjanji akan berkawan dengan orang yang menjadi kawanku, dan memusuhi orang yang menjadi musuhku?".

Syeikh Taqiyuddin memandang raja Abdullah dan beliau tidak menjawab satu patah katapun. Raja Abdullah mengulangi hingga tiga kali dan marah besar.

✅Pada saat itu, Syeikh Taqiyuddin mengangkat kepala dan berkata: "Sesungguhnya, aku telah berjanji kepada Allah, untuk menjadikan kawan dekat orang-orang yang berwala (loyal dan taat) kepada Allah. Dan aku memusuhi orang-orang yang memusuhi Allah".

Maka raja Abdullah naik pitam dan berteriak: "Engkau adalah syeikh yang sangat berbahaya!!!".

Lalu ia berkata kepada tentaranya: "Tangkap dia dan kembalikan dia ke penjara".

Pada situasi yang membutuhkan sikap orang-orang yang bertaqwa, ternyata para syeikh yang hadir, tidak ada satupun yang mengucapkan barang satu kata pun... (Kitab Ahbaabullah, karya Syeikh Thalib Awadallah).
***
✅Benarlah kata Rasul, mengatakan yang haq dan berdakwah itu seperti memegang bara api.

Tidak akan sanggup melakukannya kecuali orang yang benar-benar bertaqwa kepada Allah.

Sungguh berbahagialah orang-orang yang bertaqwa.

Sungguh sangat berbahagia engkau, wahai Syeikh Taqiyuddin, semoga Allah meridloi dan merahmati engkau.

Sikapmu adalah sikap seorang ulama warasatul anbiya.

Minggu, 01 November 2015

Suriah Yang Sendirian


Ya Allah Malna Ghairaka Ya Allah, Ya Allah Ajjil Nashrak Ya Allah
Saya memanggilnya Abu Hasan. Lelaki paruh baya yang ditugasi melayani saya dan kawan-kawan dokter dari Indonesia selama hampir sebulan di pinggiran Lattakia, Suriah, 2012 silam. Tugasnya menyiapkan masakan, memastikan midfa (penghangat ruangan) tidak kehabisan minyak, dan menemani kami sepanjang hari.
Saya tidak ingin bercerita tentang bagaimana ketulusan dia melayani kami, karena itu akan membuat saya malu—kami datang jauh-jauh dari Indonesia untuk melayani, tapi kok di sini malah dilayani. Cerita itu hanya akan membuat “sakit hati” oleh sebab kebaikan ahlu Syam yang tidak pernah bisa saya lunasi. Tapi malam ini tetiba saya teringat slogan (Anda boleh menyebutnya lagu) yang sering didengungkan Abu Hasan di hadapan kami.
Di waktu senggang, kami sering ngobrol dan bercengkrama. Kadang ia mengajari kami bahasa Amiyah yang banyak digunakan penduduk. Atau teka-teki bermuatan Islam. Dan yang termasuk sering ia dengungkan adalah lirik di atas. Ya Allah Malna Ghairaka ya Allah…. Ya Allah Ajjil Nashrak ya Allah.
Jujur, saya kesulitan mencari arti yang pas dari lirik Malna Ghairaka. Tapi kalau mau diartikan secara harfiyah, begini: “Ya Allah kami tidak memiliki siapapun lagi selain Engkau ya Allah. Ya Allah segerakanlah pertolongan-Mu ya Allah.” Liriknya memang pendek, tetapi bagi saya memiliki arti yang dalam dan “menyayat” hati.
Bagi saya, lirik tersebut menggambarkan kesendirian rakyat Suriah menghadapi musibah kemanusiaan terbesar—versi UNHCR. Saya sebut sendiri, karena ketika beberapa invidu atau lembaga kemanusiaan yang mencoba menghimpun dana dan bantuan untuk mereka, langsung dicap (terkait kelompok) teroris. Sendiri, karena setiap berbicara soal Suriah dianggap tabu. Karena ISIS-lah, konflik sectarian, lah… Atau juga karena fenomena rabun jauh: ngapain repot-repot mikir Suriah kalau yang di sini saja juga repot.
Sebaliknya, monster-monster pencabut nyawa yang mengintai mereka tak pernah kenal kata puas dan kenyang. Makin hari, justru makin rakus dan tamak. Lihat saja bagaimana hari ini China dan Korea Selatan sudah sepakat ikut dalam invasi militer Rusia di Suriah. Koalisi ini menambah kuat jaringan Syiah sebelumnya, yaitu Iran dan Hizbullah Lebanon.
Persekutuan tersebut semakin perkasa dengan sikap dingin Amerika dan Eropa melihat armada Rusia membombardir wilayah pemukiman penduduk (sering disebut sebagai basis pemberontak) Suriah. Dalam diamnya, Barat merasa girang karena tidak sendirian menghadapi jihad rakyat Suriah yang makin hari makin mengkhawatirkan mereka.
Sendiri, tak ada kawan. Sementara lawan makin solid dan bersatu padu siap mencabut nyawa mereka.
Dari pengalaman bergaul dengan rakyat Suriah, sesungguhnya saya tidak mengkhawatirkan kesendirian mereka ini. Justru makin kuat mereka melantangkan Ya Allah Malna Ghairaka, makin kecil ketergantungan mereka kepada manusia. Sebaliknya, mereka makin dekat, dan makin bergantung serta bersandar kepada Raja Diraja, Allah Rabbul Alamin. Kekuatan yang serba maha yang tak bakal terkalahkan. Itulah sumber kekuatan dan jaminan kemenangan!
Justru yang saya merasa miris dengan sikap acuh tak acuh, tak peduli dan masa bodoh yang diperagakan kaum Muslimin di luar Suriah. Mereka, yang terjerembab pada debat kusir seputar: isu terorisme, konflik sectarian dan sindrom rabun jauh. Miris, membayangkan apa yang bakal mereka jawab menghadapi tuntutan dan aduan rakyat Suriah kelak di hadapan Allah pada hari kiamat. Dan, mereka itu bisa jadi saya, Anda dan kita.