Rabu, 27 Juli 2016

AGAR LISAN KITA MULIA


Oleh: Arief B. Iskandar

Salah satu nikmat terbesar bagi setiap manusia adalah lisannya. Tanpa lisan, manusia tak bisa berkata-kata. Sayang, tidak semua manusia memanfaatkan lisannya untuk hal-hal yang berguna. Tak sedikit mereka menggunakan lisannya untuk hal-hal yang sia-sia bahkan mengandung unsur dosa; berkata-kata kotor, keji, berdusta, menggunjing, memfitnah, bersumpah palsu, merayu wanita asing, dsb.

Padahal setiap orang yang dianugerahi nikmat, termasuk nikmat memiliki lisan, pasti akan dimintai pertanggung jawaban. Allah SWT berfirman: Kemudian pasti kalian akn ditanya pada hari itu (Hari Kiamat) tentang nikmat (QS at-Takatstsur [102]: 8).

Karena itu sudah selayaknya setiap Muslim memperhatikan, menjaga dan memelihara lisannya. Hendaklah setiap Muslim hanya menggunakan lisannya untuk hal-hal yang bermanfaat dan mendatangkan pahala. Jika tidak sanggup, maka Baginda Rasulullah saw. telah memberikan pedoman, “Man kâna yu’minu bilLâh wa al-yawm al-akhir, qul khayran aw liyashmuth (Siapa saja yang mengimani Allah dan Hari Akhir, katakanlah yang baik atau diamlah).” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Karena itu, Ibn Abbas, sebagaimana dituturkan oleh Said bin Zubair, pernah suatu kali memegang lisannya seraya berkata, “Qul khayran taghnam aw ushmuth taslam qabla an tandam (Hai lisan! Katakanlah yang baik, niscaya kamu beruntung; atau diamlah, niscaya kamu selamat, sebelum kamu menyesal).” (Ahmad bin Hanbal, Fadhâ’il ash-Shahâbah, II,952).

Dalam riwayat lain, sebagaimana disebutkan oleh Said al-Jurairi, bahwa Ibn Abbas pernah berkata sambil memegang lisannya, “Celakalah kamu! Katakanlah yang baik, niscaya kamu beruntung. Diamlah dari berkata-kata buruk, niscaya kamu selamat.” Seseorang lalu berkomentar, “Mengapa Anda berkata demikian?” Ibn Abbas menjawab, “Karena saya pernah mendengar bahwa pada Hari Kiamat nanti, seorang hamba sangat membenci lisannya (karena keburukan lisannya saat di dunia, pen.).” (Al-Asbahani, Hilyah al-Awliyâ’, I/327, Al-Bayhaqi, Syu’ab al-Imân, 7/16).

Kata-kata Iabn Abbas ini selaras dengan sabda Baginda Rasulullah saw., “Inna aktsara khathâyâ ibn âdam fî lisânihi (Sesungguhnya kesalahan manusia yang paling banyak bersumber dari lisannya).” (Ath-Thabrani, Mu’jam al-Kabîr, X/197)


Karena itulah, agar lisan kita mulia dan jauh dari kehinaan di dunia maupun di akhirat, setidaknya ada tiga hal yang perlu dilakukan. Pertama: Lisan kita banyak digunakan untuk berzikir kepada Allah SWT. Saat Muadz bin Jabbal bertanya kepada Nabi saw., “Wahai Rasulullah, amal apa yang paling utama?” Beliau menjawab, “Lisanmu senantiasa basah karena selalu berzikir kepada Allah.” (Ibn al-Mubarak, Az-Zuhd wa ar-Raqa’iq, I/328).

Seorang Arab pedalaman juga pernah bertanya kepada Rasulullah saw., “Sesungguhnya bagi saya syariah Islam itu banyak jumlahnya. Adakah satu saja yang bisa menghimpun semuanya?” Beliau menjawab, “Lisanmu selalu basah karena senantiasa banyak berzikir kepada Allah.” (HR ath-Thabrani).

Kedua: lisan kita digunakan untuk banyak memberikan nasihat kepada sesama. Sebab, sabda Nabi saw., “Ad-Dîn an-Nashîhah (Agama adalah nasihat).” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Nabi saw. juga bersabda, “Afdhal ash-Shadaqah shadaqah al-lisân (Sedekah yang paling utama adalah sedekah lisan).” (Asy-Suyuthi, Al-Jâmi’ ash-Shaghîr, I/91). Yang dimaksud di antaranya adalah lisan yang mengandung hidayah yang bisa menyelamatkan penuturnya dan orang lain di akhirat (Al-Munawi, Faydh al-Qadîr, 8/102).

Ketiga: Lisan kita digunakan untuk dakwah dan melakukan amar makruf nahi mungkar. Lisan yang mengandung unsur dakwah adalah lisan terbaik dalam pandangan Allah SWT, sebagaimana firman-Nya (yang artinya): Siapakah yang lebih baik ucapan (lisan)-nya dibandingkan dengan orang yang berdakwah (menyeru manusia) kepada Allah, beramal shalih dan berkata, “Sesungguhnya aku adalah bagian dari kaum Muslim.” (TQS Fushilat [41] 33).

Demikian pula lisan yang digunakan untuk melakukan amar makruf nahi mungkar, apalagi terhadap para penguasa zalim. Rasulullah saw. bersabda, “Afdhal al-jihâd kalimatu haqq[in] ‘inda sulthân jâ’ir
[in] (Jihad yang paling utama adalah menyampaikan kata-kata kebenaran di hadapan penguasa zalim).” (HR ath-Thabrani, al-Baihaqi dan al-Hakim).

Dengan itulah, di antaranya, lisan kita akan menjadi mulia, di dunia maupun di akhirat.

Semua hal yang berkaitan dengan lisan ini berlaku pula untuk tulisan (seperti yang banyak dilakukan oleh banyak orang di media sosial (facebook, BBM, WA, Telegram, dll) akhir-akhir ini. Sebab, sebagaimana dikatakan oleh sebagian ulama, “Al-Kitâbah fî mahal al-maqâlah (Tulisan itu sama kedudukannya dengan ucapan [lisan]).” Karena itu tulisan kita pun, sebagaimana lisan kita, bisa menjadikan kita mulia atau hina, di dunia maupun di akhirat. Semua itu bergantung pada apakah dalam lisan dan tulisan kita terkandung usur zikir kepada Allah SWT, nasihat, dakwah dan amar makruf nahi mungkar ataukah tidak.

Wa mâ tawfîqi illâ bilLâh. []

Kamis, 14 Juli 2016

HAKIKAT IBADAH: TUNDUK DAN PASRAH KEPADA ALLAH SWT

Oleh: Arief B Iskandar

Allah SWT menciptakan manusia dan jin tidak lain untuk beribadah (QS adz-Dzariyat [51]: 56).

Ibadah tak lain merupakan ketundukan  dan kepasrahan secara total seorang hamba kepada penciptanya, Allah SWT. Ketundukan dan kepasrahan kepada Allah tentu tidak cukup diekspresikan lewat ibadah-ibadah ritual seperti shalat, tetapi juga harus dibuktikan dalam seluruh pelaksanaan hukum-hukum Allah SWT di luar shalat; baik dalam perkara muamalah (ekonomi, politik, pemerintahan sosial, pendidikan, dll) maupun 'uqubat (hukum dan peradilan).

Imam Ja'far ash-Shadiq, sebagaimana dikutip dalam kitab Fath ar-Rabbani wa Faydh arh-Rahmani karya Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, pernah berkata, “Hakikat ubudiah (penghambaan) seseorang terhadap tuannya adalah: ia menyadari bahwa apa yang ada pada dirinya hakikatnya bukanlah miliknya, tetapi milik tuannya; ia tunduk dan patuh tanpa membantah terhadap setiap perintah tuannya; ia tidak membuat aturan apapun selain menerima aturan yang dibuat tuannya untuk dirinya.”

Dengan demikian, ibadah pada dasarnya adalah kepatuhan dan kepasrahan total kepada Zat yang disembah, yakni Allah SWT, dengan selalu menaati seluruh hukum-hukum-Nya.

Terkait dengan itu, Allah SWT berfirman (yang artinya): ”Demi Tuhanmu, tidaklah mereka beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim dalam apa saja yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak menemukan di dalam diri mereka satu rasa keberatan pun terhadap apa yang kamu putuskan, dan mereka menerima putusanmu itu dengan sepenuh hati” (TQS an-Nisa' [4]: 65).

Ada sejumlah riwayat terkait dengan sababun-nuzul (sebab turunnya) ayat ini. Salah satunya adalah riwayat dari Ummu Salamah, yang menyebutkan bahwa Zubair bin Awwam pernah mengadukan seseorang kepada Baginda Rasulullah saw. dalam suatu perkara. Baginda Rasulullah kemudian mengeluarkan putusan dalam perkara tersebut yang memenangkan Zubair. Orang tersebut dengan nada keberatan lalu berkata, “Engkau memenangkan dia karena dia adalah keponakanmu.” Kemudian turunlah ayat ini (Dikeluarkan oleh Al-Hamidi dalam Musnad-nya, Sa'id bin Manshur, Abdun bin Hamid, Ibn Jarir, Ibn al-Mundzir dan Ibn Hibban dalam al-Kabir).

Dalam riwayat lain, dalam tafsirnya al-Hafizh menuturkan riwayat dari Utbah bin Dhamrah dari bapaknya, bahwa pernah ada dua orang yang berperkara, yang sama-sama mengadukan perkaranya kepada Baginda Rasulullah saw. Beliau lalu mengeluarkan putusan hukum atas perkara tersebut yang memenangkan orang yang dipandang benar dan mengalahkan lawannya yang dianggap salah. Namun, orang yang dikalahkan perkaranya berkata, “Aku tidak rela.”

Yang memenangkan perkara lalu bertanya, “Lalu apa yang engkau mau?”

Ia menjawab, “Kita pergi ke Abu Bakar ash-Shiddiq (untuk meminta putusannya, pen.).”

Keduanya lalu menemui Abu Bakar ra. Beliau lalu berkata, “Kalian berdua harus mematuhi putusan Rasulullah saw.”

Namun, pihak yang dikalahkan  menolak dan tetap tidak rela. “Sekarang mari kita menjumpai Umar bin al-Khaththab.”

Lalu keduanya menemui Umar ra. Namun, Umar bukan memberikan putusan. Beliau malah masuk ke rumahnya dan keluar kembali dengan membawa pedang di tangannya. Seketika beliau menebaskan pedang itu ke leher orang yang enggan menerima putusan Rasulullah itu. Kemudian turunlah ayat di atas.

Riwayat senada dituturkan oleh Al-Hakim dan at-Tirmidzi dalam Nawadir al-Ushul dari Makhul. Hanya saja ditambahkan, bahwa setelah membunuh orang munafik yang tidak menerima putusan itu, Umar kemudian berkata, “Begitukah hukuman bagi orang yang tidak rela dengan putusan Rasulullah saw.”

Lalu turunlah Malaikat Jibril kepada Rasulullah sembari memberitahu beliau, “Sesungguhnya Umar telah membunuh orang itu. Allah telah memisahkan kebenaran dan kebatilan melalui lisan Umar.”

Karena itulah kemudian Umar disebut dengan al-Faruq (as-Suyuthi, Ad-Durr al-Mantsur fi Ta'wil bi al-Ma'tsur, III/161-162. Lihat pula: Ash-Shabuni, Shafwah at-Tafasir,  I/260-261).

Jelas, ketundukan secara total terhadap hukum-hukum Allah merupakan bukti hakiki keimanan seorang Muslim. Inilah yang juga diisyaratkan secara tegas oleh Allah SWT dalam firman-Nya (yang artinya): ”Sesungguhnya ucapan orang-orang Mukmin itu--manakala mereka diseru kepada Allah dan Rasul-Nya untuk menghukumi mereka--adalah ungkapan, ’Kami mendengar dan kami taat.’ Merekalah orang-orang yang beruntung” (TQS an-Nur [24]: 51).

Sayangnya, saat ini kaum Muslim berada dalam sistem kapitalis-sekuler dan tidak diatur dengan hukum-hukum Allah SWT. Sistem sekuler, dengan demokrasi sebagai pilar utamanya,  terbukti telah menjauhkan kaum Muslim dari ketundukan terhadap hukum-hukum Allah SWT. Karena itu, mau tidak mau, umat ini harus segera mengenyahkan sistem sekuler dan bersegera menerapkan syariah-Nya dalam seluruh aspek kehidupan, tentu dalam institusi Khilafah 'ala Minhaj an-Nubuwwah. Hanya dengan itulah kaum Muslim bisa benar-benar tunduk dan pasrah secara total kepada Allah SWT.

Wa ma tawfiqi illa bilLah. []


Sabtu, 09 Juli 2016

Pantaskah Kita Ikut Merayakan Hari Raya ?

Oleh: KH Hafidz Abdurrahman
Hari Raya adalah hari kemenangan, bagi siapa? Bagi siapa saja yang berhasil meraih takwa, setelah ditempa selama sebulan penuh. Karena takwa adalah hikmah di balik perintah berpuasa, maka tidak semua orang yang berpuasa bisa meraihnya. Itulah, mengapa Nabi Sa-Llahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
كَمْ مِنْ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلاَّ الجُوْعُ وَالْعَطْشُ
“Betapa banyak orang yang berpuasa tidak mendapatkan apa-apa, kecuali hanya lapar dan dahaga.” [Hr. An-Nasa’i, Ibn Majah, ad-Darimi, al-Hakim]
Orang yang bertakwa itu, kata Sayyidina ‘Ali, adalah orang yang takut kepada Rabb yang Maha Agung [khauf min ar-Rabb al-Jalil]; menjalankan apa yang diturunkan oleh Allah [al-‘amal bi at-tanzil]; rela terhadap yang sedikit [ar-ridha bi al-qalil], dan bersiap diri untuk menghadapi Hari Penggiringan [isti’dad li yaumi ar-rahil], saat digiring di Padang Makhsyar, dan dimintai pertanggungjawaban satu per satu di hadapan Allah.
Dengan takwa yang ada di dalam dada, kita bisa menunaikan puasa sebulan penuh dengan keyakinan bulat, semata karena Allah, serta hanya mengharap ridha-Nya, bukan karena apapun, dan siapapun. Begitu juga dengan takwa, kita bisa mendirikan qiyam Ramadhan sebulan penuh dengan keyakinan bulat, semata karena Allah, serta hanya mengharap ridha-Nya, bukan karena apapun, dan siapapun. Dengan semauanya itu, Nabi pun menegaskan, bahwa dosa-dosa kita sebelumnya akan diampuni oleh Allah.
Tak hanya itu, selama Ramadhan, karena takwa di dalam dada, kita menghidupkan siang dan malamnya dengan ketaatan. Dengannya, kita pun berhasil memanen sebanyak-banyaknya amal shalih. Belum lagi, saat nilainya dilipatgandakan oleh Allah, sehingga keberkahannya mengalir deras. Terlebih, ketika kita berhasil mewujudkan misi-misi dan kerja-kerja besar di bulan yang agung dan mulia ini.
Wajar, jika karena semuanya itu, kita lantas merayakan Hari Raya Idul Fitri, untuk merayakan kemenangan dan kesuksesan kita. Kemenangan dan kesuksesan kita mengalahkan syaitan, musuh bebuyutan kita, baik syaitan Jin maupun Manusia, termasuk diri kita sendiri. Kita pun sukses menjaga diri kita dalam ketaatan, dan tak mencatatkan dosa atau maksiat. Karenanya, kesuksesan ini layak kita rayakan, sebagai Hari Raya kita. Sembari terus berikhtiar dan berdosa, agar kita bisa meraih Hari Raya berikutnya.
Saat kita terus berikhtiar dalam ketaatan, sehingga ketika ajal menjemput kita, kita pun tetap istiqamah dalam ketaatan. Ini juga merupakan Hari Raya yang layak kita rayakan. Sembari terus berikhtiar, dan berdoa, memohon kepada-Nya, agar kita bisa meraih Hari Raya berikutnya. Saat kita dibangkitkan dari kubur, dan mendapatkan catatan amal perbuatan kita, dan lolos mempertanggungjawabkan seluruh kata dan perbuatan kita di hadapan Allah ‘Azza wa Jalla. Kita pun lolos, saat melintasi titian shirat, karena tak ada jaminan bagi siapapun untuk lolos darinya. Sebagaimana firman Allah:
وَإِنْ مِنْكُمْ إِلاَّ وَارِدُهَا، كَانَ عَلَى رَبِّكَ حَتْمًا مَقْضِيًّا
“Tak seorang pun di antara kalian, kecuali pasti menjadi santapan neraka. Hal itu bagi Tuhan-Mu merupakan keputusan yang pasti.” [Q.s. Maryam: 71]
Sesuatu yang membuat ‘Abdullah bin Rawwahah, Jenderal yang begitu garang saat menghadapi 100,000 tentara Romawi, itu menangis tersedu-sedu, ketika mendengarkan ayat ini. Saat dia tak bisa memastikan dirinya lolos atau tidak dari neraka. Maka, ketika kita melintasi titian shirat, dan lolos dari neraka, itu merupakan kemenangan dan keberhasilan kita, yang layak kita rayakan.
Setelah itu, kita pun bisa menginjakkan kaki kita di surga, sekaligus merayakan Hari Raya kita yang keempat. Setelah kita bisa memastikan, bahwa surga yang dijanjikan Allah itu dalam genggaman kita. Setelah kita berharap-harap cemas, sembari terus melaksanakan ketaatan, dan menjauhi kemaksiatan. Sesuatu yang mendorong para sahabat, siang-malam bekerja keras tak kenal lelah. Bahkan, membuat seorang Imam Ahmad tak kurang setiap malamnya, konon shalat hingga 1000 rakaat. Saat ditanya putranya, “Wahai Ayah, kapan Ayah aKhadim Majelis-Ma'had Syaraful Haramayn:
kan beristirahat?” Beliau menjawab, “Bagaimana mungkin kita bisa beristirahat, sementara surga di depan kita, belum kita gapai.” Maka, saat surga yang dirindukan itu pun benar-benar dalam genggaman, itu merupakan kemenangan yang layak kita rayakan.
Akhirnya, kita pun sampai para puncak Hari Raya, saat kita dikumpulkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam surga-Nya. Dalam kitab Raudhatu al-Muhibbin, Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, mengutip hadits Nabi yang menuturkan, bahwa saat itu Allah bertanya, “Wahai hamba-hamba-Ku, adakah yang Aku janjikan kepada kalian belum Aku tunaikan?” Para penghuni surga itu pun menjawab, “Ya Allah, apa yang Engkau janjikan kepada kami, semuanya telah Engkau tunaikan. Kecuali, melihat wajah-Mu.” Maka, Allah pun titahkan kepada Jibril untuk membuka tabir-Nya. “Wahai Jibril, angkatlah tabir-Ku yang pertama.” Jibril pun mengangkat tabir-Nya yang pertama. Para penghuni surga itu pun menyaksikan cahaya-Nya yang begitu terang. Mereka pun membayangkan itulah Allah, lalu mereka bersimpuh dan bersujud kepada-Nya. Allah titahkan kepada mereka, “Wahai hamba-hamba-Ku, bangunlah kalian. Ini adalah surga, tempat memanen, bukan tempat beramal lagi.” Mereka pun bangkit. Allah kembali menitahkan kepada Jibril untuk mengangkat tabir-Nya yang kedua. Jibril pun mengangkatnya, hingga tampak bayangan yang lebih jelas. Ketika itu, para penghuni surga itu pun bersimpuh dan bersujud kepada-Nya. Allah titahkan kepada mereka, “Wahai hamba-hamba-Ku, bangunlah kalian. Ini adalah surga, tempat memanen, bukan tempat beramal lagi.” Mereka pun bangkit. Allah kembali menitahkan kepada Jibril untuk mengangkat tabir-Nya yang ketiga. Jibril pun mengangkatnya, hingga tampaklah “wajah”-Nya. Ketika itu, para penghuni surga itu pun bersimpuh dan bersujud kepada-Nya. Air mata mereka pun tumpah, pikiran mereka melayang, dan semua nikmat yang pernah mereka rasakan sirna, kalah dengan kenikmatan melihat “wajah”-Nya.
Itulah puncak Hari Raya, yang harus kita rayakan. Semoga kita bisa meraihnya, bukan hanya satu Hari Raya, tetapi kelima-limanya. Bukan hanya di dunia yang fana ini, tetapi juga di sana, negeri abadi, di Akhirat dan jannah-Nya..

Orang-Orang Aneh

Oleh: Arief B. Iskandar


Allah SWT berfirman (yang artinya): …Di bawahnya ada harta simpanan bagi mereka berdua, sementara ayahnya adalah seorang yang shalih (TQS al-Kahfi [18]: 82).

Dalam sebuah riwayat, saat menafsirkan ayat di atas, Utsman bin Affan berkata, bahwa harta simpanan yang dimaksud adalah sebuah lempengan  yang terbuat dari emas, yang tertulis padanya (firman Allah SWT):

Aku heran terhadap orang yang memahami kematian, sementara ia banyak tertawa. Aku heran terhadap orang yang memahami bahwa dunia ini fana, sementara ia terus disibukkan oleh dunia itu. Aku heran terhadap orang yang memahami bahwa berbagai perkara telah ditetapkan sesuai takdir-Nya, sementara ia bersedih atas hilangnya perkara-perkara itu. Aku heran terhadap orang yang mengetahui adanya Hari Perhitungan, sementara ia terus mengumpul-ngumpulkan harta. Aku heran terhadap orang yang mengetahui adanya api neraka, sementara ia terus berbuat dosa. Aku heran terhadap orang yang mengetahui adanya surga, sementara ia malah banyak berleha-leha. Aku heran terhadap orang yang memahami bahwa setan itu musuhnya, sementara ia malah selalu menaatinya (An-Nawawi al-Jawi, Nasha’ih al-‘Ibad, 51).

Riwayat senada dituturkan oleh al-Baihaqi dari Ali bin Abi Thalib, dari Baginda Rasulullah saw. bahwa harta simpanan yang dimaksud dalam ayat di atas adalah lempengan emas yang tertulis padanya (firman Allah SWT):

Tidak ada Tuhan kecuali Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan-Nya. Sungguh aneh orang yang memahami kematian itu pasti, lalu bagaimana mungkin ia banyak berleha-leha. Sungguh aneh orang yang memahami bahwa neraka itu benar adanya, tetapi bagaimana mungkin dia banyak tertawa. Sungguh aneh orang yang memahami bahwa takdir (qadha’) itu adalah benar, lalu bagaimana mungkin dia banyak bersedih. Sungguh aneh orang yang melihat dunia dari waktu ke waktu (bahwa dunia itu fana), lalu bagaimana ia merasa tenteram dengan dunia itu (Al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman).

Penuturan senada juga diriwayatkan oleh Abu Hatim, Ibn al-Mardawaih dan al-Bazzar dari Abu Dzarr al-Ghifari; juga oleh al-Khara’ithi dan Ibn ‘Asakir dari Ibn ‘Abbas ra (Lihat: as-Suyuthi, Ad-Durr al-Mantsur, VI/388)

Ada beberapa ibrah (pelajaran) dari hadis di atas.

Pertama:  hadis di atas menegaskan bahwa banyak manusia yang perilakunya sering tidak sesuai dengan pemahamannya. Inilah di antara ciri orang-orang yang berlaku nifaq.

Kedua: boleh jadi ketidaksesuaian perilaku manusia dengan pemahamannya karena ia termasuk orang-orang yang lalai atau terlalaikan. Inilah antara lain ciri dari orang-orang yang disebutkan oleh Allah SWT dalam Alquran sebagai al-ghafil[un].

Terkait dengan itu, setiap Muslim, misalnya, pasti meyakini kepastian bakal datangnya kematian. Namun, banyak dari mereka seolah tidak mempersiapkan bekal untuk menghadapi kematian itu, yakni saat ia menghadap kepada Allah SWT. Di sinilah pentingnya kita bukan hanya memahami kematian itu, tetapi juga sering-sering mengingat mati. Sebab, orang yang banyak mengingat mati biasanya akan banyak mempersiapkan bekal untuk menghadapi kematian itu. Nabi saw. bersabda, ”Orang yang cerdas adalah orang yang paling banyak mengingat mati dan yang paling banyak mempersiapkan diri (menghadapi kematian itu).” (Harits bin Abi Usamah, II/998).

Lalu terkait dengan dunia (harta), meski setiap Muslim memahami bahwa dunia dan harta itu fana, banyak di antara mereka justru menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mengejar dunia (harta) hingga melupakan Allah SWT. Padahal sudah jelas, meski seseorang hartanya banyak, semua itu tak akan pernah ia bawa saat ia masuk ke liang lahat.

Kemudian tentang takdir ataupun qadha’ juga sudah jelas. Semua ketetapan Allah SWT ini mesti diyakini oleh setiap Muslim. Seorang Muslim, misalnya, harus menyadari, bahwa apa yang memang sudah ditakdirkan Allah SWT sebagai rezekinya, pasti akan ia raih. Ia pun mesti memahami, bahwa musibah yang telah ditakdirkan Allah SWT menimpa dirinya pasti tak akan pernah dapat ia tolak. Karena itu memang tak selayaknya ia larut dalam penyesalan dan kesedihan saat ditimpa suatu musibah.

Lalu terkait setan, hal itu juga sudah jelas. Bagi seorang Muslim, setan adalah musuhnya yang sejati dan abadi. Dalam Alquran Allah SWT bahkan menyebut setan itu sebagai ’aduw[un] mubin bagi manusia. Karena musuh, idealnya setan harus ditentang, dilawan dan bahkan diperangi. Karena itu memang aneh jika seorang Muslim malah banyak menaati ajakan setan dan tertipu dengan bujuk-rayunya.

Selanjutnya, terkait dengan surga dan neraka, itu pun sudah jelas. Surga adalah balasan bagi para pelaku ketaatan. Neraka diperuntukkan bagi pelaku kemaksiatan. Yang belum jelas adalah wujud fisik surga dan neraka tersebut karena keduanya bagian dari perkara gaib. Karena tidak tampak secara fisik inilah kebanyakan manusia seolah tak peduli. Akibatnya, mereka banyak melakukan dosa, padahal katanya mereka takut terhadap azab neraka. Sebaliknya, mereka tidak banyak melakukan ketaatan, padahal katanya surgalah yang mereka rindukan.

Memang aneh! Semoga kita tidak demikian.

Wama tawfiqi illa billah. []

Mayoritas Yang Tercela


Oleh: Arief B. Iskandar


Demokrasi identik dengan suara mayoritas. Suara mayoritas dipuja-puji sebagai suara kebenaran. Bahkan suara mayoritas (rakyat) identik dengan suara tuhan. Demikianlah klaim para pemuja dan penjaja demokrasi.

Namun, berkebalikan dengan demokrasi, Tuhan (Allah SWT) sendiri justru mencela suara mayoritas. Allah SWT mencela mayoritas manusia dalam puluhan ayat-Nya. Pasalnya, mayoritas manusia adalah kafir alias tidak beriman, fasik, tidak berpengetahuan, bodoh, tidak bersyukur, sesat dan menyesatkan, dst. Allah SWT, misalnya, berfirman (yang artinya):

Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepada kamu ayat-ayat yang jelas. Tak ada yang mengingkari ayat-ayat itu melainkan orang-orang yang fasik.  Patutkah (mereka mengingkar ayat-ayat Allah), dan setiap kali mereka mengikat janji, segolongan mereka melemparkan janji itu? Bahkan mayoritas dari mereka tidak beriman (TQS al-Baqarah [2]: 99-100).

Allah SWT juga berfirman (yang artinya):

Mereka (orang-orang musyrik Makkah) berkata, "Mengapa tidak diturunkan kepada dia (Muhammad) suatu mukjizat dari Tuhannya?" Katakanlah, "Sesungguhnya Allah Mahakuasa menurunkan suatu mukjizat.” Namun, mayoritas mereka tidak mengetahui (TQS al-An’am [6]: 37).

Allah SWT pun berfirman (yang artinya):

Sekiranya Kami menurunkan malaikat kepada mereka dan orang-orang yang telah mati berbicara dengan mereka, lalu Kami mengumpulkan pula segala sesuatu ke hadapan mereka, niscaya mereka tidak juga akan beriman, kecuali jika Allah menghendaki, tetapi mayoritas mereka adalah bodoh (TQS al-Anam [6]: 111).

Allah SWT pun dalam banyak ayat-Nya yang lain berfirman di antaranya sebagai berikut (yang artinya):

(Setan berkata), “Kemudian aku akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka, dan Engkau tidak akan mendapati mayoritas mereka bersyukur (taat).” (TQS al-A’raf [7]: 17).

Demikianlah Allah mengunci mata hati orang-orang kafir. Kami tidak mendapati mayoritas mereka memenuhi janji. Sesungguhnya Kami mendapati mayoritas mereka orang-orang yang fasik (TQS al-A’raf [7]: 101-102).

Mayoritas manusia tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Mahatahu atas apa yang mereka kerjakan (TQS Yunus [10]: 35-36).

Ingatlah, sesungguhnya kepunyaan Allah apa yang ada di langit dan di bumi. Ingatlah, sesungguhnya janji Allah itu benar, tetapi mayoritas manusia tidak tahu (TQS Yunus [10]: 55).

Sesungguhnya Allah benar-benar mempunyai karunia (yang dilimpahkan) atas manusia, tetapi mayoritas dari mereka tidak bersyukur (TQS Yunus [10]: 60).

Mayoritas dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain) (TQS Yusuf [12]: 106).

Apakah mereka mengambil tuhan-tuhan selain-Nya? Katakanlah, "Unjukkanlah hujjahmu! (Al-Quran) ini adalah peringatan bagi orang-orang yang bersamaku, dan peringatan bagi orang-orang yang sebelumku". Sebenarnya mayoritas dari mereka tiada mengetahui yang haq sehingga mereka berpaling (TQS al-Anbiya’ [21]: 24).

Terangkanlah kepada Aku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya. Apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? Ataukah kamu mengira bahwa mayoritas mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu) (TQS al-Furqan [25]: 44).

Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mempunyai karunia yang besar (yang diberikan-Nya) kepada manusia, tetapi mayoritas dari mereka tidak bersyukur (TQS an-Naml [27]: 73).

Sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka, "Siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan dengan air itu bumi sesudah matinya?" Tentu mereka akan menjawab: "Allah", Katakanlah, "Segala pujian milik Allah." Akan tetapi, mayoritas dari mereka tidak memahami (TQS al-Ankabut [29]: 63).

Katakanlah, "Adakanlah perjalanan di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang terdahulu. Mayoritas dari mereka itu adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah)." (TQS ar-Rum [30]: 42).

Sesungguhnya telah pasti berlaku perkataan (ketentuan Allah) terhadap mayoritas mereka, kerena mereka tidak beriman (TQS Yasin [36]: 7).

Haa Miim. Diturunkan dari Tuhan yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui; yang membawa berita gembira dan yang membawa peringatan. Akan tetapi, mayoritas dari mereka berpaling, tidak mau mendengarkan (TQS Fushshilat [41]: 1-4).

Masih banyak ayat-ayat lain yang menunjukkan bahwa Allah SWT mencela mayoritas atau sebagian besar manusia. Karena itu wajarlah jika Allah SWT mewanti-wanti kita agar tidak ikut-ikutan mengikuti mayoritas manusia karena kita bisa tersesat, bahkan jatuh pada kekufuran. Allah SWT berfirman (yang artinya):

Jika kamu menuruti mayoritas orang-orang di bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah) (TQS al-An’am [6]: 116).

Karena mayoritas manusia tidak beriman, fasik, bodoh, tidak paham berpaling dari kebenaran, sesat dan menyesatkan maka wajar pemimpin pililihan mereka adalah pemimpin yang juga tidak beriman, fasik, bodoh, tidak paham, tersesat, berpaling dari kebenaran, sesat dan menyesatkan serta zalim.

Itulah fakta yang sering kita saksikan dalam sistem demokrasi yang menjadikan suara mayoritas sebagai patokan untuk memilih pemimpin.

Yang tak kalah parah, suara mayoritas itu pula yang menjadi tolok ukur untuk menentukan suatu perkara itu benar atau salah, baik atau buruk, halal atau haram. Jelas, ini bertentangan dengan Islam yang menegaskan bahwa hanya syariahlah yang harus dijadikan patokan untuk menentukan benar-salah, baik-buruk, halal-haram.

Jika demikian masihkah kita ingin tetap mempraktikkan demokrasi dengan suara mayoritasnya yang sesungguhnya banyak dicela di dalam Alquran? []

Menjadi Taqwa Tak Cukup Hanya Dengan Puasa


Oleh: Arief B. Iskandar


Ternyata, untuk bisa menjadi orang bertakwa tak cukup hanya lewat puasa Ramadhan. Di dalam al-Quran ada 6 ayat yang ujungnya diakhiri dengan frasa “la’allakum tattaqun” (agar kalian bertakwa) sebagaimana yang terdapat dalam QS al-Baqarah ayat 183 terkait kewajiban puasa Ramadhan.

Di sini saya hanya akan menyebutkan 4 ayat saja:

1. Ayat yang memerintahkan manusia untuk menyembah (beribadah kepada) Allah SWT. Para ulama memaknai ibadah tak hanya melulu yang bersifat ritual (mahdhah) seperti shalat, puasa, haji, dll; tetapi mencakup semua jenis ketaatan kepada Allah SWT dalam seluruh aspek kehidupan (ghayr mahdhah) seperti dalam bidang ekonomi, politik, pemerintahan, hukum, pendidikan, sosial, dll.

Hakikat ubudiah sendiri, menurut Imam Ja’far ash-Shadiq, mencakup tiga hal:
(1) Seorang hamba menyadari bahwa apa yang ada pada dirinya bukan miliknya, tetapi milik Allah SWT yang kebetulan Dia titipkan kepada dirinya;
(2) Seorang hamba wajib tunduk dan patuh tanpa membantah pada semua perintah Allah SWT tanpa kecuali;
(3) Seorang hamba tidak boleh membuat hukum/aturan apapun di luar hukum/aturan yang telah Allah SWT buat. Mereka hanya berkewajiban menerapkan seluruh hukum/aturan (syariah)-Nya.

Terkait semua itu, Allah SWT berfirman:

 يَاأَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
(Hai manusia, sembahlah Tuhan kalian Yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa (QS al-Baqarah [2]: 21).

2. Ayat yang memerintahkan kaum Muslim untuk menegakkan semua sanksi hukum (hudud, jinayat, ta’zir dan mukhalafat), khususnya hukum qishash. Allah SWT berfirman:

  وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ
يَاأُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُون
(Dalam penegakan hukum qishash itu ada kehidupan bagi kalian agar kalian bertakwa (QS al-Baqarah [2]: 179).

3. Ayat yang memerintahkan kaum Muslim untuk menunaikan shaum Ramadhan. Allah SWT berfirman:

 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُون
(Hai kaum beriman, telah diwajibkan atas kalian berpuasa, sebagaimana puasa itu telah diwajibkan atas kaum sebelum kalian, agar kalian bertakwa (QS al-Baqarah [2]: 183).

4. Ayat yang memerintahkan kaum Muslim untuk hanya mengikuti “jalan lurus”, yakni Islam dan seluruh syariahnya, dan haram mengikuti jalan-jalain lain yang bisa mengakibatkan mereka menyimpang dari ideologi dan sistem Islam. Allah SWT berfirman:

 وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
(Inilah jalanku yang lurus. Karena itu, ikutilah oleh kalian jalan itu, dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan lain sehingga bisa mengakibatkan kalian tercerai-berai (menyimpang) dari jalan tersebut. Itulah wasiat Allah kepada kalian agar kalian bertakwa (QS al-An'am [6]: 153).

Atas dasar itu, dalam momentum Idul Fitri ini, marilah seluruh umat Islam bersegara menerapkan seluruh syariah Islam secara kaffah dalam semua aspek kehidupan di bawah naungan institusi Khilafah 'ala mihaj an-Nubuwwah. Hanya dengan itulah ketakwaan paripurna bisa benar-benar terwujud dalam diri umat.

Marilah kita amalkan ayat berikut:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
(Hai kaum yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara totalitas, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh kailan yang amat nyata (QS al-Baqarah [2]: 208).

WalLahu a’lam.

Wa ma tawfiqi illa bilLah []

Taqwa : Simbol Kecerdasan

Oleh: Arief B. Iskandar


Suatu ketika Abu Bakar ash-Shiddiq ra. melihat seekor burung yang hinggap di sebuah pohon. Sepontan beliau berkata, “Wahai burung, betapa nikmatnya kamu. Kamu makan dan minum, sementara kamu tidak dihisab. Andai saja aku menjadi burung seperti kamu.” (Al-Baihaqi, Syu’ab al-Iman, II/345; as-Suyuthi, Tarikh al-Khulafa’, I/41; Kanz al-‘Umal, XII/528).

*****

Abu Bakar ash-Shiddiq ra. adalah salah seorang Sahabat Nabi saw. yang dijamin masuk surga. Namun, beliau tetap merasa khawatir akan hisab Allah SWT pada Hari Akhir nanti. Begitu khawatirnya, beliau berandai-andai ditakdirkan menjadi seekor burung agar tidak dihisab oleh Allah SWT. Namun, justru karena kekhawatiran akan hisab Allah SWT itu pula, beliau berusaha menjadi pribadi yang selalu bertakwa.

Berupaya selalu bertakwa tentu adalah pilihan amat cerdas. Sebaliknya, banyak melakukan dosa dan maksiat adalah pilihan sangat bodoh. Itu pula yang dinyatakan oleh Sayidina Abu Bakar ash-Shiddiq ra., “Inna akyas al-kays at-taqwa wa ahmaq al-humqi al-fujur (Sungguh, kecerdasan yang paling cerdas adalah takwa, dan kebodohan yang paling bodoh adalah maksiat).” (Al-Baihaqi, As-Sunan al-Kubra, VI/353).

Mengapa demikian? Sebab, takwa akan meringankan pelakunya dari hisab Allah SWT sekaligus memasukkan dirinya ke dalam surga-Nya. Sebaliknya, dosa dan maksiat akan menyulitkan pelakunya dari hisab Allah SWT sekaligus memasukkan  dirinya ke dalam azab neraka.

Alhasil, orang cerdas bukanlah orang yang ber-IQ tinggi, atau mempunyai catatan prestasi akademik di bangku kuliah dengan nilai IPK yang mumpuni, atau memiliki gelar akademik S-2 atau S-3 dari perguruan tinggi bergengsi di dalam atau luar negeri. Orang cerdas adalah orang yang selalu bertakwa kepada Allah SWT; orang yang hidupnya selalu diisi dengan ketaatan kepada Allah SWT, bukan dengan ragam dosa dan kemaksiatan.

Terkait itu, Baginda Nabi saw. pernah bersabda, “Al-Kays man dana nafsahu wa ‘amila li ma ba’da al-mawt, wa al-‘ajiz man atba’a nafsahu hawahu wa tamanna ‘alalLah (Orang cerdas adalah orang yang mampu mengendalikan hawa nafsunya dan beramal untuk bekal setelah mati. Orang lemah [bodoh] adalah orang yang memperturutkan hawa nafsunya, lalu berangan-angan kepada Allah).” (HR at-Tirmidzi, Ahmad, Ibn Majah, al-Baihaqi, al-Hakim dan ath-Thabrani).

Karena itu, meski bergelar doktor sekaligus menduduki jabatan elit dengan gaji di atas 100 juta rupiah, betapa bodohnya jika orang seperti ini masih saja korupsi. Tentu karena ia telah memperturutkan hawa nafsunya. Hawa nafsu tidak lain adalah segala keinginan atau kecenderungan—dalam wujud ucapan maupun tindakan—yang bertentangan dengan wahyu. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT (yang artinya): Apa yang diucapkan oleh Muhammad itu tidaklah bersumber dari hawa nafsunya, melainkan berasal dari wahyu yang Allah wahyukan kepada dirinya (TQS an-Najm [53]: 3-4).

Ayat ini memang berbicara tentang sifat Rasulullah saw., yang segala ucapan dan tindakannya pasti bersumber dari wahyu, bukan dari hawa nafsu (Abu Bakar al-Jazairi, Aysar at-Tafasir, III/526).

Namun, dari ayat ini bisa dipahami, bahwa hawa nafsu berlawanan dengan wahyu. Alhasil, segala hal, baik ucapan atau tindakan, yang  bertentangan dengan wahyu Allah SWT pasti bersumber dari hawa nafsu. Kata-kata jorok dan kasar, sumpah palsu, ghibah, fitnah (tuduhan keji), berbohong dll pasti bersumber dari hawa nafsu. Korupsi, suap, memakan riba, merampok, membunuh, mengobral aurat, berzina, menzalimi rakyat, dll pasti bersumber dari hawa nafsu. Sebab, semua ucapan dan tindakan tersebut berlawanan dengan wahyu. Begitu pun segala kebijakan, hukum atau undang-undang yang berlawanan dengan wahyu; semua itu pasti bersumber dari hawa nafsu. Karena itu siapa saja yang ucapannya dan tindakannya—termasuk kebijakan, hukum maupun undang-undangnya—bertentangan  dengan wahyu Allah SWT maka mereka adalah orang-orang yang telah memperturutkan hawa nafsu. Orang-orang seperti ini adalah orang-orang bodoh meski mereka menyandang gelar akademik tinggi dan menduduki jabatan  bergengsi.

*****

Abu Bakar ash-Shiddiq ra. melanjutkan pernyataannya, “Wa inna ashdaq ash-shidqi al-amanah wa akdzab al-kadzibi al-khiyanat (Sungguh, kejujuran yang paling jujur adalah sikap amanah, dan kedustaan yang paling dusta adalah sikap khianat).” (Al-Baihaqi, As-Sunan al-Kubra, VI/353).

Banyak orang yang tidak suka berbohong alias biasa jujur dalam ucapan, tetapi kadang tak bisa bersikap amanah dalam tindakan. Padahal sikap amanah adalah tanda nyata dari kejujuran seseorang.

Amanah itu banyak. Menjadi Muslim adalah amanah. Menjadi anak atau orangtua adalah amanah. Menjadi suami atau istri adalah amanah. Menjadi guru, dosen, pegawai, buruh, direktur perusahaan, dll adalah amanah. Menjadi pengemban dakwah juga amanah.

Sebagai amanah, semua itu tentu wajib dijalankan sesuai dengan yang dituntut oleh syariah. Melalaikan semua amanah yang memang secara syar’i wajib dijalankan terkategori khianat. Khianat, kata Abu Bakar ash-Shiddiq ra., adalah kedustaan yang paling dusta.

Khianat itu banyak ragamnya, sebanyak sikap mengabaikan amanah. Dalam konteks dakwah, jika seorang pengemban dakwah sering melalaikan aktivitas dakwah—jarang kontak dakwah, enggan menerima taklif-taklif dakwah, dsb—maka ia berarti tidak amanah dalam dakwah. Dengan kata lain ia telah mengkhianati dakwah. Alhasil, meski julukannya ‘pengemban dakwah’, ia hakikatnya adalah ‘pengkhianat dakwah’. Saat ia telah menjadi ‘pengkhianat dakwah’ sesungguhnya ia telah benar-benar melakukan—meminjam Sayidina Abu Bakar ash-Shiddiq ra.—kedustaan yang paling dusta atas klaimnya sebagai pengemban dakwah.

Tentu kita berlindung kepada Allah SWT dari yang demikian. Sebaliknya, kita berharap menjadi pengemban dakwah yang paling jujur dalam berdakwah, yakni yang selalu bersikap amanah dalam dakwah; tidak pernah lalai dalam menjalankan aktivitas dakwah dengan terus melakukan kontak-kontak dakwah, menjalankan taklif-taklif dakwah, dsb.

*****

Alhasil, dengan takwa dan sikap amanah itulah sejatinya kita menjadi orang yang cerdas sekaligus jujur, sebagaimana dinyatakan oleh Abu Bakar ash-Shiddiq ra. di atas.

Wa ma tawfiqi illa bilLah. []

Agar Tetap Istiqamah Pasca Ramadhan


Oleh: Arief B. Iskandar


Beberapa saat lagi Ramadhan bakal tinggal kenangan. Syawal datang menjelang. Suasana Idul Fitri kini menyertai.

Peralihan bulan ini mengisyaratkan hal yang tidak sama bagi setiap Muslim. Adakalanya seorang Muslim tetap taat baik selama Ramadhan maupun setelah Ramadhan. Ia tetap istiqamah dalam ketaatan kepada Allah SWT.

Muslim yang lain ada yang biasa maksiat sebelum Ramadhan, taat saat Ramadhan, tetapi kembali maksiat pasca Ramadhan.

Muslim yang lainnya lagi ada yang bahkan sebelum Ramadhan, selama Ramadhan maupun setelah Ramadhan tetap “istiqamah” dalam kemaksiatan. Saat Ramadhan atau di luar Ramadhan, ia tak ada bedanya.

Yang terbaik tentu saja adalah yang selalu berupaya tetap istiqamah dalam ketaatan kepada Allah SWT, saat Ramadhan ataupun di luar Ramadhan.

Masalahnya, bersikap istiqamah tidaklah mudah. Selain karena tarikan hawa nafsu yang selalu mengajak pada keburukan, godaan setan juga tak pernah absen menghantam setiap orang.

*****

Seorang Sahabat pernah bertanya kepada Rasulullah saw., “Wahai Rasulullah, ajarilah aku dari Islam ini suatu ucapan yang mana aku tidak perlu lagi bertanya tentang hal itu kepada orang lain setelah engkau.”

Beliau menjawab, “Katakanlah, ‘Aku beriman kepada Allah,’ kemudian beristiqamahlah!” (HR Ahmad).

Ibnu Rajab mengatakan, “Wasiat Nabi saw. ini sudah mencakup wasiat dalam agama ini seluruhnya.” (Ibn Rajab al-Hanbali, Jâmi’ al-‘Ulûm wa al-Hikam, hlm. 246).

Istiqamah adalah menempuh jalan (agama) yang lurus (benar) tanpa berpaling ke kiri maupun ke kanan. Istiqamah mencakup pelaksanaan semua bentuk ketaatan kepada Allah SWT, lahir dan batin; meninggalkan semua bentuk larangan-Nya. Inilah pengertian istiqamah yang disebutkan oleh Ibnu Rajab al-Hanbali.

Imam an-Nawawi dalam Bahjah an-Nâzhirîn, Syarh Riyâdh ash-Shâlihîn juga berkata, “Para ulama menafsirkan istiqâmah dengan luzûm thâ’atilLâh, artinya tetap konsisten dalam ketaatan kepada Allah SWT.”

Lalu bagaimana agar kita bisa tetap istiqamah dalam ketaatan kepada Allah SWT?

Beberapa hal mesti dilakukan.

Pertama: Beriman secara benar dan lurus; menyatu antara keyakinan, ucapan dan tindakan (Lihat: QS Ibrahim [14]: 27).

Kedua: Mengkaji, menghayati dan mengamalkan seluruh isi al-Quran (Lihat: QS an-Nahl [16]: 102; QS al-Furqan [25]: 32).

Ketiga: Menjalankan segala amal dengan ikhlas dan selalu berusaha terikat dengan  syariah (QS al-Bayyinah [89]: 5).

Keempat: Banyak menjalankan amal-amal yang sunnah—seperti shalat malam, shaum sunnah, dll—selain tentu konsisten dalam menjalankan berbagai kewajiban.

Kelima: Membaca kisah-kisah orang shalih terdahulu sehingga bisa dijadikan teladan dalam beristiqamah. Dalam al-Quran banyak diceritakan kisah-kisah para nabi, rasul dan orang-orang yang beriman yang terdahulu. Kisah-kisah ini Allah jadikan untuk meneguhkan hati Rasulullah saw. dan tentu orang-orang Mukmin (Lihat: QS Hud [11]: 11). Contohnya kita bisa mengambil kisah tentang sikap istiqamah Nabi Ibrahim as. saat dibakar oleh para penentangnya (QS al-Anbiya’ [21]: 68-70). Ibnu ‘Abbas ra. berkata, “Akhir perkataan Ibrahim as. ketika dilemparkan ke dalam kobaran api adalah, ‘HasbiyalLâhu wa ni’ma al-Wakîl (Cukuplah Allah sebagai Penolong dan sebaik-baik Tempat bersandar).’” (HR al-Bukhari).

Akhirnya, Ibrahim as. pun selamat.

Oleh karena itu, para salafush-shalih sangat senang sekali mempelajari kisah-kisah orang shalih terdahulu untuk diambil sebagai teladan. Basyr bin al-Harits al-Hafi mengatakan, “Betapa banyak orang-orang shalih yang telah wafat membuat hati menjadi hidup saat mengingat mereka.” (Ibn al-Jauzi, Shifat ash-Shafwah, II /333).

Imam Abu Hanifah juga amat senang mempelajari kisah-kisah para ulama. Ia berkata,  “Kisah-kisah para ulama dan duduk bersama mereka lebih aku sukai daripada menguasai beberapa bab fikih. Itu karena dalam kisah mereka diajarkan berbagai adab dan akhlak luhur mereka.” (Al-Madkhal, I/164).

Nu’aim bin Hammad mengatakan, “Ibnu al-Mubarak biasa duduk-duduk sendirian di rumahnya. Kemudian ada yang bertanya kepada beliau, “Apakah engkau tidak kesepian?” Ibnu al-Mubarak menjawab, “Bagaimana mungkin aku kesepian, sedangkan aku selalu bersama Nabi saw.?” (Ibn al-Jauzi, Shifat ash-Shafwah,  I/438).

Maksudnya, Ibnu al-Mubarak tidak pernah merasa kesepian karena biasa sibuk mempelajari jalan hidup Nabi saw.

Keenam: Bergaul dengan orang-orang shalih. Allah SWT menyatakan dalam al-Quran bahwa salah satu sebab utama yang menguatkan para Sahabat adalah keberadaan Rasulullah saw. di tengah-tengah mereka. Allah SWT juga memerintahkan agar kita selalu bersama dengan orang-orang yang baik (Lihat: QS at-Taubah [9]: 119).

Para ulama pun memiliki nasihat agar kita selalu dekat dengan orang shalih. Fudhail bin ‘Iyadh berkata, “Pandangan seorang Mukmin kepada Mukmin yang lain akan mengkilapkan hati.” (Siyar A’lam an-Nubala’, 8/435).

Maksudnya, hanya dengan memandang orang shalih saja, hati seseorang bisa kembali tegar.

Ketujuh: Memperbanyak doa kepada Allah SWT agar diberi keistiqamahan. Allah SWT memuji orang-orang yang beriman yang selalu berdoa kepada-Nya untuk meminta keteguhan iman ketika menghadapi ujian (Lihat: QS Ali ‘Imran [3]: 146-148; QS al-Baqarah [2]: 250; QS Ali Imran [3]: 8).

Doa yang paling sering Nabi saw. panjatkan adalah:

يا مقلب القلوب، ثبت قلبي على دينك.
(Duhai Zat Yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu).” (HR at-Tirmidzi).

Imam Hasan al-Bashri juga mengajari kita untuk banyak memohon keistiqamahan kepada Allah SWT dengan doa:

اللهم أنت ربنا، فارزقنا الإستقامة
"AlLâhumma Anta Rabbunâ, farzuqnâ al-istiqâmah (Ya Allah, Engkau adalah Tuhan kami, berilah kami keistiqamahan).” (Ibn Rajab al-Hanbali, Jâmi’ al-‘Ulûm wa al-Hikam, hlm. 245).

*****

Alhasil, Ramadhan boleh saja tinggal kenangan. Namun, selayaknya kita tetap menjadi orang-orang yang istiqamah dalam ketaatan kepada Allah SWT, termasuk dalam berdakwah demi memperjuangkan tegaknya syariah secara kaffah. []

Idhul Fitri : Meraih Kemenangan Hakiki

Oleh: Arief B. Iskandar


Alhamdulillah, sudah selayaknya kita banyak bersyukur kepada Allah SWT, karena kita telah berhasil melewati hari-hari Ramadhan hingga memasuki bagian akhir bulan yang penuh berkah ini.

Kini kita pun segera menyambut satu hari yang indah, Idul Fitri.

Namun, kita pun sepatutnya banyak beristigfar karena boleh jadi—meski ini jelas tidak kita harapkan—ibadah shaum pada hari-hari Ramadhan yang kita lewati itu tidak mengantarkan kita untuk meraih derajat takwa sebagai hikmah dari kewajiban puasa yang telah Allah titahkan kepada kita sepanjang bulan suci ini.

Karena itu sejatinya kita banyak bertafakur dan melakukan muhâsabah (instrospeksi diri): Layakkah kita bergembira merayakan Idul Fitri, yang sering dimaknai sebagai ‘kembali ke fitrah’ dan juga sebagai ‘hari kemenangan’?

Pertanyaan ini penting kita jawab dengan jujur, agar kita meninggalkan bulan Ramadhan ini tanpa kesia-siaan serta merayakan Idul Fitri nanti tanpa kehampaan, terutama jika dikaitkan dengan penegasan ulama:

ليس العيد لمن لبس الجديد ولكن العيد لمن طاعته تزيد أو تقواه يزيد.
(Idul Fitri itu bukan milik orang yang mengenakan segala sesuatu yang baru. Namun, Idul Fitri itu milik orang yang ketaatannya atau ketakwaannya bertambah).


ليس العيد لمن لبس الجديد و لكن العيد لمن أمن الوعيد (علي كره الله وجهه)
Bukanlah ied itu bagi yang mengenakan baju baru. Tapi bagi mereka yang mengimani hari yang dijanjikan (akhirat)" (Imam 'Ali bin Abi Thalib)

Ditanyakan pada sebagian ulama salafus shalih, "Kapankah kalian berhari raya?”

Mereka menjawab, “Pada hari kami tidak bermaksiat kepada Allah SWT. Itulah hari raya kami. Hari raya itu bukan bagi orang-orang yang memakai pakaian kebesaran, tetapi bagi mereka yang mengimani azab akhirat. Bukan pula hari raya itu bagi mereka yang mengenakan pakaian yang indah, tetapi untuk mereka yang mengetahui jalan (Islam).” (Al-Kasykul, 1/82).

Kembali ke Fitrah

Idul Fitri sering diterjemahkan sebagai ‘kembali ke fitrah’. Secara bahasa, fithrah berarti al-khilqah (naluri, pembawaan) dan ath-thabî‘ah (tabiat, karakter) yang diciptakan Allah Swt. pada manusia. (Jamaluddin al-Jauzi, Zâd al-Masîr, VI/151; az-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, III/463).

Karena itu secara bahasa Idul Fitri bisa diterjemahkan sebagai ‘kembali ke naluri/pembawaan yang asli. Di antara naluri/pembawaan manusia yang asli adalah adanya naluri beragama/religiusitas (gharîzah at-tadayyun) pada dirinya. Dengan naluri ini, setiap manusia pasti merasakan dirinya serba lemah, serba kurang dan serba tidak berdaya sehingga ia membutuhkan Zat Yang Mahaagung, yang berhak untuk disembah dan dimintai pertolongan.

Karena itulah, secara fitrah, manusia akan selalu membutuhkan agama yang menuntun dirinya melakukan penyembahan (‘ibâdah) terhadap Tuhannya dengan benar. Itulah Islam sebagai satu-satunya agama dari Allah, Tuhan yang sebenarnya.

Konsekuensinya, sesuai dengan fitrahnya pula, manusia sejatinya senantiasa mendudukkan dirinya sebagai hamba di hadapan Tuhannya, Allah SWT, Pencipta manusia.
Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa kembali ke fitrah—sebagai esensi dari Idul Fitri—adalah kembalinya manusia dalam kedudukannya sebagai seorang hamba di hadapan Allah sebagai Tuhannya.

Menurut Imam Ja’far ash-Shadiq, seorang Muslim yang mengklaim sebagai hamba Allah, mesti menyadari bahwa: (1) apa yang ada pada dirinya bukanlah miliknya, tetapi milik Allah; (2) tunduk, patuh dan tidak pernah membantah setiap perintah Allah; (3) tidak membuat aturan sendiri kecuali aturan yang telah Allah tetapkan untuk dirinya.

Membuang Sekularisme: Wujud Kembali ke Fitrah

Dengan memaknai kembali ke fitrah sebagai ‘kembali pada kesadaran sejati sebagai seorang hamba’, sudah sepatutnya kaum Muslim yang ber-Idul Fitri membuang jauh-jauh sekularisme. Mengapa? Sebab, sekularisme justru menjauhkan diri manusia dalam kedudukannya sebagai seorang hamba Allah. Bahkan sekularisme menempatkan manusia sejajar dengan Tuhan. Pasalnya, sekularisme pada dasarnya adalah akidah yang hanya mengakui Tuhan dari sisi eksistensi (keberadaan)-Nya saja, tidak mengakui otoritas (kewenangan)-Nya untuk mengatur manusia.

Dengan kata lain, sekularisme hanya mengakui keberadaan agama, tetapi menolak kewenangan agama untuk mengatur kehidupan. Dalam pandangan sekularisme, hak mengatur manusia atau hak membuat aturan bagi kehidupan manusia mutlak ada pada manusia itu sendiri, bukan pada Tuhan/agama. Hak ini kemudian mereka wujudkan dalam sistem demokrasi, yang menempatkan kedaulatan manusia (kedaulatan rakyat) di atas kedaulatan Tuhan.

Dari sini lahirlah ideologi Kapitalisme, yang berisi seperangkat aturan yang khas, yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Saat ini, justru Kapitalismelah—dan bukan Islam—yang diterapkan di tengah-tengah kehidupan umat Islam saat ini, termasuk di negeri ini.

Padahal fakta telah membuktikan bahwa peratuan–peraturan yang dibuat manusia—karena lebih didasarkan pada kecenderungan dan hawa nafsunya—telah melahirkan banyak ekses negatif, banyak kerusakan, dan banyak kekacauan. Itulah yang terjadi seperti saat ini ketika hak membuat aturan/hukum diberikan kepada manusia (rakyat) melalui mekanisme demokrasi. Mahabenar Allah yang berfirman:

]أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ[
Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki. Siapakah yang lebih baik hukumnya daripada Allah bagi orang-orang yang yakin?! (QS al-Maidah [5]: 50).

Karena itu, perayaan Idul Fitri—yang dimaknai sebagai kembali ke fitrah itu—sudah sepatutnya dijadikan momentum untuk membuang sekularisme karena memang menjauhkan manusia dari fitrahnya yang hakiki sebagai hamba Allah.

Hari Kemenangan

Idul Fitri juga sering disebut sebagai hari kemenangan. Artinya, kaum Muslim yang telah berhasil melaksanakan ibadah shaum selama Ramadhan dianggap sebagai kaum yang meraih kemenangan. Persoalannya, shaum seperti apa yang bisa mengantarkan kaum Muslim menjadi kaum yang menang? Tentu shaum yang berkualitas, sebagaimana yang dilakoni oleh Rasulullah saw. dan para Sahabat.
Shaum Rasulullah saw. dan para Sahabat tidak hanya memberikan kemenangan kepada diri mereka secara individual dalam melawan hawa nafsu dan setan selama bulan Ramadhan, tetapi juga memberikan kemenangan kepada kaum Muslim secara kolektif dalam melawan musuh-musuh Islam.

Mereka dan generasi gemilang sesudahnya, misalnya, justru sering mencatat prestasi yang gemilang pada bulan Ramadhan. Beberapa peperangan yang dimenangkan kaum Muslim seperti Perang Badar, Fath Makkah, atau Pembebasan Andalusia terjadi pada bulan Ramadhan.

Kemenangan Perang Badar telah memperkuat posisi kaum Muslim di dunia internasional saat itu, terutama di Jazirah Arab; bahwa negara baru yang dibangun kaum Muslim, Daulah Islam, adalah negara kuat yang tidak bisa disepelekan. Kondisi ini tentu memberikan rasa aman kepada seluruh warga negara Daulah Islam.

Bandingkan dengan kondisi kaum Muslim saat ini. Negeri-negeri Islam terpecah-belah menjadi beberapa negara kecil yang lemah. Kondisi ini membuat musuh-musuh Allah dengan gampang dan sombong membantai dan membunuh kaum Muslim serta mengekspolitasi kekayaan alamnya dengan rakus; tanpa ada pelindung sama sekali.

Perang Badar juga secara internal telah membuat pihak-pihak di dalam negeri Daulah Islam—orang-orang Yahudi, musyrik dan munafik—takut untuk berbuat macam-macam terhadap Daulah Islam.

Bandingkan dengan keberadaan orang-orang kafir dan antek-antek Barat saat-saat ini di Dunia Islam. Mereka berbuat makar dan kekejian seenaknya. Di negeri-negeri Islam, orang-orang kafir yang didukung oleh para penguasa yang menjadi antek-antek penjajah, membuat berbagai kebijakan yang merugikan rakyat.

Futûhât juga telah memberikan kebaikan yang luar biasa bagi umat manusia. Lewat futûhât ini dakwah Islam diterima dengan mudah oleh manusia. Futûhât ini juga telah menjadi jalan bagi diterapkannya syariah Islam di seluruh kawasan dunia. Lewat penerapan syariah Islam inilah seluruh warga negera Daulah Islam, baik Muslim maupun non-Muslim mendapat kebahagian, kesejahteraan, dan keamanan. Peradaban Islam pun kemudian menjadi peradaban unggul.

Karena itu, ada beberapa hal yang wajib kita teladani dari shaum generasi Sahabat ini.

Pertama: para Sahabat tidak hanya melakukan tadarus al-Quran (baik di bulan Ramadhan maupun di luar itu), tetapi juga mengamalkannya. Sebab, para Sahabat memahami, bahwa membaca al-Quran adalah sunnah, sementara menjadikan al-Quran sebagai pedoman hidup mereka adalah wajib. Mereka sangat menyadari bahwa al-Quran harus menjadi dasar konstitusi kaum Muslim.

Kedua: para Sahabat tidak hanya menahan lapar dan haus, tetapi juga menahan diri dari segala hal yang diharamkan oleh Allah. Tidak berdusta, tidak berbuat batil, tidak membuat kerusakan, dan tentu saja tidak berhukum pada selain hukum Allah Swt. Mereka tidak seperti kaum Muslim saat ini, yang justru masih berhukum pada perundang-undangan dan sistem kufur yang bersumber dari sekularisme.

Terakhir: para Sahabat telah nyata-nyata menjadikan bulan Ramadhan sebagai bulan tobat. Tobat mereka adalah tawbah nasûhâ, tobat yang sebenar-benarnya. Cirinya: menyesali segala dosa yang dilakukan, tidak mengerjakannya lagi, dan beramal salih untuk menghapus dosa yang lalu.

Seharusnya saat ini pun kaum Muslim, yang telah menjadikan bulan Ramadhan sebagai bulan tobat, tidak lagi melakukan maksiat meski Ramadhan telah berlalu. Maksiat terbesar yang harus segera ditinggalkan kaum Muslim saat ini adalah ketika mereka tidak menerapkan hukum-hukum Allah dalam seluruh aspek kehidupan akibat ketiadaan Daulah Khilafah Islam di tengah-tengah mereka.

Ketiadaan Daulah Khilafah juga berarti umat ini tidak memiliki pelindung dari musuh-musuh Allah.

Karena itu, dalam momentum Idul Fitri ini, yang berarti kembali ke fitrah, sudah selayaknya kaum Muslim segera kembali menerapkan semua aturan-aturan Islam (syariah)—yang memang sesuai dengan fitrah manusia—dalam semua aspek kehidupan. Sebaliknya, sudah selayaknya kaum Muslim segera meninggalkan berbagai aturan kufur yang berasal dari sekularisme, yang nyata-nyata bertentangan dengan fitrah manusia, dan terbukti banyak menyengsarakan umat manusia.

Mahabenar Allah yang berfirman:

]أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ[
Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki. Siapakah yang lebih baik hukumnya daripada Allah bagi orang-orang yang yakin?! (QS al-Maidah [5]: 50).

Karena itu, pada Hari Kemenangan ini, sudah sepatutnya pula kita berjanji kepada Allah, Rasul-Nya, dan kaum Muslim untuk mengerahkan segenap upaya, secara damai, demi tegaknya Khilafah dan syariah Islam.

Kita memohon dengan sungguh-sungguh kepada Allah SWT agar menolong kita untuk mewujudkan hal ini sehingga kaum Muslim merasakan kegembiraan yang hakiki karena meraih kemenangan yang juga hakiki, sebagaimana digambarkan Allah SWT dalam firman-Nya:

]وَيَوْمَئِذٍ يَفْرَحُ الْمُؤْمِنُونَ$بِنَصْرِ اللهِ يَنْصُرُ مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ الْعَزِيزُ الرَّحِيمُ[
Pada hari (kemenangan) itu bergembiralah kaum Mukmin karena pertolongan Allah. Dia menolong siapa yang dikehendaki-Nya. Dialah Yang Mahaperkasa lagi Maha Penyayang. (QS ar-Rum [30]: 4-5).

Wa ma tawfiqi illa bilLah. []

Memelihara Amalan-Amalan Sunnah


Oleh: Arief B. Iskandar


Allah SWT berfirman (yang artinya):

Sembahlah Allah hingga datang kepada kamu sesuatu yang meyakinkan (maut) (TQS al-Hijr: 99).

Terkait ayat di atas, Imam asy-Sya’rawi menyatakan, bahwa ibadah adalah ketaatan seorang hamba kepada Zat Yang disembah. Ibadah itu sendiri mencakup seluruh gerak hidup manusia. Asy-Sya’rawi juga menegaskan, bahwa sesuatu yang meyakinkan yang disepakati oleh setiap orang—yang tidak   ada pertentangan di dalamnya—adalah kematian. (Imam asy-Sya’rawi, Tafsir asy-Sya’rawi, I/4836).

Ayat ini sesungguhnya memerintahkan kita untuk selalu istiqamah dalam beribadah kepada Allah SWT hingga akhir hayat kita.  Sikap istiqamah dalam beribadah kepada Allah SWT hingga kematian menghampiri kita tentu hanya akan bisa dilakukan jika kita mampu memelihara amal-amal shalih kita, baik yang wajib maupun yang sunnah. Amalan yang wajib tentu tak perlu diperbincangkan lagi; mutlak harus dilakukan.

Hanya saja, wajib itu ada dua: fardhu ’ain dan fardhu kifayah. Sayangnya, fardhu kifayah ini sering diabaikan oleh kebanyakan Muslim hanya karena sudah ada sekelompok orang yang berusaha menunaikannya, padahal kelompok tersebut belum berhasil menunaikannya. Misalnya adalah kewajiban menegakkan Khilafah dan syariah Islam secara total dalam aspek kehidupan, sekaligus menyerbarluaskan Islam ke seluruh penjuru dunia. Padahal Baginda Rasulullah saw., sejak menerima wahyu pertama, diikuti oleh para Sahabat, tidak pernah sejenak pun beristirahat untuk berdakwah sekaligus berjuang menegakkan Islam hingga mereka berhasil mendirikan Daulah Islam (Negara Islam di Madinah).

Setelah Negara Islam berdiri pun, dakwah Rasulullah saw. dan para Sahabat tidak berhenti. Melalui institusi Negara Islam yang mereka dirikan itu, Islam lalu disebarluaskan ke seluruh penjuru dengan dakwah dan jihad. Mereka senantiasa istiqamah serta tanpa lelah terus berdakwah dan berjuang untuk Islam hingga datang kepada mereka sesuatu yang meyakinkan, yakni kematian.

Selain amal-amal yang wajib, tentu setiap Muslim harus memelihara amalan-amalan sunnah. Tentu karena amalan-amalan sunnah pun memiliki banyak keutamaan yang tidak boleh diabaikan begitu saja oleh setiap Muslim. Contohnya adalah shalat-shalat sunnah (nafilah). Dalam hal ini, Rasulullah saw., misalnya, pernah bersabda, ”Hendaklah kalian banyak bersujud. Sebab, siapa saja yang bersujud kepada Allah SWT satu kali, Dia akan mengangkat derajatnya satu derajat dan menghapus darinya satu kesalahan (dosa).” (HR Muslim).

Di antara shalat sunnah yang paling utama adalah shalat malam (tahajud). Allah SWT berfirman (yang artinya):

Pada sebagian malam itu, bertahajudlah kalian sebagai ibadah tambahan bagi kalian. (Dengan shalat malam itu) Allah pasti mengangkat kalian ke derajat yang terpuji (TQS al-Isra’: 79).

Begitu pentingnya shalat tahajud ini, Rasulullah saw. sampai menyuruh kita untuk ”mengqadhanya” saat tertinggal. Beliau bersabda, ”Jika kalian tertinggal dari menunaikan shalat malam karena sakit atau hal lain, hendaklah kalian menunaikan shalat dua belas rakaat di siang hari.” (HR Muslim).

Dalam hadis lain beliau bersabda, ”Siapa saja yang ketiduran hingga tidak menunaikan shalat witir atau sunnah-sunnahnya, hendaklah ia menunaikannya saat terjaga.” (HR Muslim).

Sebaliknya, Rasulullah saw. ”mencela” orang yang tidak melakukan shalat malam, padahal ia sering bangun tengah malam. Beliau bersabda kepada Abdullah bin Amr bin al-’Ash, ”Wahai Abdullah, janganlah engkau seperti si fulan; ia bangun malam tetapi tidak menunaikan shalat malam.” (Mutaffaq ’alaih).

Dalam Al-Fath dinukil kata-kata Ibn ’Arabi, ”Di dalam hadis ini terdapat anjuran untuk mendawamkan amal kebajikan yang biasa dilakukan oleh seorang Muslim tanpa melalaikannya. Dapat disimpulkan dari hadis tersebut, bahwa makruh memutus ibadah (tidak mendawamkannya) meskipun bukan ibadah wajib.” (Muhammad ’Allan ash-Shiddqi, Dalil al-Falihin, I/313).

Amalan sunnah lain yang tak kalah utamanya adalah membaca Alquran. Baginda Rasulullah saw. bersabda, ”Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar Alquran dan mengajarkannya.” (HR al-Bukhari).

Beliau pun bersabda, ”Bacalah oleh kalian Alquran karena ia akan datang pada Hari Kiamat kelak sebagai pemberi syafaat bagi orang yang terbiasa membaca dan mengamalkannya.” (HR Muslim).

Tentu masih banyak amalan-amalan sunnah yang lain seperti memperbanyak zikir, shaum sunnah (shaum Senin-Kamis, shaum Dawud, dll), bersedekah, dll. Semua itu selayaknya dilakukan secara kontinu (dawam). Pasalnya, kata Baginda Rasulullah saw., sebagaimana dituturkan Ummul Mukmin Aisyah ra., ”Sesungguhnya amalan yang paling disukai Allah SWT adalah yang paling kontinu (dawam) dilakukan meski sedikit.” (HR al-Bukhari).

Semoga kita bisa mengamalkan sabda Nabi saw. di atas.

Wama tawfiqi illa bilLah. []

Tanda-Tanda Taqwa


Oleh: Arief B. Iskandar


Ramadhan segera akan tinggalkan. Suasana Idul Fitri pun akan segera kita rasakan. Dalam hal ini, kita tentu penting merenungi: Sukseskah puasa Ramadhan kita tempo hari? Berhasilkah kita mewujudkan takwa sebagai ‘buah’ dari puasa Ramadhan yang telah kita jalani? Pantaskah kita nanti merayakan ‘Hari Kemenangan’, yakni Idul Fitri? Menangkah kita dalam melawan hawa nafsu dan godaan setan selama Ramadhan, juga selepas Idul Fitri?

Jika jawabannya ‘ya’, tentu itu yang kita harapkan. Namun, jika jawabannya ‘tidak’, tentu puasa Ramadhan kita yang selama ini sia-sia belaka. Kita pun sesungguhnya tak layak merayakan ‘Hari Kemenangan’, Idul Fitri. Sebabnya, sebagaimana dinyatakan oleh sebagian ulama, “Laysa al-‘id li man labisa al-jadid walakin al-‘id li man takwahu yazid (Idul Fitri bukanlah milik orang yang mengenakan segala sesuatu yang serba baru. Namun, Idul Fitri adalah milik orang yang ketakwaannya bertambah).”

Pertanyaannya: Apakah ketakwaan kita bertambah selepas puasa Ramadhan dan Idul Fitri?

Untuk menjawab pertanyaan ini, kita tentu mesti mengetahui hakikat takwa sekaligus tanda-tanda (ciri-ciri)-nya.

Siapa orang bertakwa?

Imam ath-Thabari, saat menafsirkan QS al-Baqarah ayat 2, mengutip sejumlah pernyataan tentang hakikat orang-orang bertakwa. Al-Hasan, misalnya, menyatakan, “Orang-orang bertakwa adalah mereka yang takut terhadap perkara apa saja yang Allah haramkan atas mereka dan melaksanakan apa saja kewajiban yang Allah titahkan atas mereka.”

Ibn Abbas berkata, “Orang-orang bertakwa adalah orang-orang yang khawatir terhadap azab Allah ‘Azza wa Jala jika meninggalkan petunjuk-Nya yang telah mereka ketahui dan berharap pada rahmat-Nya dengan membenarkan apa saja yang datang kepada dirinya (berupa Alquran, pen.).”

Ibn Mas’ud menuturkan dari sekelompok sahabat Nabi saw. bahwa orang-orang yang bertakwa dalah orang-orang Mukmin.

Abu Bakr ‘Ayyas berkata, “Orang-orang bertakwa dalah mereka yang menjauhi dosa-dosa besar.” Demikian pula disepakati oleh Al-A’masyi.

Qatadah berkata, “Orang-orang bertakwa adalah mereka yang disifati dengan sifat—sebagaimana dalam ayat berikutnya, pen.—yaitu: orang yang mengimani perkara gaib, menegakkan shalat dan menginfakkan sebagian rezeki yang telah Allah limpahkan kepada mereka.”

Ibn Abbas juga menyatakan bahwa orang-orang bertakwa adalah mereka yang takut menyekutukan Allah SWT dan mengamalkan apa saja yang telah Allah SWT wajibkan atas mereka (Lihat:  Ath-Thabari,  Jami’ al-Bayan li Ta’wil al-Qur’an, I/232-233).

Al-Quran pun banyak mengungkap ciri orang-orang yang bertakwa, di antaranya sebagaimana dinyatakan dalam QS al-Baqarah ayat 3-5. Demikian juga dalam al-Hadits. Begitu pun yang dinyatakan oleh para Sahabat dan banyak ulama dari generasi salafush-shalih. Di antaranya adalah yang dinyatakan oleh al-Hasan. Al-Hasan berkata, “Orang bertakwa memiliki sejumlah tanda yang dapat diketahui, yakni: jujur/benar dalam berbicara; senantiasa menunaikan amanah; selalu memenuhi janji; rendah hati dan tidak sombong; senantiasa memelihara silaturahmi; selalu menyayangi orang-orang lemah/miskin; memelihara diri dari kaum wanita; berakhlak baik; memiliki ilmu yang luas; senantiasa bertaqarrub kepada Allah.” (Ibn Abi ad-Dunya, Al-Hilm, I/32)

Terkait jujur dalam bicara, senantiasa menunaikan amanah dan selalu memenuhi janji, Rasulullah saw. pernah bersabda, “Ada empat perkara yang siapa saja termasuk di dalamnya maka dia benar-benar orang munafik, meski ia shalat atau puasa dan mengklaim dirinya Muslim. Jika ia memiliki satu saja dari empat perkara tersebut maka ia memiliki salah satu tanda kemunafikan hingga ia meninggalkannya: Jika ia berbicara, ia berdusta; jika berjanji, ia ingkari; jika diberi amanah, ia khianati; jika ia membuat kesepakatan, ia langgar sendiri.” (Al-Ghazali, Al-Ihya’, III/272).

Terkait takwa pula, Wahab bin Kisan bertutur bahwa Zubair ibn al-Awwam pernah menulis surat yang berisi nasihat untuk dirinya. Di dalam surat itu dinyatakan, “Amma ba’du. Sesungguhnya orang bertakwa itu memiliki sejumlah tanda yang diketahui oleh orang lain maupun dirinya sendiri, yakni: sabar dalam menanggung derita, ridha terhadap qadha’, mensyukuri nikmat dan merendahkan diri (tunduk) di hadapan hukum-hukum Alquran.” (Ibn al-Jauzi, Shifat ash-Shafwah, I/170; Abu Nu’aim al-Asbahani, Hilyah Awliya’, I/177).

Muhammad bin Husain berkata bahwa Abu al-Husain juga pernah menyatakan, “Seorang Mukmin (yang bertakwa) itu memiliki empat tanda: kata-katanya adalah zikir; diamnya adalah tafakur; pandangannya adalah ibrah; dan ilmunya adalah kebaikan.” (Abu Nu’aim al-Asbahani, Hilyah Awliya’, IV/354).

Semoga kita benar-benar menjadi orang bertakwa, lengkap dengan segala antribut dan tanda-tanda (ciri-ciri)-nya.

Wa ma tawfiqi illa bilLah. []

Takwa Dalam Semua Keadaan


Oleh: Arief B. Iskandar


Ramadhan akan segera berlalu. Idealnya, setelah melewati masa-masa “training” sebulan penuh selama Ramadhan, setiap Muslim akan menjadi “sosok baru”; yang berbeda antara sebelum Ramadhan dan setelah Ramadhan. Setelah Ramadhan, ia makin rajin beribadah (melakukan banyak shalat sunnah, shaum sunnah, berzikir dan ber-taqarrub kepada Allah SWT, dll); makin banyak bersedekah; makin berakhlakul karimah; makin rajin menuntut ilmu, makin giat berdakwah dan beramal makruf nahi mungkar, dan seterusnya.

Sebaliknya, ia pun makin jauh dari perbuatan dosa dan maksiat kepada Allah SWT. Singkatnya, ia makin bertakwa kepada Allah SWT. Takwa inilah yang menjadi “buah” dari shaum yang ia jalani selama sebulan penuh selama Ramadhan (QS al-Baqarah [2]: 183). Jika itu yang berhasil ia raih, berarti ia telah melakukan shaum dengan benar. Sebaliknya, jika tidak, berarti shaumnya selama Ramadhan hanyalah sekadar menahan rasa lapar/haus semata, sebagaimana yang diisyaratkan Baginda Nabi saw. (HR Ahmad dan ad-Darimi).

Berbicara tentang takwa, Baginda Rasulullah saw. pernah bersabda kepada Muadz bin Jabal ra. saat beliau mengutus dia ke Yaman, “Bertakwalah engkau kepada Allah di manapun/kapanpun/dalam keadaan bagaimanapun…” (HR at-Tirmidzi).

Terkait dengan frase ittaqillah (bertakwalah engkau kepada Allah) dalam potongan hadis di atas, banyak ulama mendefinisikan kata takwa. Umumnya takwa mereka maknai dengan: melaksanakan seluruh perintah Allah SWT dan menjauhi semua larangan-Nya serta menetapi hukum-hukum-Nya. Dengan kata lain, hakikat takwa adalah sebagaimana dinyatakan oleh Hasan al-Bashri dan Umar bin Abdul Aziz, yakni: menjauhi semua yang Allah larang dan melaksanakan semua yang Allah perintahkan; lebih dari itu adalah kebaikan.

Menurut ulama salaf, takwa juga bisa berarti meninggalkan banyak hal yang mubah (halal) hanya karena takut terjatuh pada keharaman. Karena itu sikap wara' (takut terjatuh ke dalam dosa) dan takut kepada Allah, itulah hakikat takwa.

Said bin al-Musayyib pernah ditanya seseorang, “Bagaimana takwa itu?”

Ia balik bertanya, “Bagaimana pendapatmu, jika engkau berjalan di jalanan yang penuh duri, apa yang engkau lakukan?”

Orang itu menjawab, “Saya tentu akan hati-hati dan berusaha menghindari duri-duri itu agar tidak melukai kaki saya.”

Said bin al-Musayyib kemudian berkata, “Itulah takwa, yakni engkau menghindari berbagai 'duri' kemaksiatan.”

Makna inilah yang kemudian disitir oleh seorang alim dan zuhud dalam sebuah bait syairnya:

Jauhilah besar-kecilnya dosa
Itulah takwa
Jadilah seperti orang yang berjalan kaki di jalanan penuh duri
Ia selalu hati-hati
Jangan sepelekan dosa kecil
Sebab bukit pasir pun awalnya adalah butiran-butiran kecil

Banyak sifat yang dilekatkan kepada orang-orang bertakwa (muttaqin). Di antaranya, jika kita merujuk ayat-ayat di awal surah al-Baqarah, orang bertakwa adalah orang yang: mengimani yang gaib; mendirikan shalat; menginfakkan sebagian harta; mengimani al-Quran dan kitab-kitab yang Allah turunkan sebelum al-Quran; meyakini alam akhirat (QS al-Baqarah [2]: 1-4).

Lalu jika kita merujuk pada ayat lain, orang bertakwa disifati dengan beberapa ciri: menginfakkan hartanya di saat lapang ataupun sempit; mampu menahan amarah; mudah memaafkan kesalahan orang lain; jika melakukan dosa segera ingat kepada Allah SWT dan memohon ampunan-Nya; tidak meneruskan perbuatan dosanya (QS Ali Imran [3]: 133-135).

Tentu masih banyak sifat orang bertakwa yang disebutkan di dalam al-Quran maupun as-Sunnnah. Yang pasti, semua sifat tersebut sejatinya melekat pada siapapun yang dikategorikan bertakwa.

Adapun frase haytsuma kunta maknanya adalah: di tempat manapun kamu berada, baik dilihat manusia ataupun tidak (Ismail bin Muhammad al-Anshari, At-Tuhfah ar-Rabbaniyyah Syarh al-Arba'in an-Nawawiyyah, hlm. 18).

Secara lebih rinci dapat dijelaskan, bahwa kata haytsu bisa merujuk pada tiga: tempat (makan), waktu (zaman) dan keadaan (hal).

Karena itu sabda Baginda Rasul saw. kepada Muadz ra. tersebut sebagai isyarat agar ia bertakwa kepada Allah SWT tidak hanya di Madinah: saat turunnya wahyu-Nya, saat ada bersama beliau, juga saat dekat dengan Masjid Nabi saw. Namun, hendaklah ia bertakwa kepada Allah SWT di mana pun, kapan pun dalam keadaan bagaimana pun  ('Athiyah bin Muhammad Salim, Syarh al-Arba'in an-Nawawiyyah, 42/4-8).

Alhasil, kita pun sejatinya bertakwa tidak hanya saat berada pada bulan Ramadhan saja, yang kebetulan akan segera kita lalui, tetapi juga di luar Ramadhan selama sebelas bulan berikutnya.

Wama tawfiqi illa bilLah wa 'alayhi tawakkaltu wa ilayhi unib. []

Faktor Penghalang Menjadi Orang Shalih


Oleh: Arief B. Iskandar


Setiap Muslim tentu mendambakan dirinya menjadi orang shalih. Namun, bagi sebagian orang, menjadi orang shalih kadang hanya sebatas keinginan, tidak benar-benar diwujudkan. Kadang keinginan menjadi orang shalih itu malah kontraproduktif dengan praktik-praktik yang dilakukan. Betapa banyak Muslim yang malah mendatangkan halangan-halangan bagi dirinya untuk menjadi orang yang salih.

Berkaitan dengan ini, Imam Ali  pernah berkata, ”Seandainya tidak ada lima perkara, seluruh manusia tentu menjadi orang-orang shalih. 

Pertama: Merasa puas dengan kebodohan. Kedua: Terlalu fokus terhadap dunia. Ketiga: Bakhil terhadap harta. Keempat: Riya dalam beramal. Kelima: Membanggakan diri sendiri.” (Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi, Nasha’ih al-’Ibad, hlm. 32).

Inilah lima perkara yang oleh Imam Ali dianggap sebagai ’penghalang’ seseorang untuk menjadi orang shalih.

Terkait dengan yang pertama (merasa puas dengan kebodohan), jelas sikap ini tercela dalam Islam yang nyata-nyata telah mewajibkan setiap Muslim untuk menuntut ilmu. Rasulullah saw. bersabda, ”Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap Muslim.” (HR Muslim).

Rasul saw. juga bersabda, ”Allah SWT murka terhadap orang yang memiliki ilmu tentang dunia tetapi tidak memiliki ilmu tentang akhirat (agama).” (HR al-Hakim).

Beliau juga bersabda, ”Dosa orang yang berilmu itu satu, sementara dosa orang bodoh itu dua.” (HR ad-Dailami).

Maksudnya, orang yang berilmu tetapi tidak mengamalkan ilmunya mendapatkan satu dosa. Dengan kata lain, dia gugur dari dosa menuntut ilmu, tetapi tetap berdosa karena tidak mengamalkan ilmunya.

Adapun orang yang bodoh mendapatkan dua dosa: dosa karena tidak menuntut ilmu sehingga menjadikan dirinya bodoh dan dosa karena dia tidak beramal. Sebabnya, bagaimana dia bisa beramal, atau apa yang mau diamalkan, sementara dia tidak berilmu?

Terkait dengan yang kedua (terlalu fokus terhadap dunia), sikap ini pun buruk dalam pandangan Islam. Sebab, Allah SWT telah berfirman (yang artinya): Carilah pada apa yang telah Allah anugerahkan kepada kalian (kebahagiaan) negeri akhirat dan jangan kalian melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi (QS al-Qashash [28]: 77).

Dalam ayat ini bahkan kebahagiaan akhirat lebih didahulukan daripada kebahagian dunia meski manusia didorong untuk bisa meraih kedua-duanya. Rasul saw. juga bersabda, ”Sebaik-baik kampung dunia adalah bagi orang yang menjadikannya sebagai bekal untuk akhiratnya hingga ia ridha kepada Tuhannya. Seburuk-buruk kampung dunia adalah bagi orang yang terpalingkan olehnya sehingga  berkurang keridhaan kepada Tuhannya.” (HR al-Hakim).

Terkait dengan yang ketiga (bakhil terhadap harta), maka kita tampaknya perlu menyadari kata-kata Imam Ja’far ash-Shadiq. Beliau pernah menyatakan, seorang hamba mesti menyadari bahwa apa yang ada padanya bukan miliknya, tetapi milik ’tuan’-nya, yakni Allah SWT. Segala hal yang ada padanya adalah titipan dari-Nya. Jadi, tak selayaknya dia bakhil terhadap harta, yang juga sesungguhnya merupakan titipan Allah yang kebetulan Dia titipkan kepadanya.

Terkait dengan yang keempat (riya dalam beramal), Rasullullah saw. bersabda, ”Orang yang paling keras azabnya pada Hari Kiamat adalah orang yang berlaku riya di hadapan manusia bahwa ia telah berbuat baik, padahal tak ada kebaikan sedikit pun di dalamnya.” (HR ad-Dailami).

Rasul saw. pun bersabda, ”Sesungguhnya Allah SWT mengharamkan surga atas orang-orang yang berbuat riya.” (HR Abu Nu’aim).

Terakhir, terkait dengan yang kelima (membanggakan diri sendiri),  kita pun sejatinya menyadari, bahwa tak layak manusia membanggakan diri. Sebab, sejak awal manusia diciptakan dari ’air yang hina’. Lebih dari itu, apa yang harus dibanggakan manusia jika semua yang ada padanya, termasuk dirinya sekalipun, adalah milik Allah SWT, Pencipta manusia dan seluruh jagad raya ini? Tentu sangat janggal dan aneh jika manusia berbangga atas apa yang orang lain titipkan kepadanya. Bukankah aneh jika kita berbangga diri hanya karena dititipi rumah (walau rumah mewah) oleh tetangga samping rumah kita yang kebetulan sedang bepergian jauh? Bukankah aneh jika kita harus takjub diri jika teman kita menitipkan mobilnya (meski mobil itu super mahal) kepada kita saat kebetulan dia harus ke luar negeri? Karena itu, tentu aneh pula jika kita berbangga diri, apalagi bersikap sombong, atas apa saja yang telah Allah titipkan kepada kita (anak-istri, rumah, mobil, apartemen, tanah/sawah yang luas, serta harta kekayaan lainnya yang melimpah ruah). Sebab, bukankah semua itu hakikatnya milik Allah SWT, yang kebetulan Dia titipkan kepada kita?

Wa mâ tawfîqî illâ billâh wa ’alayhi tawakkaltu wa ilayhi unîb. []

Menikmati Taman Surga


Oleh: Arief B. Iskandar


Taman, di manapun, selalu diasosiasikan sebagai tempat yang indah, penuh warna, dengan ragam pepohonan dan bunga warna-warni, harum semerbak; baik ia ada di depan atau belakang rumah mewah; baik ia ada di sekeliling istana para raja; atau mungkin ia merupakan tempat tersendiri yang sengaja dirancang sebagai tempat rekreasi dan wisata. Taman selalu diasosiasikan dengan keindahan. Tak ada taman yang diasosiasikan dengan keburukan. Demikianlah realitas taman di dunia ini.

Namun demikian, seindah apapun taman di dunia tak pernah ada yang kemudian disebut dengan 'taman surga'. Karena itu, menarik saat Baginda Rasulullah saw. menyebut-nyebut adanya 'taman surga', bukan di surga, tetapi di dunia ini.

Anas bin Malik menuturkan bahwa Baginda Rasulullah saw. pernah bertanya kepada para Sahabat, “Jika kalian melewati taman-taman surga, makan dan minumlah di dalamnya.” Para Sahabat bertanya, “Apakah taman surga itu, wahai Rasulullah?” Jawab beliau, “Halaqah-halaqah (majelis-majelis) dzikir.” (HR at-Tirmidzi).

Melalui hadis ini, tegas Rasulullah menyamakan majelis zikir dengan taman surga, tentu dari sisi kemuliaan dan keutamaannya, sekaligus menyebut orang yang ada di majelis-majelis zikir sebagai orang-orang yang sedang menikmati hidangan di taman-taman surga itu (Syarh Ibn Bathal, II/5).

Keutamaan taman surga tentu tak bisa diban-dingkan dengan taman dunia. Sebab, surga itu sendiri dan apa saja yang ada di dalamnya belum pernah terlihat oleh mata, terdengar oleh telinga atau terbersit di dalam kalbu manusia (Tafsir ath-Thabari, XVII, 346).

Lalu apa yang dimaksud dengan majelis zikir?

Dalam hadits lain Rasul saw. menyebut taman-taman surga itu dengan majelis-majelis ilmu. Inilah yang juga dipahami oleh para Sahabat seperti Abu Hurairah ra. dan Ibn Mas'ud ra (Fauzi Sinaqart, At-Taqarrub iilla Allah).

Imam al-Qurthubi juga menyebut majelis-majelis zikir yang dimaksud adalah majelis ilmu tentang halal dan haram.

Adapun menurut Imam a-Ghazali, yang dimaksud adalah majelis ilmu-ilmu akhirat; ilmu tentang Allah SWT dan kekuasaan-Nya serta penciptaan-Nya (Faydh al-Qadir, I/696).

*****

Terkait ilmu dan keutamaan majelis ilmu, juga kemuliaan para pencarinya, diterangkan oleh banyak hadis, selain hadits di atas. Baginda Rasulullah saw., misalnya, pernah bersabda, “Mencari ilmu adalah kewajiban setiap Muslim.” (HR Muslim).

Katsir bin Qays berkata:
Saya pernah duduk bersama Abu ad-Darda di Masjid Damakus. Tiba-tiba datang seseorang kepada dia dan berkata, “Wahai Abu ad-Darda, saya datang kepada engkau dari Madinatur Rasul saw. demi memastikan suatu hadis yang sampai kepada diriku, bahwa engkau pernah membicarakan hadis itu dari Rasul saw., yang tentu sangat aku butuhkan.”

Abu ad-Darda lalu berkata, “Aku memang pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Siapa saja yang menempuh jalan untuk menuntut ilmu, niscaya Allah akan membuka bagi dirinya salah satu jalan di antara jalan-jalan menuju surga. Sesungguhnya para malaikat benar-benar meletakkan sayap-sayap mereka karena ridha kepada pencari ilmu. Sesungguhnya seorang yang berilmu (ulama) benar-benar dimintakan ampunan kepada Allah bagi dirinya oleh siapa saja yang ada di langit dan di bumi, hingga bahkan ikan-ikan di air. Sesungguhnya keutamaan orang yang berilmu atas orang yang suka beribadah adalah seperti keutamaan cahaya bulan purnama atas cahaya seluruh bintang di malam hari. Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi. Sesungguhnya para nabi itu tidak mewariskan dinar atau dirham, tetapi mewariskan ilmu. Karena itu, siapa saja yang mengambil ilmu, berarti dia telah mengambil sesuatu yang amat berharga.” (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibn Majah dan Ahmad).

Generasi salafush-shalih adalah orang-orang yang amat memahami keutamaan ilmu dan majelis ilmu. Lalu bagaimana dengan generasi umat Islam hari ini?

Sayang, meski kebanyakan majelis ilmu itu gratis, padahal menjanjikan keutamaan yang luar biasa saat hadir di dalamnya sebagaimana sabda Baginda Rasulullah saw. di atas, tak banyak orang yang berbondong-bondong untuk menghadirinya. Buktinya, meski majelis ilmu menjamur di mana-mana, biasanya yang hadir jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Bandingkan dengan “majelis sepak bola” atau “majelis konser musik”; meski setiap orang harus mengeluarkan puluhan atau bahkan ratusan ribu untuk membeli karcis masuk, toh peminatnya selalu membludak walau harus berdesak-desakan.
Padahal jelas, “majelis-majelis” semacam ini tak menjanjikan apa-apa selain kesenangan sesaat. Itulah realitas generasi umat hari ini. Mereka benar-benar telah 'buta', tak lagi dapat melihat keutamaan dan keindahan taman-taman surga.

Na'udzu billah min dzalik. []

Adakah Amal Utama Selain Menghidupkan Laylatul Qadar ?


قد وجد العمل أفضل من قيام أو إحياء ليلة القدر و لكن يتركه أكثر الناس وهو الجهاد في سبيل الله و التفقه في الدين.

Sungguh ada amal yang lebih utama dari menghidupkan laylatul qadr, namun kebanyakan manusia meninggalkan amalan ini ; *jihad di jalan Allah, dan mendalami ilmu agama.*


قال النبي صلى عليه وسلم: موقف ساعة في سبيل الله خير من قيام ليلة القدر  عند حجر الأسود (رواه إبن حبان و البيهقي)

Nabi SAW pernah bersabda, "Posisi seseorang yang berjuang di jalan Allah satu jam lebih baik daripada shalat di laylatul qadr di hajar aswad."(HR.Ibnu Hibban dan Al-Baihaqi)


و قال النبي: ألا أنبؤكم ليلة أفضل من ليلة القدر؟ حارس حرس في أرض خوف لعله أن لا يرجع إلى أهله (رواه الحاكم )

Nabi SAW bersabda, "Sudikah aku kabarkan perihal malam yang lebih utama dari laylatul qadr ?

Seorang yang berjaga-jaga di wilayah yang dilingkupi ketakutan, boleh jadi ia tidak akan kembali lagi pada keluarganya. (HR. Al-Hakim)

وقال النبي في التفقه في الدين: ما عبد الله بشيئ أفضل من فقه في الدين (رواه الدارقطني و البيهقي)

Berkenaan dengan mendalami ilmu agama, Nabi SAW pernah bersabda, "Tidaklah seseorang beribadah pada Allah yang lebih utama daripada mendalami ilmu agama.(HR. Ad-Daruqutni dan Al-Baihaqi)

ولذلك قال أبو هريرة: أجلس ساعة فأفقه احب إلي من أن أحيي ليلة القدر (رواه الدارقطني و البيهقي)

Dan oleh karena itu, Abu Hurairah RA pernah berkata, "Aku duduk satu jam mendalami agama lebih aku sukai daripada aku menghidupkan laylatul qadr.(HR.Ad-Daruqutni dan Al-Baihaqi)

Mari Tinggalkan Kesia-Siaan


Oleh: Arief B. Iskandar

Empat puluh juta dolar Amerika Serikat ($40.000.000), jika Anda miliki, tentu amat banyak, amat besar! Jika saat ini kurs $1 setara dengan Rp 13.000, berarti $40.000.000 sama dengan Rp 520.000.000.000 (Lima ratus dua puluh miliar rupiah) atau lebih dari setengah triliun rupiah. Jika seorang karyawan bergaji Rp 5 juta perbulan, untuk bisa mencapai nilai sebesar itu, ia harus bekerja selama 8.666,6 tahun!

Dengan uang sebesar itu, Anda tentu bisa memiliki apa saja: membeli ratusan rumah mewah; ratusan mobil mewah; ribuan hektar tanah; ratusan perusahaan kelas menengah; dll.

Jika Anda seorang dermawan, dengan uang sejumlah itu Anda bisa menyantuni 1.000.000 orang (fakir-miskin, janda dan anak-anak yatim), perkepala Rp 520 ribu; atau mungkin bisa membelikan untuk 1.040.000 kepala keluarga masing-masing sekarung beras seberat 50kg seharga Rp 500.000/karung; atau mungkin bisa merenovasi 1.040 masjid masing-masing dengan biaya Rp 500 juta; atau mungkin bisa membeli 34.666 unit sepeda motor seharga Rp 15 juta/unit untuk sarana transportasi dakwah gratis bagi 34.666 da’i/mubaligh di sejumlah daerah di Indonesia.

Masalahnya, bagaimana jika uang sebanyak lebih Rp 520 miliar itu ternyata hanya nilai asuransi sepasang kaki manusia? Siapapun tentu akan geleng-geleng kepala. Sepertinya itu terjadi di alam mimpi atau dalam sebuah cerita fiksi.

Namun, jangan salah. Itu benar-benar terjadi!

Sebagaimana ramai diberitakan, Taylor Swift, seorang penyanyi, penulis lagu sekaligus mega bintang dunia asal Amerika, baru-baru ini berencana mengasuransikan kedua kakinya seharga $40.000.000.

Berita ini memang baru sebatas rumor. Namun, jika berita ini benar, sesungguhnya Taylor bukanlah yang pertama dan satu-satunya selebriti dunia yang mengasuransikan anggota tubuhnya. Penyayi Mariah Carey malah telah mengasuransikan kedua kakinya seharga 1 miliar dolar AS atau setara Rp 13 triliun. Aktris lainnya, Julia Roberts, mengasuransikan senyumnya yang "legendaris" seharga 30 juta dolar AS atau Rp 390 miliar (Kompas.com, 14/3/2015).

Mungkin memang premi yang mereka bayarkan lebih kecil. Namun demikian, dengan nilai asuransi ratusan miliar bahkan triliunan rupiah, pastinya premi yang dibayarkan tetap bukan angka yang kecil. Namun, bagi kaum kapitalis sekular, menghambur-hamburkan uang sebanyak itu untuk membayar premi asuransi sepertinya memang bukan masalah. Yang penting, keinginan mereka—yang pastinya bersifat material, duniawi dan profan—bisa diwujudkan. Soal harga tak jadi soal.

Sebaliknya, bagi seorang Muslim, membelanjakan harta untuk hal yang sia-sia alias tak berguna—meski halal—tak selayaknya dilakukan. Rasul saw. secara umum menyatakan, “Min husn Islam al-mar’i tarkuhu ma la ya’nihi (Di antara baiknya Islam pada diri seseorang adalah meninggalkan perkara apa saja yang tidak berguna).” (HR Ahmad, at-Tirmidizi dan Ibn Majah).

Hadis ini tentu mencakup semua hal yang sia-sia (Lihat: Ibn ‘Arabi, Tuhfah al-Ahwadzi bi Syarh Jami’ at-Tirmidzi, VI/102).

Karena itu, jangankan membelanjakan ratusan miliar rupiah, satu rupiah pun, jika dibelanjakan pada hal yang sia-sia, harusnya dihindari oleh seorang Muslim.

Seorang Muslim sejati akan selalu berusaha meraih keberkahan pada setiap rupiah hartanya. Ia pun akan berusaha mendapatkan keberkahan dari setiap ucapan dan tindakannya. Ia akan selalu berusaha untuk tak terjebak dalam kesia-siaan.

Sayang, bagi sebagian orang, meraih manfaat dan keberkahan kadang terasa gampang-gampang susah ketimbang melakukan kesia-siaan.
Betapa banyak Muslim yang punya harta, sedikit atau banyak, menghabiskan hartanya untuk hal-hal yang tak berguna: membeli lukisan atau berburu barang antik dengan harga ratusan juta bahkan miliaran rupiah hanya untuk kesenangan; rutin membeli pakaian baru (baju, celana, sepatu, tas, dll) yang serba mahal setiap minggu setiap kali muncul model terbaru, padahal pakaian lama pun jarang dipakai dan hanya memenuhi isi lemari saja; atau terus menumpuk uangnya dalam bentuk deposito atau tabungan di bank sehingga berjumlah ratusan juta hingga miliaran rupiah tanpa uang itu digunakan untuk perkara-perkara yang bermanfaat dan berkah.

Kesia-siaan sebetulnya tak melulu menyangkut harta, tetapi juga mencakup semua perkara yang telah Allah SWT karuniakan kepada setiap manusia. Setiap manusia tentu dikarunia anggota tubuh yang sebagian besarnya sempurna (mulut, mata, telinga, tangan, kaki, dll).
Faktanya, betapa banyak orang yang dari mulutnya hanya sedikit kata-kata bermanfaat, apalagi mengandung hikmah dan nasihat agama; atau bibirnya basah karena banyak berzikir kepada Allah SWT. Kebanyakan yang terlontar dari lisannya hanyalah omongan tak bermakna, canda tawa, bahkan tak jarang menjurus pada keharaman; meng-ghibah, berkata-kata kasar dan jorok, memfitnah, mengadu-domba, dll.

Tengoklah ragam acara di televisi yang hanya dihiasi oleh celotehan dan lawakan tak berguna, bahkan melalaikan manusia dari ketaatan kepada Allah SWT.

Betapa sering pandangan mata kita bukan saja jarang dipakai untuk membaca al-Quran atau membaca buku-buku Islam, tetapi bahkan aktif digunakan untuk melihat hal-hal haram: aurat wanita yang bukan mahram.

Betapa sering telinga kita hanya digunakan untuk mendengarkan musik atau hal-hal yang melenakan, bukan rajin mendengarkan bacaan ayat-ayat al-Quran atau nasihat agama dari para ulama.

Masing-masing kita juga diberi jatah waktu 24 jam sehari. Namun, betapa sering waktu kita dihabiskan hanya untuk hal-hal yang tak bermanfaat: nonton hiburan dan gosip di televisi berjam-jam setiap hari; menghabiskan waktu di depan komputer hanya sekadar main game, banyak tidur, dll.

Bagaimana dengan para pengemban dakwah?

Sudahkah hartanya dibelanjakan untuk meraup berkah; menafkahi anak-istri, diinfakkan di jalan dakwah, menolong orang yang kesulitan, atau disedekahkan kepada fakir-miskin?

Sudahkah sebagian besar waktunya digunakan untuk kontak-kontak dakwah, meningkatkan tsaqafah dan memperbanyak amalan sunnah (zikir, salat malam, membaca al-Quran, dll)?

Sudahkah semua yang kita punya dan semua nikmat yang Allah SWT karuniakan kepada kita terhindar dari kesia-siaan?

Ingatlah, Allah SWT pasti akan meminta pertanggungjawaban kita atas semua itu: Kemudian pada hari itu (Hari Kiamat) kalian benar-benar akan ditanya tentang nikmat (TQS at-Takatsur [102]: 8).

Mengingat ayat ini saja telah cukup membuat Baginda Rasulullah saw. bergetar dan menangis karena takut diminta pertanggungjawaban di Akhirat nanti saat beliau baru saja merasakan nikmat berupa sebutir kurma (Lihat: Jalaluddin as-Suyuthi, Durr al-Mantsur fi at-Ta’wil bi al-Ma’tsur, X/340).

Bagaimana dengan kita?

Wa ma tawfiqi illa bilLah. []

Sedekah Tanpa Batas


Oleh: Arief B. Iskandar

Ummul Mukminin, Aisyah ra., suatu saat pernah mendapatkan hadiah berupa dua kantong harta berisi masing-masing 100 ribu dirham (total berarti 200 ribu dirham). Sebagaimana diketahui, satu dirham syar’i hari ini setara kira-kira Rp 70 ribu rupiah. Artinya, Aisyah ra. saat itu mendapatkan uang kira-kira Rp 14 miliar (200 ribu x Rp 70 ribu). Mendapatkan uang sebanyak itu, Aisyah ra. tidak lantas bergembira dan bersukacita, lalu menyimpannya atau menghabiskannya untuk kepentingan dan kesenangan dirinya.

Sesaat setelah menerima hadiah uang itu, ia malah segera membagi-bagikan uang sebanyak itu kepada fakir miskin. Hanya dalam tempo beberapa jam saja, sejak pagi hingga sore, uang sebanyak Rp 14 miliar rupiah itu ludes disedekahkan semuanya. Tak ada satu dirham pun tersisa bagi dirinya.

Padahal hari itu Aisyah ra. sedang berpuasa dan ia tidak tahu kalau hari itu ia tidak memiliki makanan untuk berbuka kecuali amat sedikit. Saat uang itu habis dibagikan menjelang magrib, Aisyah ra. berkata kepada pembantunya, “Coba engkau bawakan makanan untuk saya berbuka.”

Tak lama, pembantunya segera membawakan sepotong roti kering dan sedikit minyak zaitun.
“Adakah makanan yang lebih baik daripada ini?” tanya Aisyah ra.

“Andai tadi engkau menyisakan satu dirham saja, tentu kita dapat membeli sekerat daging,” jawab pembantunya.

“Mengapa engkau baru mengatakan itu sekarang? Andai saja tadi engkau meminta, tentu saya akan memberi kamu satu dirham,” kata Aisyah ra. (Al-Kandahlawi, Fadha-il A’mal, hlm. 679).

Demikianlah. Sepeninggal Baginda Rasulullah saw., dalam posisinya sebagai Ummul Mukminin, Aisyah ra. sering mendapatkan hadiah seperti ini, di antaranya dari Muawiyyah ra., Abdullah bin Umar ra., Zubair ra. dan para Sahabat lainnya. Apalagi saat itu kaum Muslim sering mendapatkan harta yang banyak (ghanimah) karena seringnya mereka meraih kemenangan dalam sejumlah peperangan. Walaupun banyak kaum Muslim saat itu yang memiliki banyak harta, dan sebagiannya banyak dihadiahkan kepada Ummul Mukminin Aisyah ra., Aisyah ra. tetap hidup sederhana.

Dalam kisah lain, sebagaimana dituturkan oleh Urwah ra., Aisyah ra. pernah menyedekahkan harta sebanyak 70 ribu dirham (kira-kira setara Rp 4,9 miliar), sementara saat itu beliau mengenakan pakaian yang amat sederhana bahkan bertambal.

Pada saat lain, Aisyah ra. sedang berpuasa. Selain sepotong roti, pada hari itu tak ada makanan di rumahnya untuk berbuka. Tiba-tiba datanglah seorang lelaki miskin. Ia lalu meminta sedikit makanan kepada Aisyah ra. Aisyah ra. segera memerintahkan pembantunya untuk memberikan sepotong roti itu kepada lelaki miskin tersebut. Pembantunya berkata, “Jika kita memberikan roti ini kepada orang itu, berarti kita tidak memiliki makanan untuk berbuka.”

“Biar saja,” jawab Aisyah ra. “Berikan saja roti itu kepada dia,” tegasnya lagi (Al-Kandahlawi, Fadha-il A’mal, hlm. 679).

*****

Pembaca yang budiman, apa yang terlintas di benak kita saat kita membaca kisah nyata di atas? Perasaan apa yang ada dalam dada kita saat membaca kisah Aisyah ra.—juga kisah-kisah keteladanan para Sahabat ataupun Shahabiyah yang serupa, yang sesungguhnya bertaburan dalam catatan sirah dan sejarah mereka? Saya akan mencoba menduga-duganya.

Pertama: Yang ada pasti sikap takjub. Namun, sebatas itu. Setelah itu, kisah semacam ini akan berlalu begitu saja dari benak dan hati kita tanpa ada pengaruh sedikit pun ke dalam sikap dan tindakan kita. Infak kita tetap biasa saja. Sedekah kita tetap seperti semula; hanya sisa-sisa dari pengeluaran untuk memenuhi keperluan kita sehari-hari.

Kedua: Takjub, tetapi kemudian juga segera berapologi dan membela diri. “Ya, memang keimanan kita jauh sekali dengan para Sahabat Nabi saw. Rasa-rasanya susah kita bisa mencontoh keteladanan mereka.”

Barangkali begitu komentar kita. Setelah itu, infak dan sedekah kita pun tak pernah meningkat; biasa-bisa saja seperti semula meski mungkin penghasilan kita terus bertambah. Sebabnya, kita sendiri sudah menegaskan: sulit mencontoh para Sahabat Nabi saw.

Ketiga: Kita takjub, lalu merenung. Namun, kita pun kemudian menimbang-nimbang saat berinfak. Pada akhirnya, mungkin infak dan sedekah kita meningkat sedikit dari sebelumnya karena kita masih bisa beralasan, “Ya, kalau disedekahkah semuanya, gimana untuk memenuhi keperluan kita dan keluarga kita?”

Barangkali demikian komentar kita. Kebanyakan kita masih belum yakin dengan rezeki sebagai ketetapan dari Allah SWT. Kebanyakan kita pun masih belum yakin dengan balasan yang berlipat ganda—di dunia dan akhirat—dari amalan sedekah dan infak di jalan Allah SWT. Pada akhirnya, kisah-kisah tentang dahsyatnya infak dan sedekah para Sahabat Nabi saw. tetap sesuatu yang kecil pengaruhnya untuk menguatkan keyakinan sekaligus meledakkan semangat kita untuk melakukan hal yang sama.

Keempat: Takjub dan terharu sekaligus. Akal dan kesadaran kita segera tergugah. Perasaan kita segera bangkit untuk juga melakukan apa yang telah banyak dilakukan dan dicontohkan oleh para Sahabat Nabi saw. dalam hal infak dan sedekah mereka. Tak berlama-lama, kita akan segera mengeluarkan sebagian besar—bukan sebagian kecil—harta dan penghasilan kita untuk infak di jalan Allah SWT dan sedekah bagi fakir miskin. Tak ada lagi waktu untuk menimbang-nimbang. Tak ada masanya lagi untuk berpikir ulang. Dasarnya hanyalah satu keyakinan: Rezeki tak akan berkurang karena sedekah. Sebaliknya, sedekah pasti membawa berkah, selain akan dibalas dengan pahala yang berlipat ganda oleh Allah SWT.

Pada akhirnya, kita tak ragu lagi untuk menolong agama Allah SWT ini, juga untuk berbagi dengan kaum dhuafa; tentu tanpa rasa takut jatuh miskin. Bahkan hidup sederhana kini menjadi obsesi kita, sebagaimana yang  telah secara gamblang dicontohkan oleh Ummul Mukminin Aisyah ra. di atas, juga para Sahabat Nabi saw. yang lain, termasuk tentu saja sebagaimana yang dicontohkan oleh Baginda Rasulullah saw.

Menjadi kaya tak lagi menjadi orientasi utama. Menumpuk-numpuk harta tak lagi menjadi obsesi  di dalam dada.

Dari keempat tipikal di atas, kita termasuk yang mana?

Wama tawfiqi illa bilLah wa ‘alayhi tawakaltu wa ilayhi unib. []