Kamis, 30 Juni 2016

Puisi Jubir HTI



DISINI DISANA
DISANA DISINI


Sekarang kita disini, tapi kita akan kesana
Memang kita disini, tapi bukan hanya untuk disini
Kita sekarang disini, tapi untuk disana
Disanalah yg utama, karena disanalah kita akan terus ada

Oleh karena itu, bagi kita, tidak ada kita melakukan sesuatu hanya untuk sesuatu disini

Tidak ada politik untuk politik disini
Tidak ada ekonomi untuk ekonomi disini
Tidak ada cinta dan keluarga sekadar cinta dan keluarga disini
Pun tak ada seni untuk seni disini

Tidak ada politik, ekonomi, cinta keluarga atau apapun yg hanya untuk disini
Kita melakukan sesuatu semua untuk sesuatu disana
Karena disana kita akan terus ada, terus bahagia sepanjang masa, yg bahagianya tak tertandingi dg bahagia apapun disini

Disini bila dibanding disana seperti hidup hanya sesore, seluruh bahagia hanya seperti air menetes dari jemari, sementara yg disana bagai air samudera

Tapi yg disana hanya bisa dicapai melalui yg disini
Tidak akan ada disana, kecuali ada lebih dulu disini

Oleh karena itu, disini sungguh penting. Sebab, ia akan menentukan yg disana
Disana terkait dengan yg disini

Disini menentukan yg disana
Disana ditentukan yg disini
Dan kesempatan kita disini hanya sekali ini. Tak ada lagi

Kalau sdh tahu spt itu, masih beranikah kamu berkreasi seni sekadar untuk seni disini?

Kalau aku enggak, lagian aku jg bukan seniman

#WeNeedKhilafah

Refleksi Ketaqwaan Kita Di Penghujung Ramadhan



Oleh: KH Hafidz Abdurrahman

Nabi menegaskan, “Ramadhan” disebut demikian, karena ia bisa membakar dosa-dosa kita [Hr. Ibn Qudamah]. Dosa-dosa kita dibakar, dengan berbagai ketaatan yang ada di dalamnya, sebagaimana firman Allah SWT: “Inna al-hasanat yudzhibna as-sayyi’at” Artinya : Sesungguhnya berbagai kebaikan itu akan bisa menghilangkan keburukan dan maksiat. [Q.s. Hud: 114].

Karena itu, Ramadhan telah dijadikan oleh Allah SWT sebagai bulan puasa, bulan kesabaran, bulan ampunan dan tentu bulan penuh berkah.

Puasa itu, kata ‘Umar bin al-Khatthab radhiya-Llahu ‘anhu, bukan hanya menahan diri dari makan dan minum, tetapi juga dari hal-hal tidak berguna dan sia-sia. (Hr. Ibn Abi Syibah, dalam kitabnya, al-Mushannaf).

Maka, dengan puasa, kita dilatih untuk melakukan ketaatan sepenuhnya kepada Allah, dan menjauhi sejauh-jauhnya maksiat. Termasuk hal-hal yang sia-sia dan tidak berguna pun harus ditinggalkan.

Di sinilah, kesabaran kita diuji. Sabar melawan dorongan nafsu dan syahwat. Sabar melawan dorongan nafsu dan syahwat lebih susah, ketimbang sabar dalam taat. Namun, dengan ketakwaan yang didapat, semuanya itu akan mudah. Bagaimana tidak, ketakwaan yang dibentuk oleh keyakinan pada yang gaib [Q.s. al-Baqarah: 3] itu telah menghasilkan kekuatan tanpa batas. Betapa tidak, ketika kita meyakini Dzat dan Sifat Allah, Allah Maha segalanya, maka keterbatasan kita pun sirna, saat kita bersandar kepada Allah yang Maha tak terbatas.

Dengan susah payah kita pun puasa, shalat, bangun di tengah malam, melangkahkan kaki untuk shalat berjamaah di masjid, membaca dan memahami al-Qur’an serta berjuang untuk menegakkan hukumnya, karena kita yakin dengan janji Allah yang ghaib.

Pahala, surga, rontoknya dosa-dosa kita saat kaki melangkah ke masjid, semuanya adalah gaib. Semuanya itu kita yakini. Yakin, bahwa apa yang Dia janjikan itu benar dan pasti [Q.s. Fathir: 4]. Karena keyakinan itulah, maka kita pun termotivasi.

Maka, Allah SWT pun berfirman, “Al-Ladzina Yu’minuna bi al-ghaibi” [orang yang meyakini yang gaib] [Q.s. al-Baqarah: 3]. Setelah keyakinan pada yang ghaib ini terbentuk dan kokoh, Allah melanjutkan firman-Nya, “Wa Yuqimuna as-shalat” [dan mendirikan shalat]. Artinya, tidak mungkin kita bisa menegakkan shalat dengan sebenar-benarnya, jika keyakinan kita pada yang ghaib itu rapuh. Begitu juga ketika Allah melanjutkan firman-Nya, “Wa Mimma razaqnahum yunfiquna” [dan membelanjakan apa yang Kami berikan kepada mereka], maka ini hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang meyakini yang ghaib.

Karena itu, keyakinan kita kepada yang ghaib, kepada Allah, Dzat dan Sifat-Nya, kepada janji-Nya, termasuk rizki, ajal, pertolongan dan kemenangan, pahala, dosa, surga dan neraka, tentu juga malaikat dan perkara ghaib yang lainnya, merupakan dasar dan kunci ketakwaan kita. Dasar yang menjadikan aktivitas kita kokoh tak tergoyahkan, meski dianggap gila, tidak masuk akal dan sebagainya.

Allah mengingatkan Nabi:
فَاصْبِرْ إِنَّ وَعْدَ اللهِ حَقٌّ، وَلاَ يَسْتَحِفَنَّكَ الَّذِيْنَ لاَ يُوْقِنُوْنَ
“Bersabarlah [Muhammad], sesungguhnya janji Allah itu benar dan pasti. Maka, janganlah sekali-kali orang-orang yang tidak meyakini [janji-Nya] itu membuatmu gelisah [tidak percaya diri]. [Q.s. ar-Rum: 60].

Keyakinan kita kepada yang ghaib, membuat pikiran kita bisa melintasi batas. Betapa tidak, ketika kita meyakini rizki di tangan Allah, maka keterbatas nominal yang ada di tangan kita tidak akan membatasi kita untuk meraih mimpi mempunyai rumah, kendaraan, menyekolahkan anak dan sebagainya. Namun, jika pikiran kita membatasi rizki dengan nominal dan angka, maka kita pun terbelenggu oleh sekat yang kita buat sendiri. Padahal, rizki Allah Maha luas, tidak seperti angka dan nominal yang kita pikirkan. Maka, dengan keterbatasan nominal di tangan, tak menyurutkan langkah kita tuk meraih mimpi yang tinggi. Karena, kita yakin dengan misteri rizki di tangan Allah yang ghaib.

Begitu juga, ketika kita yakin dengan janji Allah, bahwa Khilafah akan berdiri, dan Islam akan tegak kembali di muka bumi [Q.s. an-Nur: 55]. Keyakinan ini membuat pikiran kita bisa melintasi batas dan sekat apapun. Sekat Nasionalisme, perpecahan, perbedaan kelompok dan mazhab, lemahnya SDM, sains dan teknologi, akan bisa ditembus oleh keyakinan kita pada janji-Nya.

Keyakinan itulah yang telah menjadikan kaum Muslim di masa lalu bisa mengalahkan apapun dan siapapun, yang secara fisik dan matematis sangat sulit ditundukkan.
Mereka bisa melintasi samudera, menundukkan badai dan apapun yang secara fisik dan matematis sulit ditaklukkan, karena keyakinan mereka pada pertolongan Allah. Maka, tak ada sungai, laut dan samudera, kecuali mereka tundukkan, padahal mereka hanya menggunakan kapal layar. Tak ada radar, navigasi atau kompas. Hanya keyakinan mereka pada pertolongan Allah SWT yang membuat mereka bisa menaklukkan semuanya itu.
Sekat-sekat materi itu adalah fakta kehidupan dunia yang tampak kasat mata. Jika fakta itu membuat keyakinan kita goyah, maka itulah yang menjadi sumber petaka.

Maka, Allah pun mengingatkan:
ياَ أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ وَعْدَ اللهِ حَقٌّ فَلاَ تَغُرَّنَكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا..
“Wahai manusia, sesungguhnya janji Allah itu benar dan pasti, maka janganlah sekali-kali fakta kehidupan dunia itu menipu kalian.” [Q.s. Fathir: 5]
Karena itu, keyakinan kita kepada yang gaib harus terus dibersihkan agar mengkristal, bersih dan tak ada sedikit pun diselimuti kekaburan, sehingga bisa mengakibatkan keyakinan kita kepada yang gaib itu rapuh. Caranya, dengan selalu mendekatkan diri kepada Allah, dengan cara terus-menerus membaca, menghayati dan menerapkan kalam-Nya, yaitu al-Qur’an. Karenanya, Allah menjadikan Ramadhan, bukan hanya sebagai bulan puasa, bulan kesabaran dan bulan penuh berkah, tetapi juga bulan al-Qur’an.

Al-Qur’an yang diturunkan di bulan Ramadhan itu adalah petunjuk, penjelas dan obat penawar hati yang rapuh. Dengan selalu membaca, menghayati dan menerapkan kalam-Nya, hati dan keyakinan kita yang rapuh itu pun bisa dipulihkan. Rintangan dan tantangan apapun dalam kehidupan ini bisa kita atasi. Dunia dan seisinya pun kecil di mata kita. Karena, kita telah bersandar kepada Dzat yang Maha segalanya dan tak terbatas.

Keyakinan yang sama juga menjadi dasar dan kunci ketakwaan kita. Karena itu, kokoh dan tidaknya ketakwaan kita pun akhirnya kembali pada keyakinan kita kepada yang gaib. Semakin jelas, jernih dan mengkristal keyakinan kita pada yang gaib, maka ketakwaan kita pun semakin kokoh. Semoga kita bisa meraihnya, sehingga sempurnalah Ramadhan kita. Amin..

Sabtu, 25 Juni 2016

Kualitas Kita Ada Di Sesi Penutup



قال ابن رجب رحمه الله تعالى :
يا عباد الله  إن شهر رمضان قد عزم على الرحيل ولم يبق منه إِلّا قليل  فمن منكم أحسن فيه فعليه التمام ومن فرط فليختمه بالحسنى
                                   
Berkata Ibnu Rajab rahimahullah : "Wahai hamba-hamba Allah, sungguh bulan Ramadhan ini akan segera pergi dan tidaklah tersisa waktunya kecuali sedikit, maka siapa saja yang sudah berbuat baik di dalamnya hendaklah ia sempurnakannya dan siapa saja yang telah menyia-nyiakannya hendaklah ia menyudahinya dengan yang  terbaik"                                                                                              
قال ابن الجوزي رحمه الله :
إن الخيل إذا شارفت نهاية المضمار بذلت قصارى جهدها لتفوز بالسباق، فلا تكن الخيل أفطن منك! فإن الأعمال بالخواتيم، فإنك إذا لم تحسن الاستقبال لعلك تحسن الوداع...
                                   
Al-Imam Ibnu Al-Jauziy rahimahullah berkata :                    
"Seekor kuda pacu jika sudah berada mendekati garis finish ia akan mengerahkan seluruh tenaganya agar meraih kemenangan, maka jangan sampai kuda lebih cerdas darimu..  Karena sesungguhnya amalan itu ditentukan oleh penutupnya.. Untuk itu,  jika  kamu termasuk dari yang tidak baik dalam penyambutan, maka semoga  kamu bisa melakukan yang terbaik saat perpisahan"            

وقال ابن تيمية رحمه الله :
العبرة بكمال النهايات لا بنقص البدايات.
                                   
 Imam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :                    
"Yang akan menjadi ukuran adalah kesempurnaan akhir dari sebuah amal, dan bukan buruknya permulaan..."            

وقال الحسن البصري رحمه الله :
أحسن فيما بقي يغفر لك ما مضى، فاغتنم ما بقي فلا تدري متى تدرك رحمة الله...
                                                                         Imam Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata :                    
"Perbaiki apa yang tersisa bagimu,  maka Allah akan mengampuni atas apa yang telah lalu, maka manfaatkan sebaik-baiknya apa yang masih tersisa, karena kamu tidak tahu kapan rahmat Allah itu akan dapat diraih"      

Yaa Allah jadikanlah sebaik-baik amalanku adalah pada penutupannya.
                                       
  بارك اللّٰه فيكم وتقبل الله منا ومنكم

Selamat menikmati hidangan Allah Swt yg terbaik di "Malam 10 hari trakhir" semoga Allah takdirkan  keberuntungan di akhir perjalanan"
Taqobbalallaahu minna waninkum taqobbal yaa kariim"🙏🏼🙏🏼

Jumat, 24 Juni 2016

INSPIRASI RAMADHAN 5 : AGAR KITA MENDAPATKAN LAILATUL QADAR



Oleh: KH Hafidz Abdurrahman
[Khadim Ma’had dan Majlis Syaraful Haramain]

Tak terasa, Jum’at, 24 Juni 2016 ini, kita sudah memasuki hari ke-19 Ramadhan 1437 H. Itu artinya, malam ini kita telah memasuki sepuluh hari yang terakhir dari Ramadhan tahun ini. Tak terasa memang, tiba-tiba kita sudah memasuki sepuluh hari terakhir. Begitulah waktu. Waktu adalah kehidupan kita. Karena hidup kita hakikatnya adalah rangkaian waktu. Beruntunglah hidup kita, jika kita yang bisa mengisi rangkaian waktu kita dengan ketaatan. Sebaliknya, merugilah kita, jika rangkaian waktu itu kita sia-siakan, bahkan kita isi dengan kemaksiatan.

Maka, detik per detik, menit per menit, jam per jam, hari per hari, bulan per bulan, dan tahun per tahun adalah rangkaian waktu yang merajut hidup kita. Sungguh sayang jika rangkaian itu kita sia-siakan, bahkan kita isi dengan kemaksiatan. Terlebih, ketika detik per detik, menit per menit, jam per jam dan hari per harinya mempunyai nilai yang luar biasa. Itulah “Lailatul Qadar”.

Iya, mengapa malam itu begitu berharga dan luar biasa? Karena, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebut malam itu lebih baik daripada seribu bulan, atau 84 tahun:

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ، وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ، لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ

“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya [al-Qur’an] pada malam al-Qadar. Apakah yang Kamu ketahui tentang Lailatu al-Qadar? Lailatu al-Qadar [malam] yang lebih baik ketimbang seribu bulan.” [Q.s. al-Qadar: 1-3].

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga menyebutnya sebagai malam penuh berkah, karena malam itu diberkahi Allah:

حم، وَالْكِتَابِ الْمُبِينِ، إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُّبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنذِرِينَ، فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ، أَمْراً مِّنْ عِندِنَا إِنَّا كُنَّا مُرْسِلِينَ، رَحْمَةً مِّن رَّبِّكَ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

“Ha-mim. Demi al-Kitab [al-Qur’an] yang menjelaskan, sesungguhnya Kami telah menurunkannya di malam yang diberkahi. Sesungguhnya Kamilah yang Memberi Peringatan. Di malam [Lailatu al-Qadar] itu dirinci semua urusan yang penuh hikmah. Urusan yang besar dari sisi Kami. Sesungguhnya Kamilah yang Mengutus para rasul sebagai wujud kasih sayang Tuhanmu. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” [Q.s. ad-Dukhan: 1-6]

Ibn ‘Abbas, Radhiya-Llahu ‘anhu yang diberi gelar Nabi Sa-Llahu ‘alaihi wa Sallam sebagai Turjuman al-Qur’an [penafsir al-Qur’an], menuturkan makna ayat ini, “Di malam itu, semua urusan dunia dirinci ketentuan [takdir]-nya, dari satu tahun ke tahun berikutnya.”

Pendek kata, Lailatul Qadar adalah malam yang istimewa, penuh berkah dan diberkahi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Begitu istimewa, agung dan berkahnya malam itu, hingga nilai ketaatan di dalamnya lebih baik ketimbang 84 tahun. Saat para Malaikat yang mulia beserta Jibril turun, membawa al-Qur’an, menebar rahmat dan kedamaian hingga terbitnya Fajar [Subuh]. Saat takdir kita dari tahun ke tahun ditetapkan, di saat itulah kita ajukan “Proposal Hidup” kita kepada-Nya.

Wajar, jika Nabi Sa-Llahu ‘alaihi wa Sallam titahkan kepada kita untuk mencarinya. Baginda Sa-Llahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

اِلْتَمِسُوْهَا فِي الْعَشْرِ الآوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ.

“Carilah Lailatul Qadar di sepuluh malam yang terakhir di bulan Ramadhan.” [Hr. Bukhari]

Tak hanya menitahkan kepada kita untuk mencarinya, tetapi Baginda Sa-Llahu ‘alaihi wa Sallam juga menitahkan:

وَمَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Siapa saja yang mendirikan Lailatul Qadar dengan penuh keimanan, dan hanya mengharap ridha dan pahala [dari Allah ‘Azza wa Jalla], maka dosa-dosa dia yang lalu pasti akan diampuni [oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala].” [Hr. Bukhari dan Muslim]

Nabi Sa-Llahu ‘alaihi wa Sallam juga mencontohkan, bagaimana menghidupkan Lailatul Qadar. Dalam hadits Abi Sa’id al-Khudri Radhiya-Llahu ‘anhu, dituturkan bahwa Baginda Sa-Llahu ‘alaihi wa Sallam telah melakukan i’tikaf, dan menitahkan siapa saja di antara para sahabatnya yang ingin melakukan i’tikaf, hendaknya tidak meninggalkan i’tikafnya.

Dalam riwayat ‘Aisyah Radhiya-Llahu ‘anha, ketika telah memasuki sepuluh hari terakhir, Nabi Sa-Llahu ‘alaihi wa Sallam mengencangkan sarungnya, menghidupkan malamnya, dan membangungkan keluarganya. Nabi Sa-Llahu ‘alaihi wa Sallam pun menghidupkannya dengan shalat, doa, tilawah al-Qur’an dan ketaatan yang lainnya. Meski dalam riwayat lain, Nabi Sa-Llahu ‘alaihi wa Sallam telah melakukan Penaklukan Kota Makkah juga tanggal 20 Ramadhan 8 H.

Begitulah, Nabi Sa-Llahu ‘alaihi wa Sallam dan para sahabat Ridhwanu-Llah ‘alaihim menghidupkan Lailatul Qadar. Sebagian ulama’ memilih memperbanyak doa, ketimbang yang lain. Karena begitu berharganya malam itu, sehingga saat itulah mereka mengajukan Proposal Hidup mereka. Sufyan at-Tsauri Rahimahu-Llah berkata:

الدُّعَاءُ فِي تِلْكَ اللَّيْلَةِ أَحَبَّ إِليَّ مِنَ الصَّلاَةِ، قَالَ: وَإِذَا كَانَ يَقْرَأُ وَهُوَ يَدْعُوْ وَيَرْغَبُ إِلَى الله فِي الدُّعَاءِ وَالْمَسْأَلَةِ لَعَلَّهُ يُوَافِقُ.

“Berdoa di malam [Lailatul Qadar] itu lebih aku sukai ketimbang shalat. [Beliau berkata] Jika sedang membaca al-Qur’an, beliau pun sambil berdoa dan berharap kepada Allah dalam doanya, dan pintanya, semoga Dia menyetujui [mengabulkannya].”

Di antara doa-doa yang terbaik, selain yang telah dicontohkan oleh Nabi Sa-Llahu ‘alaihi wa Sallam untuk dibaca di malam penuh berkah ini, adalah doa yang diperuntukkan untuk kebaikan Islam dan umatnya. Setelah itu, baru doa untuk kemaslahatan pribadi dan keluarga.

Semoga kita bisa mendapatkan kemuliaan, keagungan dan keistimewaannya. Semoga apa yang menjadi hajat kita dikabulkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla.

Bogor, 24 Juni 2016 M
19 Ramadhan 1437 H

Rabu, 22 Juni 2016

INSPIRASI RAMADHAN 4 : MENGAPA HATI KITA TAK TERGUGAH DENGAN AL QUR'AN



Oleh: KH Hafidz Abdurrahman

(Khadim Majlis-Ma’had Syaraful Haramain)

Al-Qur’an adalah firman Allah. Ketika al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. ia bukan hanya untuk baginda, tetapi juga untuk para sahabat, kita, dan seluruh umat manusia. Al-Qur’an memang benar-benar diturunkan kepada manusia, untuk menjadi petunjuk [hudan], kabar gembira [busyra], obat [syifa’] dan sebagai bentuk kasih sayang [rahmat] Allah kepada kita.

Sayang, semuanya itu kadang tak membuat kita tersentuh, apalagi luluh, menggigil dan bersimpuh kepada-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala sampai berfirman:

لَوْ أَنْزَلْنَا هَذَا الْقُرْآنَ عَلَى جَبَلٍ لَرَأَيْتَهُ خَاشِعًا مُتَصَدِّعًا مِنْ خَشْيَةِ اللهِ، وَتِلْكَ الأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ

“Andai saja Kami turunkan al-Qur’an ini kepada gunung, pasti Engkau akan melihatnya [gunung itu] tunduk dan hancur lebur, karena takut kepada Allah. Begitulah contoh-contoh itu kami gunakan untuk manusia, agar mereka berpikir.” [Q.s. al-Hasyr: 21]

Gunung saja, yang tidak diberi akal, seandainya al-Qur’an diturunkan kepadanya pasti tunduk dan hancur lebur, mengapa manusia yang diberi akal, hati dan perasaan tidak mau tunduk, menggigil dan bersimpuh? Malaikat, yang diberi akal dan perasaan pun iri kepada kita, karena al-Qur’an tidak diturunkan kepada mereka. Wajar, jika sampai mereka mencuri-curi dengar bacaan al-Qur’an yang kita baca. Maka, pantas saja jika Allah sampai menyatakan begitu rupa tentang manusia yang akal, hati dan perasaannya tak tersentuh oleh al-Qur’an, yang disebut hatinya mengeras seperti batu, bahkan lebih keras ketimbang batu.

Pertanyaannya, apa yang sebenarnya menghalangi akal, hati dan perasaan manusia tersentuh dengan al-Qur’an?

Dalam kitabnya, al-Fawaid, Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah rahimahu-Llah memberikan jawaban. Ketika kita mendengarkan al-Qur’an dibaca, maka bukalah telinga, hati dan pikiran kita, lalu simaklah baik-baik setiap kata, kalimat dan ayat yang dibaca. Hadirkanlah pikiran dan kesadaran kita, dan bayangkanlah bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala sedang berbicara dengan kita dan menyeru kita. Hadirkanlah Dzat yang Maha Berbicara itu di hadapan Anda, niscaya kita akan khusyu’, dan tak berkutik. Begitulah yang dialami sahabat Nabi Sa-Llahu ‘alaihi wa Sallam, hingga ada di antara mereka ketika dibacakan al-Qur’an, minimal hatinya bergetar, menangis, bahkan ada yang pingsan.

Begitu juga ketika kita membacanya. Hadirkanlah hati, pikiran, kesadaran dan perasaan kita, bahwa yang kita baca bukanlah ucapan manusia, tetapi firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, kekasih abadi kita. Begitulah, para sahabat dahulu memandang al-Qur’an. Al-Qur’an, menurut al-Hasan, dipandang oleh mereka layaknya surat cinta yang datang dari Sang Kekasih, Allah ‘Azza wa Jalla. Maka wajar, jika mereka pun membacanya dengan penuh cinta, di kala duduk, berbaring dan berdiri.

Dengan membuka mata, telinga, hati, pikiran dan perasaan kita, kemudian semuanya difokuskan untuk menerima dan mencerna kandungan firman-Nya, pasti hati, pikiran dan perasaan kita pun akan hanyut dalam kedahsyatan kata, kalimat dan ayat-ayat-Nya. Begitulah al-Qur’an. Allah Subhanahu wa Ta’ala pun berfirman:

إِنَّ فِي ذَلِكَ لَذِكْرَى لِمَنْ كَانَ لَهُ قَلْبٌ أَوْ أَلْقَى السَّمْعَ وَهُوَ شَهِيْدٌ

“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar menjadi peringatan bagi orang yang mempunyai hati, atau menggunakan pendengarannya, sedangkan dia menyaksikannya.” [Q.s. Qaf: 37]

Mempunyai mata dan telinga, akal, hati, pikiran dan perasaan tidak ada artinya, dan tidak akan bisa menjadikan al-Qur’an sebagai peringatan, jika semuanya itu tidak hadir dan digunakan untuk mencerna, memahami dan menghayati isinya.

Karena itu, al-Qur’an diturunkan kepada kita untuk dibaca, didengarkan bacaannya, dihapal, dipahami, dihayati dan diamalkan isinya, serta ditegakkan hukum-hukumnya. Itulah hak-hak al-Qur’an yang harus kita tunaikan. Jika tidak, kita pun akan menjadi orang-orang yang diadukan oleh Rasul kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Dan Rasul itu pun berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku telah menjadikan al-Qur’an ini ditinggalkan.” [Q.s. al-Furqan: 30]

Meninggalkan al-Qur’an, ketika al-Qur’an tidak pernah dibaca; ketika dibaca tetapi tidak dipahami maknanya; ketika dibaca dan dipahami maknanya, tetapi tidak diamalkan isinya, dan tidak ditegakkan hukum-hukumnya. Itulah, menurut Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, makna “Ittakhadzu hadza al-Qur’an mahjura” [Mereka menjadikan al-Qur’an ini ditinggalkan].

Semoga kita tidak termasuk di antara mereka yang diadukan oleh Rasulullah Sa-Llahu ‘alaihi wa Sallam kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Selasa, 14 Juni 2016

INSPIRASI RAMADHAN 1: “RAMADHAN BULAN AGUNG NAN BERKAH”


Oleh: KH Hafidz Abdurrahman
[Khadim Majlis-Ma’had Syaraful Haramain]
Dalam kitab Shahih ibn Huzaimah, dituturkan, bahwa Nabi saw. berkhutbah di malam 1 Ramadhan. Dalam khutbahnya, Nabi saw. bersabda:
ياَ أَيُّهَا النَّاسُ، قَدْ أَظَلَّكُمْ شَهْرٌ عَظِيمٌ شَهْرٌ مُبَارَكٌ، فِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ، فَرَضَ اللَّهُ صِيَامَهُ وَجَعَلَ قِيَامَ لَيْلِهِ تَطَوُّعًا، فَمَنْ تَطَوَّعَ فِيهِ بِخِصْلَةٍ مِنَ الْخَيْرِ كَانَ كَمَنْ أَدَّى فَرِيضَةً فِيمَا سِوَاهُ، وَمَنْ أَدَّى فِيهِ فَرِيضَةً كَانَ كَمَنْ أَدَّى سَبْعِينَ فَرِيضَةً، وَهُوَ شَهْرُ الصَّبْرِ، وَالصَّبْرُ ثَوَابُهُ الْجَنَّةُ، وَهُوَ شَهْرُ الْمُوَاسَاةِ، وَهُوَ شَهْرٌ يُزَادُ رِزْقُ الْمُؤْمِنِ فِيهِ، مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ عِتْقُ رَقَبَةٍ وَمَغْفِرَةٌ لِذُنُوبِهِ.
“Wahai manusia, kalian telah dinaungi bulan yang agung, bulan penuh berkah. Di dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Allah mewajibkan puasa di siang harinya, dan menjadikan malam harinya untuk ibadah tambahan [tathawwu’]. Siapa saja yang menambah amalan sunah, dengan satu kebaikan, maka dia sama dengan menunaikan satu fardhu di luar bulan itu. Dan, siapa saja yang menunaikan satu fardhu di dalamnya, maka dia sama dengan menunaikan tujuh puluh fardhu di luar bulan itu. Ia [Ramadhan] adalah bulan sabar. Sabar pahalnya surga. Ia juga bulan pelipur lara. Bulan, dimana rizki orang Mukmin ditambahkan di dalamnya. Siapa saja yang memberi buka puasa kepada orang yang berpuasa, maka dia mendapatkan pahala membebaskan budak, dan ampunan dari dosa-dosanya.” [Hr. Ibn Huzaimah]
Mari kita renungkan sabda Nabi yang menyatakan, bahwa Ramadhan adalah “Syahrun ‘adhim” [bulan yang agung]. Sifat ini disematkan oleh Nabi kepada Ramadhan, karena keagungan yang ada di dalamnya. Ramadhan memang benar-benar agung. Ketika Nabi saw. menyebutnya dengan “Syahrun ‘adhim” [bulan yang agung], selain untuk menyadarkan kita, bahwa Ramadhan memang benar-benar agung dan mulia, maka di balik sabda Nabi itu juga ada perintah. Perintah untuk mengisi bulan agung nan mulia itu dengan pekerjaan dan aktivitas yang agung dan mulia. Bukan pekerjaan dan aktivitas yang remeh, ecek-ecek, apalagi hina.
Betapa tidak. Jika kita mengisi Ramadhan dengan pekerjaan dan aktivitas yang remeh, ecek-ecek, apalagi hina, tentu bertentangan dengan keagungan dan kemuliaan Ramadhan. Tentu ini tidak sesuai dengan maksud dari sabda Nabi saw. di atas. Lalu, apa ukuran pekerjaan dan aktivitas yang remeh, ecek-ecek, dan hina, dan harus kita jauhi dan tinggalkan di bulan Ramadhan?
Pekerjaan dan aktivitas yang remeh dan ecek-ecek tentu berbeda dengan pekerjaan dan aktivitas yang hina. Pekerjaan dan aktivitas yang remeh dan ecek-ecek itu merupakan perbuatan yang mubah, tetapi tidak ada manfaatnya, baik bagi diri, keluarga, masyarakat apalagi umat dan agamanya. Menghabiskan waktu di depan televisi, smartphone, belanja dan sebagainya adalah perbuatan mubah, tetapi tidak sedikit yang tidak membawa manfaat. Bahkan, kadang hanya menghabiskan waktu. Bahkan, tidak jarang melalui jaringan facebook, twitter dan lain-lain, bukan hanya kata-kata kotor, berita bohong, tetapi juga gambar dan tayangan yang merusak masuk ke ruang pribadi kita. Semuanya itu bisa menyita waktu dan kesibukan kita untuk melakukan pekerjaan dan aktivitas yang hina, dan dihinakan. Na’udzubillah..
Karena itu, Ramadhan harusnya kita isi dengan pekerjaan dan aktivitas yang agung dan mulia. Semua pekerjaan dan aktivitas yang wajib dan sunah kita kerjakan. Pekerjaan dan aktivitas yang makruh dan mubah, sebisa mungkin kita tinggalkan. Begitu juga yang syubhat. Semuanya itu bagian dari keagungan dan kemuliaan yang harus kita wujudkan di bulan yang agung dan mulia ini. Meski level pekerjaan dan aktivitas yang mulia dan agung itu juga berbeda. Pekerjaan dan aktivitas yang wajib dan sunah untuk kemaslahatan umat dan agamanya, tentu jauh lebih agung dan mulia dibanding pekerjaan dan aktivitas yang sama untuk kemaslahatan pribadi dan keluarga.
Karena itu, dakwah, jihad dan perjuangan untuk Islam dan umatnya banyak dilakukan oleh Nabi saw. dan para sahabatnya di bulan Ramadhan, nan agung dan mulia ini. Desatemen pertama yang dikirim oleh Nabi dilakukan di bulan Ramadhan, tahun 1 H. Perang Badar Kubra, dilakukan oleh Nabi saw. dan para sahabat tanggal 17 Ramadhan 2 H. Penaklukan Kota Makkah, dilakukan oleh Nabi saw. dan para sahabat juga di bulan Ramadhan, tepatnya tanggal 20 Ramadhan 8 H. Begitu juga, Perang Tabuk, “Jaisy ‘Usyrah” [pasukan sulit]-nya diberangkatkan dari Madinah ke Tabuk bulan Sya’ban, dan mereka menghabiskan sebagian Ramadhan dalam perjalanan.
Dakwah, jihad dan perjuangan untuk Islam dan umatnya adalah pekerjaan dan aktivitas yang agung dan mulia. Karena aktivitas ini bukan hanya untuk kemaslahatan pribadi dan keluarga, tetapi untuk kemaslahatan Islam dan umatnya. Tanpa dakwah dan jihad orang Kafir tidak akan mendapatkan hidayah, sehingga bisa melihat cahaya Islam, dan memeluknya. Karena itu, pahalanya pun luar biasa. Menghadirkan hidayah kepada satu orang, kata Nabi, pahalanya lebih baik daripada unta merah, bahkan lebih baik ketimbang dunia dan seisinya. Begitulah keagungan dan kemuliaan aktivitas dakwah, jihad dan perjuangan untuk Islam dan umatnya.
Hari ini, ketika umat tidak berdaya dan lemah, karena tidak mempunyai negara yang membela kehormatan dan keagungan Islam dan umatnya, maka perjuangan untuk menegakkan syariah dan Khilafah juga merupakan taj al-furudh [mahkota kewajiban], karena seluruh kewajiban dan kesunahan tegak dan tidaknya bermuara ke sana. Maka, berjuang untuk menegakkan syariah dan Khilafah juga merupakan pekerjaan dan aktivitas yang agung dan mulia, yang harus dilipatgandakan kuantitas dan kualitasnya di bulan yang agung dan mulia ini.
Semoga kita bisa mengisi Ramadhan yang agung dan mulia ini dengan pekerjaan dan aktivitas yang agung dan mulia, dan meninggalkan serta menjauhi sejauh-jauhnya pekerjaan dan aktivitas yang remeh dan hina dina. Semoga, kita meraih Ramadhan tahun ini dengan nilai yang sempurna, dengan pekerjaan dan aktivitas yang agung dan mulia yang kita torehkan di dalamnya.
Dengannya, kelak kita dipertemukan oleh Allah SWT di dalam jannah-Nya, “ar-Rayyan” bersama kekasih kita, Muhammad saw. dan para sahabatnya. Amin..
02 Ramadhan 1437 H
07 Juni 2016 M

INSPIRASI RAMADHAN 2: “RAMADHAN, TAKWA DAN CITA-CITA AGUNG”


Oleh: KH Hafidz Abdurrahman
[Khadim Majlis-Ma’had Syaraful Haramain]
Nilai manusia, kata Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, ditentukan oleh apa yang dia cari. Karena itu, apa yang kita cari mencerminkan siapa kita, dan kedudukan kita. Apa yang kita cari, besar, kecil, agung, remeh, ecek-ecek dan hina itu pula yang mencerminkan diri kita. Maka, orang yang berjiwa besar akan bercita-cita dan mencari hal-hal besar. Orang yang berjiwa kerdil, akan bercita-cita dan mencari hal-hal kecil. Begitu juga orang yang agung dan mulia, akan akan bercita-cita dan mencari hal-hal yang agung dan mulia. Sebaliknya, orang yang rendah dan hina, akan bercita-cita dan mencari hal-hal yang murahan dan hina.
Syaikh Al-‘Affani dalam, Ruhban al-Lail wa Farsanan an-Nahar, menuturkan kisah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz. Saat kekuasaan tertinggi, dan teragung di kolong langit dan bumi dalam genggamannya, saat beliau menjadi Amirul Mukminin, salah seorang Khulafa’ Rasyidin yang adil, tak lantas membuatnya bangga, dan cukup. Karena ada cita-cita yang lebih tinggi dan mulia dari apa yang ada dalam genggamannya. Cita-cita mendapatkan ridha Allah SWT. Bahkan, tiap malam beliau pun harus terjaga, munajat dan menangis ke haribaan Rabb-nya. Itulah sosok yang memiliki jiwa yang tinggi dan agung.
Sosok yang berjiwa tinggi dan agung, dengan cita-cita luhur dan agung itu tidak lahir dengan sendirinya, tetapi dia harus dibentuk dan dilahirkan. Lalu, apa pondasi dan bekal terpenting dari semuanya itu? Jawabannya, adalah takwa. Takwa digambarkan oleh Sayyidina ‘Ali, karrama-Llahu wajhah, dengan empat karakter: al-khauf min ar-Rabb al-Jalil [takut kepada Rabb yang Maha Agung], al-‘amal bi at-tanzil [menjalankan al-Qur’an/hukum yang diturunkan Allah], ar-ridha bi al-qalil [ridha meski terhadap yang sedikit], dan al-isti’dad li yaum al-rahil [bersiap menghadapi Hari Penggiringan]. Inilah karakter orang yang bertakwa, menurut menantu dan saudara sepupu Nabi saw. itu.
Hanya saja, kunci dan pangkal ketakwaan itu dijelaskan oleh Allah SWT dalam al-Qur’an:
الَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِالْغَيْبِ، وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلاَةَ، وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُوْنَ..
“[Orang-orang yang bertakwa] adalah mereka yang mengimani yang gaib, mendirikan shalat dan membelanjakan apa yang telah Kami anugerahkan kepada mereka.” [Q.s. al-Baqarah: 3]
Allah mendahulukan keyakinan kepada yang gaib, sebelum menunaikan shalat dan membelanjakan harta, karena keyakinan kepada yang gaib ini adalah kuncinya. Karena keyakinan kepada yang gaib ini adalah pondasinya. Tanpanya, tidak mungkin mereka bisa mendirikan shalat, dan membelanjakan hartanya. Keyakinan kepada yang gaib, tentang Allah yang Maha Tahu, Melihat dan Berjanji memberikan pahala dan surga itulah yang mendorong mereka meski dengan berat akhirnya mendirikan shalat. Begitu juga orang yang berinfak, meski dengan berat, akhirnya sanggup dia kerjakan, karena keyakinannya bahwa Allah Maha Tahu, Melihat dan Berjanji akan membalasnya.
Keyakinan kepada yang gaib itulah yang membuat ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz tidak silau dengan kekuasaan, dan jabatan tertinggi yang ada dalam genggamnya. Jabatan mentereng, dan kedudukan yang tinggi di dunia itu pun tidak membuatnya lupa diri. Karena keyakinannya kepada yang gaib, bahwa di sana ada Allah yang ridha-Nya lebih dari segalanya. Tidak ada artinya kedudukan dan jabatan yang tinggi dan agung itu dalam genggaman, jika Allah tidak ridha. Itulah sosok manusia yang berjiwa agung dan tinggi. Mata dan hatinya bisa menembus dinding “dhahir kehidupan dunia” yang tebal, entah itu anak, isteri, gaji dan jabatan, termasuk pujian kawan, dan acaman musuh.
Keyakinan kepada yang gaib inilah yang ditanamkan oleh Allah SWT kepada Nabi saw. Keyakinan yang sama kemudian ditanamkan Nabi saw. kepada para sahabat, ridhwanu-Llah ‘alaihim. Keyakinan kepada yang gaib inilah yang membuat Abu Bakar radhiya-Llahu ‘anhu berani bertaruh dengan orang Kafir Quraisy, saat Emperium Persia mengalahkan Emperium Romawi, bahwa setelah ini Emperium Romawilah yang akan menang, sekaligus meyakini kemenangan kaum Muslim atas orang Kafir Quraisy. Allah SWT pun membenarkan keyakinan Abu Bakar, dengan menurunkan Q.s. ar-Rum 1-2 kepada Nabi saw. Kalau bukan karena keyakinannya kepada yang gaib, mustahil Abu Bakar bisa melakukannya.
Keyakinan kepada yang gaib inilah yang kini terkikis dari umat Islam. Akibatnya, mereka silau dengan yang dhahir. Karena terkikisnya keyakinan kepada yang gaib itu, mereka pun silau dengan penguasa dan sistem non-Islam. Mereka pun silau dengan kedikdayaan modal, media dan jaringan cukong dan mafia, saat yang sama mereka melupakan sandaran hakikinya, Allah SWT. Padahal, ketika mereka kalah secara materi, satu-satunya kekuatan mereka justru ada pada keyakinannya kepada yang gaib. Tetapi, sayangnya itu pun tidak ada. Akibatnya, mereka pun tetap terbelenggu “perbudakan” penjajah dan antek-anteknya.
Saat Papua, dengan tambang emas terbesarnya di dunia, dan lebih 90 persen sumber Migas negerinya dikangkangi oleh negara adidaya, seolah umat di negeri ini pun tak berdaya. Menyerah, dan tak sanggup berbuat apa-apa, selain pasrah. Semuanya ini karena hilangnya keyakinan kepada yang gaib, keyakinan bahwa daya dan kekuatan itu milik Allah, la haula wa la quwwata illa bi-Llah, bukan milik negara adidaya. Akibatnya, keadidayaan negara penjajah itu lebih mereka takuti ketimbang keMahaadidayaan Allah SWT. Karena itu, kita pun menjadi bangsa dan umat yang kerdil, hina dan terus terjajah.
Maha Besar Allah yang telah menetapkan puasa di bulan Ramadhan dengan hikmah takwa. Hikmah yang mestinya tiap tahun bisa diraih oleh umat Islam setelah menunaikannya. Andai saja takwa, kunci dan pondasinya, yaitu keyakinan kepada yang gaib, serta empat karakternya, sebagaimana yang dijelaskan oleh orang yang paling dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya itu bisa diraih dengan sempurna, umat Islam hari ini akan menjadi umat yang tinggi dan mulia. Umat terbaik sebagaimana generasi sebelumnya.
Semoga hikmah takwa ini bisa kita raih di bulan Ramadhan yang agung dan mulia ini dengan sempurna. Dengannya, semoga kita dikembalikan oleh Allah SWT menjadi umat yang mulia, agung dan terbaik sebagaimana generasi sebelum kita. Maka, inilah momentum yang sangat tepat untuk mengembalikan kemuliaan, keagungan dan ketinggian jiwa kita. Kemuliaan, keagungan dan ketinggian yang terbentuk karena mata dan hati kita mampu menembus tebalnya dinding “dhahir kehidupan dunia”.
Semoga kemuliaan dan keagungan Ramadhan benar-benar meninggikan derajat kita, dengan cita-cita kita yang tinggi dan mulia, dengan pekerjaan dan aktivitas agung yang kita torehkan di dalamnya. Amin..
04 Ramadhan 1437 H
09 Juni 2016 M

INSPIRASI RAMADHAN-3: "KETIKA TIGA KEKUATAN MENYATU DI BULAN RAMADHAN"


Oleh: KH Hafidz Abdurrahman
[Khadim Majlis-Ma’had Syaraful Haramain]
Ditetapkannya Ramadhan oleh Allah sebagai moment untuk mewujudkan misi agung yang krusial dua kali pada zaman Nabi saw. bukan tanpa alasan. 17 Ramadhan 2 H ditetapkan sebagai Yaum al-Furqan [Hari Penentuan], moment Perang Badar Kubra, yang menentukan kalah dan menangnya Islam. Jika kaum Muslim kalah, maka kaum Muslim pun habis, dan Islam pun tak akan ada lagi. Ini moment krusial pertama.
Betapa krusialnya moment ini tampak dari doa yang dipanjatkan oleh Nabi saw. di malam Perang Badar Kubra itu. Ketika Nabi saw. berdoa, dengan nada “mengancam” Allah SWT:
اللَّهُمَّ إِنْ تَهْلِكْ هَذِهِ الْعِصَابَةُ لَنْ تُعْبَدَ بِكَ مِنْ بَعْدُ أَبَدًا
“Ya Allah, jika kelompok [yang sedikit ini] kalah, maka setelah ini, Engkau tak akan pernah lagi disembah.”
Doa ini dipanjatkan oleh Nabi saw. di tengah malam, diulang-ulang, dengan tubuh bergetar, hingga surban yang ada di pundak sebelah kanan Nabi pun terjatuh ke tanah. Surban itu diambil oleh Abu Bakar. Abu Bakar yang ketika itu ada di belakang Nabi pun merinding, bulu kuduknya pun berdiri, mendengarkan doa Nabi yang dahsyat itu, sampai akhirnya Abu Bakar berkata kepada Nabi saw, “Cukup. Cukup, ya Rasulullah. Allah telah mendengar doamu.”
Moment krusial yang kedua juga ditetapkan oleh Allah untuk diwujudkan di bulan Ramadhan yang agung ini. Tepatnya, 20 Ramadhan 8 H, ketika Nabi bersama 10,000 sahabat melakukan Penaklukan Kota Makkah. Makkah bukan hanya tempat Baitullah, yang menjadi perhatian dunia, tetapi Makkah juga ibukota Emperium Arab, Quraisy. Ketika ibukota Emperium Arab, Quraisy ini jatuh ke tangan kaum Muslim, maka seluruh Jazirah Arab pun berbondong-bondong menyatakan ketundukannya kepada Negara Islam di Madinah, yang dipimpin oleh Nabi saw.
Betapa tidak, setelah peristiwa Penaklukan Kota Makkah [Ramadhan 8 H], yang diikuti dengan Perang Hunain [Syawal 8 H], Nabi saw. kembali ke Madinah setelah terlebih dahulu melaksanakan umrah. Maka, tahun 9 H, ada 70 kabilah dan suku dari seluruh Jazirah Arab menghadap Nabi saw. di Madinah, sehingga tahun itu Nabi saw. tidak bisa menunaikan ibadah haji. Nabi menunjuk Abu Bakar sebagai Amirul Haj. Setelah Abu Bakar berangkat, Q.s. at-Taubah turun kepada Nabi, yang dimulai tanpa Basmalah, tetapi kalimat yang tegas, “Bara’atun mina-Llahi wa Rasulihi [Allah dan Rasul-Nya berlepas diri..]” menandai tak ada lagi kompromi dengan kekufuran.
Inilah dua misi krusial yang benar-benar luar biasa; Perang Badar Kubra, dan Penaklukan Kota Makkah. Semuanya dilakukan oleh Nabi saw. atas titah Allah SWT di bulan Ramadhan. Lalu, mengapa Ramadhan dipilih oleh Allah untuk mewujudkan misi krusial tersebut?
Iya, Allah SWT memang tidak memberikan alasan, tetapi setidaknya jawaban atas pertanyaan tersebut bisa dinalar, baik dari hadits Nabi saw. maupun ungkapan para sahabat.
Pertama, Ramadhan adalah moment ketaatan, dimana ketaatan seorang Muslim sedang dalam puncaknya. Terlebih, ketika mereka hidup dalam kehidupan Islam dalam seluruh aspek kehidupannya, di saat negara menerapkan syariat Islam secara kaffah. Ketaatan inilah yang menjadi sumber kekuatan dan kemenangan kaum Muslim dalam menghadapi musuh-musuhnya. Inilah yang dinyatakan oleh ‘Umar bin al-Khatthab radhiya-Llahu ‘anhu:
وَإِنْ لَمْ نُغَالِبْهُمْ بِطَاعَتِنَا، غَلَّبُوْنَا بِقُوَّتِهِمْ..
“Jika kita tidak bisa mengalahkan mereka dengan ketaatan kita, maka mereka pasti akan mengalahkan kita dengan kekuatan mereka.”
Ketaatan inilah yang menjadi sumber kekuatan dan kemenangan pasukan kaum Muslim saat Perang Badar Kubra, dan Penaklukan Kota Makkah. Sebaliknya, ketidaktaatan telah menjadi sumber kelemahan dan kekalahan mereka saat Perang Uhud. Saat pasukan pemanah yang ditugaskan menempati Jabal Rumat tidak menaati titah Nabi saw.
Kedua, kekuatan doa orang-orang yang berpuasa, yang dinyatakan sendiri oleh Nabi saw:
ثَلاَثَةٌ لاَ تُرَدُّ دَعْوَتُهُمْ: الصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ
“Ada tiga orang yang doanya tidak akan ditolak [tidak dipenuhi oleh Allah]: Orang yang berpuasa hingga dia berbuka..” [Hr. Ahmad dan at-Tirmidzi dari Abu Hurairah]
Doa-doa mereka tidak akan ditolak oleh Allah. Doa-doa mereka bisa membelah langit dan menggoncang singgasana Allah, sehingga Allah SWT tak kuasa, kecuali mengabulkannya. Itulah doa-doa orang yang berpuasa.
Jika dua kekuatan ini; kekuatan ketaatan dan kekuatan doa orang-orang yang berpuasa menyatu, dan digunakan untuk mewujudkan misi agung, sebagaimana yang dititahkan oleh Allah dan Rasul-Nya, maka dua kekuatan ini akan mengundang kekuatan ketiga, yaitu pertolongan Allah SWT. Allah pun menyatakan:
وَكَانَ حَقًّا عَلَيْنَا نَصْرُ الْمُؤْمِنِيْنَ
“Kami selalu berkewajiban untuk menolong orang-orang yang beriman.” [Q.s. ar-Rum: 47].
Ketika ketiga kekuatan ini menyatu pada diri kita di bulan Ramadhan, maka tak ada misi agung yang tidak bisa diwujudkan. Inilah ketiga kekuatan yang harus kita sadari, dan kita satukan dalam diri kita, dan umat Nabi Muhammad saw. Ketiga kekuatan yang menjadi senjata kita untuk kembali meraih kemenangan, kejayaan dan kesuksesan.
Semoga kita senantiasa bisa menjaganya.
Bogor, 09 Ramadhan 1437 H
14 Juni 2016 M

Dari Ji'ranah Kita Belajar Mengelola Kecewa

Di Ji’ranah hari itu ada kecewa. Ada kebijakan Rasulullah yang tak dipahami.

Ada keputusan yang disalahmengerti. Sangat manusiawi kelihatannya. Orang-orang Anshar merasa disisihkan selepas perang Hunain yang menggemparkan.

Mereka telah berjuang total. Mereka berperang di sisi Rasul dengan penuh kecintaan. Tapi, harta rampasan perang lebih banyak dibagikan pada orang-orang Quraisy dan kabilah-kabilah Arab lainnya. Sementara pada mereka, seakan hanya memperoleh sisa.

Padahal, semua orang tahu, sebagaimana Rasul pun juga mengetahuinya: merekalah yang berjuang dengan sepenuh iman ketika orang-orang Quraisy dan kabilah Arab itu lari tunggang langgang pada serangan pertama pasukan Malik bin Auf An-Nashry.

Maka, hari itu di Ji’ranah, ada yang kasak-kusuk, ada yang memercikan api, “Demi Allah, Rasulullah saw telah bertemu kaumnya sendiri!” Kalimat itu jelas sarat kekecewaan.

Hari itu juga utusan Anshar, Sa’d bin Ubadah menemui Sang Rasul. Hatinya gusar. Ia ingin segera sampaikan apa yang dirasakan sahabat Anshar pada beliau. Ada yang mengganjal di hati, tapi (mungkin) mereka anggap tak layak untuk disampaikan. Sa’d bin Ubadahlah yang memberanikan diri.

“Ya Rasulullah, dalam diri kaum Anshar ada perasaan mengganjal terhadap engkau, perkara pembagian harta rampasan perang. Engkau membagikannya pada kaummu sendiri dan membagikan bagian yang teramat besar pada kabilah Arab, sementara orang-orang Anshar tidak mendapat bagian apapun.”

Kata menangkap protes itu disampaikan dengan lugas tapi tetap santun. Ada kecewa, tapi iman mereka mencegahnya dari sikap yang merendahkan. Ada ganjal di hati, tapi bukan amarah tak terkendali.

“Lalu, kamu sendiri bagaimana Sa’d?” tanya Sang Rasul.

“Wahai Rasulullah, aku tidak punya pilihan lain, selain harus bersama kaumku.” Jawab Sa’d menjelaskan perasaannya. Jujur. Apa adanya. Ia tidak menutup-nutupi bahwa dirinya juga kecewa. Rasulullah lalu meminta untuk mengumpulkan semua orang Anshar.
Pada mereka Rasul menenangkan.

“Bukankah dulu aku datang dan kudapati kalian dalam kesesatan, lalu Allah berikan kalian petunjuk?
Bukankah dulu saat aku datang kalian saling bertikai, lalu Allah menyatukan hati kalian? Bukankah dulu saat aku datang, kalian dalam keadaan miskin, lalu Allah mengayakan kalian?”
Orang-orang Anshar itu membenarkan.
Mereka memang sedang dilanda kecewa, tapi lihatlah betapa mereka memilih diam, dan tidak balik menyerang dengan kata-kata dan argumentasi yang dapat diungkapkan.

Disebabkan iman sematalah mereka bersikap hormat pada Sang Rasul, meski mereka teramat kecewa.

Saya bayangkan hari itu di Ji’ranah , para sahabat yang mengelilingi Rasulullah.
“Demi Allah, jika kalian mau kalian bisa mengatakan, ‘Engkau dulu datang kepada kami dalam keadaan didustakan, lalu kami membenarkan.
Engkau dulu datang kepada kami dalam keadaan lemah, lalu kami menolongmu.
Engkau dulu datang kepada kami dalam keadaan terusir, lalu kami memberikan tempat.
Engkau dulu datang kepada kami dalam keadaan miskin, lalu kami yang menampungmu.”

Saya bayangkan Rasul yang mulia menghela nafas sejenak...
Dapat kita rasakan kata-kata itu menggetarkan dada orang-orang yang diliputi iman itu.
Saya juga membayangkan tempat itu mendadak senyap, kecuali suara Rasulullah yang teduh.  dan akhirnya ....
Beberapa sahabat mulai menitikkan airmata.

“Apakah ada hasrat di hati kalian pada dunia?” tanya Rasulullah tanpa susulan jawab dari para sahabat. Semua terdiam.
Pertanyaan itu mengetuk sisi terdalam dari jiwa para sahabat. Jiwa yang sejak semula disemai iman.

“Padahal, dengan dunia itu aku hendak mengambil hati segolongan orang agar masuk Islam.” Rasul mulai menjelaskan alasan kebijakannya.

Saya bayangkan para sahabat Anshar yang mengangguk paham dalam diam.
“Sedangkan terkait keimanan kalian, aku sudah teramat percaya.”
Kata-kata itu begitu dalam dan jujur.

Tetes airmata tak kuasa lagi ditahan. Terlebih ketika Rasulullah melanjutkan, “Apakah kalian tidak berkenan di hati jika orang-orang lain pergi membawa onta dan domba, sementara kalian pulang bersama Rasul Allah?”

Sebuah perbandingan yang kontras.
Kesadaran itu hadir tidak tiba-tiba.
Tangis para sahabat meledak.
Jika bukan karena iman, kekuatan apa yang mampu menghadirkan kesadaran setelah kekecewaan? Sungguh, iman merekalah yang menyebabkan semua itu terjadi.

Kisah di atas teramat panjang. Dari dalamnya kita belajar bagaimana dalam komunitas kebaikan sekalipun, kekecewaan itu nyaris tak dapat dielakkan.

Setiap kita mungkin pernah kecewa.
Sebabnya bisa bermacam-macam.
Tapi sebagiannya karena kita tak persepaham dengan orang lain; apakah kelakuannya, kebijakannya, pernyataannya, perhatiannya, atau apapun. Kita pun bisa kecewa karena merasa tidak mendapat dukungan yang memadai. Kecewa itu bisa muncul dimana-mana, bahkan dalam dakwah sekalipun.

Di dalam bilik-bilik rumah bisa lahir kekecewaan. Suami kecewa pada istri atau sebaliknya, istri kecewa dengan suami. Di ruang-ruang kerja, kekecewaan dapat juga timbul. Di manapun ketika kita berinteraksi dengan orang lain, kekecewaan bisa hadir tiba-tiba.

Dalam dakwah, kecewa bisa juga tumbuh bagai ilalang. Sebabnya bisa bermacam-macam. Gagasan yang ‘dianggap’ tidak diperhatikan, selera-selera yang tak sama, kebijakan qiyadah yang tak memenuhi keinginan kita, perilaku dan tindakan ikhwah, dan yang lain.

Hanya kekuatan imanlah yang mampu menjaga kita dari penyikapan yang salah saat kecewa. Sebagian di antaranya menyikapi dengan marah, kalap, bahkan bisa juga dengan ‘mutung.’
Namun Sebagian yang lain mampu menyikapi dengan cara-cara yang lebih arif dan bijak.

Jika kecewa datang menggerogoti, periksalah kembali orientasi kita. Selialah motif kita. Periksa pula niat-niat kita dalam beramal dan beraktivitas. Inilah saat paling tepat untuk menakar motif dan orientasi kita.

Semoga pengiring atas rasa kecewa adalah sikap lapang dada, semangat beramal yang makin menggelora, keikhlasan yang mempesona, dan penghormatan pada sesama.

Jangan biarkan, kekecewaan ditanggapi dengan aktivitas yang tidak memuliakan kita.
Jangan pula sampai kekecewaan menyeret kita pada devisit iman dan juga devisit emosi.

Sedari awal, kita memilih jalan dakwah, 
bukan karena ingin selalu disenangkan... bukan .. sungguh bukan karena itu
Bukan pula hasrat untuk terus dimenangkan. Kadang tak semua hasrat hati mesti terturuti. Begitulah tabiat perjalanan ini; kesediaan untuk berjalan bersama, mesti diikuti lapang dada atas segala kecewa yang muncul menggoda.

Kita memilih jalan dakwah semata karena berharap ridha Allah. Seluruh rasa kecewa itu hanyalah liliput atas kerinduan kita yang besar atas keridlaan Allah.

Semoga Allah menjaga keistiqamahan kita dan menguatkan keikhlasan kita dalam beramal