Rabu, 16 Desember 2015

Dinamika Buletin Al Islam



***
Tak disangka, selembar Al-Islam selalu menjadi sakti manakala yang membaca sedang dalam keadaan patah hati. Ini sudah diakui oleh waktu dan dibuktikan keadaan. Tak perlu risau, karena sudah biasa, cukup hadapi dengan ringan saja. Dan tulisan kali ini hanyalah analisis dagelan yang berpura-pura sebagai penengah yang tapi akan masuk akal. xixixi

Jum’at (4/11) buletin Al-Islam mengeluarkan judul ‘Pepesan Kosong Pilkada Serentak’ yang berisi analisis hasil ramuan dari beragam data dan fakta, dan (seperti yang kita tebak) selalu diakhiri dengan seruan ‘wahai kaum muslim’ dengan ending bahwa khilafah adalah satu-satunya solusi. Ini tidak ada bedanya dengan kontinuitas gaya penulisan seperti biasanya, alur runut yang menjadi khas, dan topik-topik yang selalu kaya literasi. Namun na’as, nasib data akan selalu mentah dikalangan golongan putus cinta, dan benarlah jika saya menganut sabda mbah google:

“Hanya ada dua kemungkinan sebuah analisis ditolak. Pertama, analisis anda salah, kedua, jatuh ditangan remaja alay yang sedang patah hati sehingga terpaksa menjadi salah”

Kemudian munculah feedback yang macam-macam pasca Al-Islam edisi 783 tersebar. Tendensi perebutan kursi parpol memang menjadi sejarah yang paling mengharukan dalam peradaban bumi. Sejarah kelam yang lebih kelam pasca bangsa Viking menghentikan kekejaman, demokrasi telah jauh merekayasa beragam masalah dan membuat onar, ia berlindung dibalik gambling dan kepandiran.

Fakta rahasia buletin Al Islam

Memang, Al Islam bukanlah Tempo dengan gaya penulisan saklek terstandar, namun saya menaruh perhatian pada bulletin yang hanya selembar ini sejak 4 tahun lalu, dan hingga kini selalu menjadi bahan rujukan untuk diskusi bahkan sekedar ngobrol di warung kopi.

Hingga kini ruang yang saya berikan terhadap bulletin Al-Islam masih tetap jembar, beberapa analisis sudah cukup membuat saya puas. Pernah suatu ketika analisis terkait konflik Yaman menuai kecaman yang pada akhirnya memang persis seperti apa yang dikatakan Al-Islam. Pernah suatu ketika analisis terkait jet rusia menuai kecaman yang pada akhirnya memang juga persisi seperti apa yang dikatakan Al-Islam. Pernah suatu ketika prediksi kejatuhan Mursi menuai kecaman yang pada akhirnya memang persis seperti apa yang dikatakan Al-Islam.

Dan fakta menarik terkait Al-Islam ini adalah bahwa Al-Islam akan booming dan semakin banyak dibaca manakala ada dikalangan pembaca sedang patah hati, lalu kebetulan membaca dan lantas berkomentar nyerocos karna linglung. Inilah yang sesungguhnya terjadi, bukan masalah analisis yang ada pada Al-Islam, ini lebih pada kondisi psikis pembaca. Karena bisa dibuktikan bahwa sejak dulu gaya penulisan Al-Islam adalah kolaborasi dari beragam data, dibenturkan dengan fakta dan diproses supaya muncul solusi Islam saja. Resep dapur yang sudah bukan rahasia ini, hingga jum’at kemarin telah melahirkan edisi ke-783. Luar biasa!

Saya berani pastikan bahwa keberlanjutan Al-Islam kedepan tidak akan termakan oleh tendensi yang macam-macam, ia tidak peduli terhadap komentar massa karena Al-Islam tidak punya kepentingan materil dibalik penulisannya. Sehingga analisis akan tetap berani dan tajam, ya, ini tentu akan mengusik siapa saja yang macam-macam terhadap kehidupan.

Para pembaca patah hati

Kita hendaknya lebih khawatir dan peduli terhadap para pemirsa media yang gelagapan dikoyak badai logika yang patah, dibanding pada aktivis dan politisi yang sudah jelas kanan-kirinya. Karena dari kekhawatiran kita yang mendalam ini akan lahir suatu bentuk tindakan untuk lebih mendidik dan membimbing, salah satunya dalam pemahaman terkait bagaimana demokrasi yang jahat dan bertentangan dengan Islam. Maka tugas kita dalam mendidik adalah melenyapkan mantra syirik dengan bunyi:

“kalau umat Islam tidak ikut gambling di pemilu, orang kafir akan jadi pemimpin”
“kita harus berupaya mewarnai parlemen dengan Islam”

Dan tentu akan muncul mantra syirik lain yang diperbaharui. Namun yang pasti, penekanannya adalah pada bagaimana kemungkinan perubahan muncul sementara bangunan sistemnya tetap dipertahankan. Sehingga jelas bahwa masalah yang pokok itu bukanlah warna. Kalau kita berasumsi tugas kita hanyalah mewarnai rumah, mengecat setiap sudut ruangan agar nyaman, sementara bangunan berpondasi roboh, apa gunanya?

Sekelumit contoh di atas hanyalah terkait alur logika yang patah yang jika dijadikan madzhab pergerakan akan menyebabkan patah hati, maka tulisan ini hanya guyonan untuk lebih menyapa dan gayeng lagi dalam berdiskusi. Saya berharap dipertemukan banyak pembaca Al-Islam yang sedang patah hati sehingga saya mampu mengobati lara dengan menghilangkan tendensi. I Love you akhi…

Fanshurna Ya Allah…
Wallahu a’lam.

Aab Elkarimi Elkarimi | aktivis Burjo | Penulis buku Gerakan Menolak Sembrono


Pepesan Kosong HT Versus Pepesan Kosong PKS Piyungan


JIKA panggung dakwah kita ibarat arena peperangan, maka para pengeritik Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sedang mempraktikkan strategi yang amat mudah dibaca. Mereka tak sanggup mengenali karakter media sosial, serta di mana letak kekuatan kelompok dakwah ekstraparlemen itu. Jika serangan atas Hizbut Tahrir  terus-menerus gencar di media sosial, maka hasilnya bisa ditebak: Hizbut Tahrir semakin populer di Indonesia. Tak percaya?

000

LELAKI itu berdiri dan menyaksikan arena pertempuran. Ia memandang dua pasukan yang sedang berhadapan. Ia melihat satu pasukan sibuk melancarkan yel-yel untuk menjelek-jelekkan musuhnya. Pasukan yang satu justru diam, bermain dalam tenang, sembari mengamati gerakan lawan, kemudian setia mengawasi angin.

Lelaki itu adalah Sun Tzu (535 SM), seorang strategi perang. Melihat tingkah kedua pasukan itu, ia dengan mudahnya menebak akhir pertempuran itu. Ia melihat pasukan yang menunggu adalah pasukan yang lebih pandai menempatkan posisi. “Pemenangnya adalah pasukan yang menahan diri dari untuk menyerang musuh yang benderanya berdiri dalam posisi sempurna. Mereka tak benar-benar menunggu. Mereka setia mengawasi, sambil menyiapkan banyak ranjau. Inilah seni mempelajari kondisi. “

Dalam strategi Sun Tzu, pengenalan diri dan pengenalan musuh adalah kunci untuk memenangkan pertempuran. Mereka yang sesumbar akan lebih mudah dikalahkan. “Dia yang menang adalah dia yang mengenal musuh maupun dirinya sendiri. Dia yang tidak mengenal musuh tetapi mengenal dirinya sendiri akan sesekali menang dan sesekali kalah; Dia yang tidak mengenal musuh ataupun dirinya sendiri akan beresiko kalah dalam setiap pertempuran.”

Panggung dakwah di Indonesia laksana sebuah arena peperangan. Semua yang berkepentingan dengan umat Islam di Indonesia tengah memainkan posisi yang tengah disorot publik. Seluruh energi publik seakan ‘dipaksa’ untuk menyaksikan orkestra adu strategi serta taktik untuk memperebutkan citra positif di benak seluruh masyarakat.

Tiga hari terakhir, kehebohan di panggung dakwah itu kian memanas. Segera setelah buletin Al Islam yang dikelola Hizbut Tahrir Indonesia menerbikan edisi bertajuk Pepesan Kosong Pilkada Serentak, berbagai kecaman kepadanya secara bertubi-tubi mengalir di media sosial. Yang menarik, kecaman itu justru dilontarkan secara massif oleh mereka yang jelas-jelas beragama Islam.

Berbagai jurus serangan telah dilancarkan. Mulai dari menyebut HTI sebagai utopis, bermimpi, Wahabi, terinfiltrasi Syi’ah, menghantam dengan menyebutnya sebagai benalu di dalam NKRI, dan yang terakhir PKSPiyungan memuat tulisan Pepesan Kosong Hizbut Tahrir yang menyatakan, "Duhai.....sungguh berat perjuangan politik ummat Islam. Harus menghadapi persengkokolan kaum zionis, salibis, komunis, sepilis, syiah, dan hizbuttahrir..."

Strategi serangan ini sejatinya bermuara pada harapan bahwa HTI akan meladeninya. Namun ketika para kader HTI justru diam saja (kecuali yang tulisannya memang 'maut' seperti tulisan Aab Elkarimi dalam menanggapi PKSPiyungan), dan membiarkan para pengeritik itu berbicara sendirian, maka hasilnya akan tertebak.

Boleh jadi, publik akan lebih mengapresiasi sosok yang tenang serta fokus untuk menggapai apa yang hendak dituju. Publik akan lebih peduli pada dia yang diam, tapi setiap gerakannya selalu mengejutkan. Mereka yang sering mencemooh Hizbut Tahrir itu justru tak paham karakter media sosial. Semakin anda membicarakan satu hal, maka semakin populerlah hal tersebut. Semakin anda menyerang Hizbut Tahrir, maka semakin terkenal Hizbut Tahrir di Indonesia.

Proses ini akan berujung pada dua kemungkinan, apakah Hizbut Tahrir akan diterima ataukah dibenci. Sebab alam semesta telah mengajarkan, semakin keras lentingan sebuah bola, maka semakin keras pula pantulannya.

Ketika kader HIzbut Tahrir tak meladeni semua serangan atasnya, maka mereka semakin menunjukkan kematangannya. Mereka mendapatkan kekuatannya lewat simpati publik yang terus mengalir. Ketika ia mengabaikan semua serangan, maka ia menempatkan dirinya pada posisi yang lebih strategis. Ia semakin menyentuh hati publik sebab mengubah semua energi negatif yang mengarah ke dirinya, menjadi energi positif. Inilah yang dimaksimalkannya.

Ada banyak pakar komunikasi di media sosial. Entah kenapa, tak banyak yang memahami bahwa strategi Hizbut Tahrir itu bukanlah strategi pencitraan sebagaimana yang diajarkan dalam kelas-kelas kuliah. Kampanyenya berbiaya murah. Ia tak perlu membayar mahal untuk mengiklankan dirinya, sebagaimana yang dilakukan para calon kepala daerah peserta pilkada langsung.

Pencitraan Hizbut Tahrir ditopang oleh opini publik yang setiap saat membicarakan dirinya, terlepas dari segala pro dan kontra. Jika dipikir-pikir, strategi kampanye seperti ini lebih efektif dari miliaran rupiah iklan televisi dan baliho. Desas-desus tentang konsep dan pemikirannya, yang justru dihembuskan oleh para lawan-lawannya, bisa dikemas menjadi strategi efektif yang semakin mengokohkan namanya. Mereka yang menyerang Hizbut Tahrir melalui media sosial justru tak sadar bahwa serangan itu ibarat energi yang makin mengokohkan posisinya.

Mereka yang menyerang Hizbut Tahrir tak juga bisa mengidentifikasi bahwa kekuatan Hizbut Tahrir adalah pemikiran dan metode dakwahnya. Mereka yang hendak mengalahkan HIzbut Tahrir, pastilah paham bahwa kelompok tersebut sejatinya punya banyak ‘kelemahan’. Tapi kelompok itu justru tak hendak menutupi ‘kelemahan’nya. Ia mengakui ada kelompok dakwah sejenis dirinya yang bergerak dengan jalur kekerasan, misalnya dengan Bom Bali, bom JW Marriot, dan sederet kasus terorisme yang melibatkan umat Islam. Namun ia berhasil menunjukkan kepada orang banyak bahwa dirinya tidak sedang lari dari masalah. Ia bekerja membuat masyarakat memahami kewajiban menegakkan khilafah mestilah ditempuh tanpa kekerasan, meskipun langkah itu belum juga selesai. Positioning-nya beda dengan kelompok dakwah lain yang justru tak menyerukan khilafah karena tak ingin dituduh sebagai teroris.

Nah, bagaimanakah kiat mengalahkan HIzbut Tahrir? Mengacu pada Sun Tzu, pria itu hanya bisa dikalahkan dengan dua cara. Pertama, kenali kekuatannya. Sejauh ini, kaum sekuler bisa memahami kekuatan itu, makanya mereka tak pernah menyerang HIzbut Tahrir di media sosial. Mereka paham watak media sosial, sehingga lebih fokus pada hal-hal besar.

Kedua, kenali kekuatan sendiri, lalu pahami masyarakat. Kata Sun Tzu, “Kita tidak akan bisa menggunakan keuntungan dari alam kecuali bila kita mendapat petunjuk dari penduduk setempat.”

Makanya, jauh lebih baik jika kader Hizbut Tahrir fokus pada segala kelebihan dan kekuatan sendiri, ketimbang menghabiskan energi untuk menyerang individu orang apalagi menyerang sesama kelompok Islam. Temukan cara yang lebih cerdik untuk mengarahkan energi dan menemukan model kampanye efektif yang bisa berbicara lebih nyaring kepada banyak orang tentang harapan besar untuk negeri yang lebih baik.

Diolah dari tulisan Yusron Darmawan

Sabtu, 21 November 2015

Jumlah Besar, Aktivitas Minim



Dalam barisan da'wah ada 3 jenis kriteria:
1. Pengamat.
2. Penikmat. Gerak minim, lebih memposisikan sebagai pendengar bukan pelaku, pionir apalagi pendobrak.
3. Pejuang. Bukan sekedar menggugurkan kewajiban tapi berkorban jiwa raga.
Dampak banyak penikmat:
1. paradigma memperjuangkan Islam kurang pas. Tidak berjual beli dengan Allah. Ilmu untuk ilmu. Bukan untuk melangkah dan berjuang. Taqarrub bukan untuk melangkah dan berjuang.
2. Banyak potensi yang tersiakan padahal beban penerapan Islam tidak bisa ditanggung sebagian orang.
3. Hanya mengejar kepuasan pribadi/intelektual sendiri padahal ilmu yang dimiliki adalah untuk membangkitkan umat dan pendorong kejayaan Islam. BEKAL BERJUANG.
Padahal kalau kita hayati:
-Allah itu Thayyib hanya menerima amal yang Thayyib (Terbaik).
-Islam meminta waktu terbaik bukan sisa
-Islam meminta usia emas bukan usia renta
-Islam meminta harta terbaik
-Islam meminta waktu semangat bukan waktu malas
-Islam meminta semua untuk kelak dibalas dengan Jannah
Kalau ini tidak dilakukan maka akan menjadi Beban bagi orang lain. Bukan pejuang lagi tapi penikmat.
Bagaimana seharusnya?
1. Harus punya niat yang sungguh-sungguh, berazzam yang kokoh untuk menempuh jalan hidup Rasul SAW. Karena sebesar apapun dorongan dari luar tetap kembali pada diri sendiri.
2. Sering-sering menghisab diri. Bertanya dan jawablah sendiri sudah berapa orang yang mendapat hidayah lewat kita dalam sepekan? sudah berapa keluarga yang kita kunjungi dan da'wahi? sudah berapa malam memikirkan Islam? sudah bereaksi seperti apa dalam membela Islam? sudah seberapa optimal memenuhi hak Allah?
--Kita sendiri yang tahu sudah sejauh mana kelalaian kita hingga jangan sampai Allah mencabut nikmat ada dalam Kafilah Da'wah Syariah sehingga kita berkutat dengan masalah, diikat dengan persoalan pribadi. Hingga tidak sempat memperbaiki diri--
Clossing statement:
--Kita perlu terus menjadi orang-orang yang berjuang. Mari kita renungkan siapa yang tidak mengairi sawahnya maka tanamannya akan mati. Lanjutkan aktivitas siang dengan malam. pagi dengan sore. musim hujan dengan kemarau. kemarau dengan musim hujan. Terus berjuang tak lekang oleh waktu--
Fa idzaa faraghta fanshab

Kamis, 12 November 2015

Dakwah Hanya Bisa Dipikul Oleh Generasi Terbaik



Beban berat hanya mungkin dipikul oleh orang yg kuat & hebat. Tugas penting hanya mungkin dijalankan oleh orang pilihan.

Amanah yg utama hanya mungkin dilaksanakan oleh orang yg memiliki keutamaan.

Beban berat, tugas penting, amanah utama & taklif istimewa tak mungkin dipikul oleh orang lemah, sembarangan, berkualitas rendah/ biasa-biasa saja.

Dakwah—apalagi dakwah demi tegaknya syariah & Khilafah—adalah   beban berat, tugas penting, amanah utama & taklif istimewa dari Allah SWT kepada kita.

Dakwah ini hanya akan sukses & berhasil mencapai tujuannya jika diemban oleh orang2 yg kuat & hebat, yg memiliki keutamaan & istimewa; bukan oleh orang-orang yg lemah, sembarangan, berkualitas rendah & biasa-biasa saja.

Dakwah ini hanya mungkin berhasil mewujudkan tujuannya jika diemban oleh orang2sekelas generasi para Sahabat ra.

Di bawah kepemimpinan Rasulullah saw., para Sahabat ra. sbg generasi terbaik terbukti sukses memikul beban dakwah di Makkah hingga berhasil mendirikan Negara Islam di Madinah.

Karena itu, agar sukses dakwah hari ini sama dgn sukses dakwah yg diraih generasi Sahabat pada masa lalu, mau tak mau, para pengemban dakwah hari ini harus meng-copy paste kepribadian (syakhshiyyah) mereka;

baik dalam hal kualitas keimanan dan ketakwaan mereka, keluasan ilmu agama mereka; banyaknya amal shalih mereka; keagungan perilaku dan akhlak mereka; besarnya semangat dan ghirah dakwah mereka; serta luar biasanya pengorbanan harta dan jiwa mereka di jalan Allah SWT.

Saat para pengemban dakwah gagal meng-copy paste seluruh keteladanan generasi para Sahabat ini, dipastikan gagal pula dakwah yang mereka lakukan.

Smoga kualitas & kuantitas ibadah/ketaatan kita bisa seperti generasi sahabat minimal mendekatinya...

Smoga istiqomah dalam jalan dakwah yg mulia ini, baarokallohufiikum, SEMANGAT

Cara Kita Melihat Kegagalan



🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁🌹

Kita seringkali begitu enteng menilai sebuah kegagalan sebagai 'kegagalan', lengkap dengan komentar-komentar yang meremehkan.

Padahal, umumnya kegagalan terjadi setelah terwujudnya sebuah amal. Atau bahkan, kegagalan terjadi setelah teraihnya sekian langkah keberhasilan.

Contoh sederhana, sebuah kesebelasan sepakbola yang dikatakan gagal masuk final, atau gagal menjuarai kejuaraan piala dunia, atau seorang atlit yang dianggap gagal meraih emas di arena olympiade, lalu orang-orang dengan mudah mencibirnya.

Sesungguhnya mereka telah melewati keberhasilan yang sangat jarang mampu dilewati oleh tim atau orang selevel mereka, apalagi orang yang bukan level mereka.

Maka, meskipun raut kesedihan itu terbayang diwajah mereka karena kegagalan saat itu, sebetulnya mereka telah melewati sekian banyak kebahagiaan dari sekian panjang perjalanan hingga berhasil masuk dalam even bergengsi tersebut.

Agenda DAKWAH, jika dipandang dari sisi target-target yang diharapkan, sering berujung pada penilaian 'gagal', atau paling tidak, dinilai 'tidak memuaskan atau belum sesuai harapan'.

Hanya saja, kita sering hanya melihat dari satu sisi saja, padahal, banyak point yang dapat diambil dari sebuah usaha yang belum mencapai target yang diharapkan.

Jika kita perhatikan, dibalik apa yang dikatakan kegagalan pada sejumlah masyru' (proyek) dakwah pada level tertentu, sesungguhnya kita telah melewati sekian banyak capaian dakwah yang sekian puluh tahun lalu masih merupakan khayalan dan impian. Jika obyektif, anda bisa jadi sulit menghitung banyaknya capaian-capaian dakwah yang cukup membanggakan jika dibandingkan dengan kondisi sebelumnya.

Memang, sisi buram selalu saja ada dalam perjalanan dakwah dan tidak boleh pula diingkari. Hanya saja, jika ada sebagian orang begitu fasih menyebutkan satu persatu keburukan dalam agenda dakwah sehingga berpengaruh melemahkan langkah perjalanan, seharusnya kita lebih fasih lagi menyebutkan capaian-capaian dakwah yang dapat menyemangati langkah dalam perjalanan dan menerbitkan optimisme lebih besar.

💡🔑 Layak kita ingat, titik tekan dalam dakwah adalah 'amal' bukan 'hasil' (At-Taubah: 105).

Sebab kalau titik tekannya adalah hasil, maka Nabi Nuh dapat dianggap 'gagal', karena cuma segelintir saja yang bersedia ikut beriman bersamanya setelah 950 tahun berdakwah, bahkan termasuk anak isterinya tidak ikut beriman.

Nabi Zakaria juga dapat dianggap 'gagal' karena justeru dibunuh oleh kaumnya yang dia dakwahi. Ashahbul Ukhdud adalah kelompok yang 'gagal', karena perjuangan mereka berujung di kobaran api membara.

Namun nyatanya, Allah mengabadikan mereka dalam barisan pioner dakwah yang menjadi inspirasi para dai berikutnya.

💝Maka, ketika seorang dai selalu berada dalam arena 'amal' dan 'kerja nyata' sesungguhnya itulah kebehasilannya dalam dakwah. Perkara hasil, itu wewenang Allah yang menetapkan kapan dan dimana dia diberikan.💝

Sering terjadi dalam arena dakwah, kemenangan, Allah tentukan pada tempat dan waktu yang tidak diperkirakan. Namun yang pasti, Allah telah janjikan kemenangan bagi mereka yang berusaha dan beramal.

🔑 Yang pasti, kemenangan tidak akan Allah berikan kepada mereka yang tidak beramal.
🔑Juga yang pasti, orang yang berhasil, adalah orang yang pernah gagal dan orang gagal yang sesungguhnya adalah orang yang tidak pernah berusaha!

Kegagalan yang membuat kita terus bekerja dengan sabar untuk mencari peluang dan berharap kemenangan, jauh lebih mulia ketimbang kemenangan yang membuat kita sombong dan menghentikan langkah.

Bisa jadi, kegagalan merupakan cara Allah agar kita terus berada dalam kebaikan dan kemuliaan beramal seraya terus bersandar kepada-Nya.

Maka, langkah ini tidak boleh berhenti. Tak kan surut kaki melangkah, begitu kata sebait syair nasyid.

Medan amal begitu beragam dan luas terbentang menanti aksi kita. Sebab, surut melangkah karena sebuah agenda yang dianggap gagal, justeru lebih buruk dari kegagalan itu sendiri.

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁🌹

Allah Dulu, Kemudian Surga



Saat menengok sejarah kehidupan para Sahabat,
kita akan mendapati bahwa mereka adalah orang-
orang yang begitu antusias memenuhi seruan
menjadi penolong agama Allah. Tekad mereka
menjadi pejuang Islam dan pembela akidah telah
nyata tercatat dalam tinta emas sejarah kehidupan
ini.
Abdurrahman Ra’fat al-Basya pernah
mengumpulkan kisah-kisah para Sahabat tadi dalam
sebuah buku yang ia beri judul “65 Manusia Langit”.
Ya, manusia langit. Tidak berlebihan jika sematan
manusia langit ini diberikan kepada mereka sebab
kontribusi para sahabat tadi dalam menolong agama
Allah begitu luar biasa.
Tengoklah kisah Sahabat bernama Al-Bara’ bin
Malik al-Anshary. Mengenai beliau, Umar bin al-
Khaththab ra. bahkan pernah berkata, “Janganlah
kalian tunjuk Al-Bara’ menjadi Amir dalam pasukan
kaum muslim karena dikhawatirkan ia dapat
mencelakakan tentaranya karena ingin terus maju.”
Apa yang disebutkan Umar memang bukan tanpa
alasan. Pada peperangan Yamamah, perang antara
kaum muslim dan pasukan Musailamah al-Kadzdzab,
si nabi palsu, Al-Bara’ bin Malik ditunjuk untuk
menjadi salah satu pemimpin pasukan. Al-Bara’ pun
melihat kaumnya dan menyemangati mereka,
“Wahai semua kaum Anshar, jangan ada seorang pun
dari kalian yang kafir dengan kembali ke Madinah.
Tidak ada Madinah setelah ini bagi kalian. Yang ada
hanyalah Allah, kemudian surga!”
Kaum muslim pun maju hingga membuat Musailamah
dan pasukannya pergi ke sebuah taman yang
kemudian disebut sebagai Taman Kematian. Disebut
demikian karena banyaknya korban yang tewas di
sana pada hari itu. Musailamah dan pasukannya
berlindung di balik tingginya tembok-tembok Taman
Kematian. Mereka juga menutup pintunya sehingga
kaum muslim hanya bisa menyerang mereka dengan
panah. Melihat kesulitan yang dihadapi oleh kaum
muslim, Al-Bara’ kemudian berkata kepada
kaumnya, “Wahai kaumku, letakkanlah aku di atas
perisai. Angkat perisai itu, lalu lemparkanlah aku ke
dalam kebun!”
Sendirian, Al-Bara’ bin Malik dilemparkan masuk ke
dalam benteng. Kemunculan Al-Bara’ yang tiba-
tiba membuat musuh panik. Ia segera mencari jalan
untuk membuka pintu dari dalam, membuat jalan
bagi kaum muslim yang sudah menanti di luar
gerbang. Disebutkan, pada saat itu al-Bara’ bin
Malik terkena lebih dari delapan puluh luka di
tubuhnya. Atas izin Allah, al-Bara’ berhasil
menyelesaikan misinya dan Musailamah al-Kadzdzab
beserta semua pengikutnya tewas.
Membaca kisah ini, saya merinding. Tekadnya
menjadi penolong agama Allah terlihat jelas dalam
aksinya. Semangatnya menyambut ridha Allah
terpampang jelas melalui kata-katanya, “Yang ada
hanyalah Allah, kemudian surga!”
Menutup tulisan singkat ini, semoga apa yang
ditunjukkan oleh Al-Bara’ bin Malik bisa menjadi
teladan bagi kita semua. Tentu, jika kita ingin
mengembalikan kejayaan Islam di muka bumi ini,
kualitas perjuangan kita tak boleh kalah dengan
para Sahabat. Usaha kita menjadi penolong agama
Allah juga tak boleh kalah daripada yang
ditunjukkan oleh para pendahulu kita. Saudaraku,
mari kita ingat, bahwa dalam jalan dakwah ini,
yang ada hanyalah Allah, kemudian surga.

Sabtu, 07 November 2015

Cinta...Maasyaa Allah


Brukk! Untuk ke sekian kali, kepala ustadz muda itu terbentur. Kali ini kepalanya membentur kusen pintu masjid saat ia hendak keluar seusai menunaikan shalat ashar berjamaah. Saat itu, setelah shalat, ia memang agak buru-buru karena harus segera menemui seseorang untuk kepentingan dakwah.

‘Peristiwa biasa’ yang saya saksikan dari jarak kira-kira lima meter itu, entah mengapa, membuat hati saya trenyuh. Saya pun menangis dalam hati. Tidak lain karena ustadz muda yang saya ceritakan kali ini adalah seorang yang buta. Namun, kondisinya yang buta itu tidak pernah menyurutkan langkahnya untuk senantiasa menunaikan shalat berjamaah di masjid lima kali sehari. Hal itu sudah bertahun-tahun ia jalani, terutama sejak ia mengalami kebutaan permanen sekitar tiga-empat tahun lalu. Saya pun teringat Sahabat Nabi saw. Abdullah bin Ummi Maktum yang juga buta. Ia pun senantiasa shalat berjamaah di masjid karena memang Nabi saw. tidak memperkenankan dirinya shalat di rumah selama ia mendengar azan di masjid.

Sebetulnya, bukan pemandangan itu benar yang membuat hati saya trenyuh. Bukan pula semata-mata karena ustadz muda yang baru beberapa bulan lalu saya kenal itu matanya buta yang membuat saya menangis dalam hati. Lagi pula saya tidak sedang menangisi dia. Sebab, toh dari kata-kata dan sikapnya selama ini, saya tahu ia pun tidak pernah menampakkan kesedihan dan meratapi diri karena kondisinya yang buta itu. Padahal sudah tak terhitung kepalanya terbentur tembok, terantuk batu, terpeleset, terserempet kendaraan di jalanan, bahkan terperosok ke selokan. Itu sudah sering ia alami. Namun, ia selalu menyikapi semua itu dengan kesabaran, bahkan senyuman. Yang membuat saya takjub, semua penderitaan itu justru sering ia alami dalam menjalankan aktivitas dakwahnya; berceramah ke berbagai tempat, mengisi ta’lim, melakukan kontak-kontak dakwah, dll. Sering semua itu ia lakukan dengan berjalan kaki sendirian, tanpa teman yang membantu menuntun dirinya. Semua itu ia lakukan dengan selalu bersemangat, tak kenal lelah, meski ia harus sering-sering meninggalkan anak-istrinya.
Selain berceramah atau mengisi ta’lim, ia mengaku menyisihkan waktu minimal dua jam setiap hari untuk melakukan kontak-kontak dakwah. Itu pun sudah lama ia lakukan. Inilah yang sebetulnya membuat hati ini menangis.

Saya menangis karena dalam kondisi tubuh saya yang sempurna, tidak kekurangan apapun, saya tampaknya belum bisa menyamai apalagi melebihi apa yang sehari-hari dilakukan sang ustadz itu. Jangankan menyisihkan waktu dua jam sehari untuk khusus melakukan kontak-kontak dakwah, bahkan untuk sekadar istiqamah shalat berjamaah lima waktu di masjid pun sulit, terutama zuhur dan ashar, karena boleh jadi masih di perjalanan, di tempat kerjaan ataupun karena hal lain.

Saat saya bertanya, mengapa dalam kondisi semacam itu ia selalu bersemangat berdakwah dan sepertinya tak pernah kenal lelah, ia hanya menjawab dengan satu kata, “Cinta.”

“Maksudnya?” tanya saya lagi.

“Ana melakukan semua ini karena Ana mencintai Islam, mencintai dakwah ini dan mencintai saudara sesama Muslim, terutama mereka yang belum tersentuh hidayah Islam,” jawabnya tegas.

“Kalau bukan karena cinta, Tadz,” lanjutnya kepada saya, “Ana, juga Antum, tak mungkin kan harus capek-capek berdakwah, apalagi dengan kondisi Ana yang cacat seperti ini.”

Cukup rasanya kata-katanya itu menyentakkan kembali kesadaran saya. Saya pun teringat kembali dengan kisah Sahabat Rasululullah saw. yang mulia, Mushab bin Umair ra. Sebelum masuk Islam Mushab ra. adalah seorang pemuda yang biasa hidup dalam kesenangan dan kemewahan. Ia memang berasal dari keluarga kaya-raya di Makkah. Semua itu didukung oleh sosoknya yang memang tegap dan tampan. Pernah orangtuanya membelikan sehelai pakaian seharga 200 dirham. Jika dikonversikan dengan harga sekarang, itu setara dengan Rp 14.075.800,- (Empat belas juta tujuh puluh lima ribu delapan ratus rupiah)! (Catatan: 1 dirham=2.975 gr perak murni=Rp 70.379,-. Sumber: Geraidinar.com, 19/5/2011, pk. 06.30).
Mushab bin Umair ra. kemudian masuk Islam diam-diam tanpa sepengetahuan orangtuanya. Saat kedua orangtuanya mengetahui keislamannya, mereka mengurung dan mengikat dirinya di rumah agar tidak bisa kemana-mana. Namun akhirnya, ia bisa melarikan diri ke Abesinia, tentu dengan meninggalkan segala kesenangan dan kemewahan hidup yang selama ini ia reguk. Tak lama kemudian ia kembali ke Makkah. Ia lalu diutus oleh Baginda Rasulullah saw. ke Madinah sebagai duta dakwah Islam. Atas perannyalah sebagian pemuka Arab Madinah diislamkan. Bahkan akhirnya mereka mau menyerahkan kekuasaan mereka kepada Rasulullah saw. hingga beliau sukses mendirikan Daulah Islam di Madinah.

Suatu saat, ketika Baginda Rasulullah saw. duduk-duduk, lewatlah ke hadapan beliau Mushab ra. dengan pakaian yang sudah kumal dan bertambal-tambal. Rasul saw. tampak bersedih dan berlinang airmata menyaksikan pemandangan itu. Sebab, beliau tahu persis bagaimana keadaan Mushab ra. yang hidup serba gemerlap sebelum masuk Islam. Kini, ia meninggalkan semua kemewahan itu karena satu hal: cinta. Begitu besar cintanya pada Islam, dakwah dan kepada sesama Muslim. Demi cinta itu pula ia rela mengorbankan apa saja. Bahkan karena cinta pula ia rela terbunuh di medan perang dengan cara yang amat mengiris hati.

Saat itu, dalam Perang Uhud, saat tentara Islam mengalami kekalahan, dan sebagian dari mereka lari tunggang-langgang, Mushab ra. tetap berdiri dengan gagah di medang perang sambil memegang Bendera Islam. Tiba-tiba musuh menebas salah satu tangannya hingga putus. Bendera itu pun terjatuh. Cepat-cepat ia meraih kembali bendera itu dengan tangannya yang lain. Musuh itu kembali menebas tangannya yang tersisa itu hingga putus. Buru-buru pula ia mendekap bendera itu di dadanya dengan kedua lengannya yang masih berlumuran darah. Namun, sebuah anak panah tiba-tiba menghujam dadanya hingga akhirnya ia tersungkur ke tanah, dan bendera itu pun terjatuh. Akhirnya, ia pun gugur sebagai syuhada.

Saat jenazahnya hendak dikuburkan, ia hanya memiliki selembar kain yang terlalu kecil. Jika kain itu ditarik untuk menutupi wajahnya, kakinya terbuka. Sebaliknya, jika kain itu ditarik untuk menutupi kakinya, wajahnya yang terbuka (Al-Kandahlawi, Fadha’il A’mal, 626-627).

Begitulah Mushab bin Umair ra. Begitulah sosok para pecinta Islam, dakwah dan kaum Muslim. Bagaimana dengan kita?

Keteguhan Seorang Syekh


✅ Beliau adalah Syeikh Taqiyuddin Annabhani. Saat beliau mendakwahkan Islam apa adanya, menyampaikan yg haq adalah haq dan yang bathil adalah bathil, hal itu membuat penguasa waktu itu, raja Abdullah bin Husein, marah besar.
Akhirnya, Syeikh Taqiyuddin ditangkap dan ditempatkan di penjara kota, di Amnan, Yordania.

✅Waktu itu, raja Abdullah mengundang beberapa orang ulama setiap minggu ke istananya di Raghdan. Hal itu mendorong para syeikh meminta raja Abdullah agar membebaskan rekan mereka, yaitu Syeikh Taqiyuddin. Maka tidak ada pilihan bagi raja. Lalu Syeikh Taqiyuddin dihadirkan ke istana kerajaan dengan dihadiri oleh sejumlah syeikh.

Ketika Syeikh Taqiyuddin duduk di tengah mereka, raja Abdullah sambil menatap ke arah beliau, dia berkata: "Dengarkan syeikh, apakah engkau mau berjanji akan berkawan dengan orang yang menjadi kawanku, dan memusuhi orang yang menjadi musuhku?".

Syeikh Taqiyuddin memandang raja Abdullah dan beliau tidak menjawab satu patah katapun. Raja Abdullah mengulangi hingga tiga kali dan marah besar.

✅Pada saat itu, Syeikh Taqiyuddin mengangkat kepala dan berkata: "Sesungguhnya, aku telah berjanji kepada Allah, untuk menjadikan kawan dekat orang-orang yang berwala (loyal dan taat) kepada Allah. Dan aku memusuhi orang-orang yang memusuhi Allah".

Maka raja Abdullah naik pitam dan berteriak: "Engkau adalah syeikh yang sangat berbahaya!!!".

Lalu ia berkata kepada tentaranya: "Tangkap dia dan kembalikan dia ke penjara".

Pada situasi yang membutuhkan sikap orang-orang yang bertaqwa, ternyata para syeikh yang hadir, tidak ada satupun yang mengucapkan barang satu kata pun... (Kitab Ahbaabullah, karya Syeikh Thalib Awadallah).
***
✅Benarlah kata Rasul, mengatakan yang haq dan berdakwah itu seperti memegang bara api.

Tidak akan sanggup melakukannya kecuali orang yang benar-benar bertaqwa kepada Allah.

Sungguh berbahagialah orang-orang yang bertaqwa.

Sungguh sangat berbahagia engkau, wahai Syeikh Taqiyuddin, semoga Allah meridloi dan merahmati engkau.

Sikapmu adalah sikap seorang ulama warasatul anbiya.

Minggu, 01 November 2015

Suriah Yang Sendirian


Ya Allah Malna Ghairaka Ya Allah, Ya Allah Ajjil Nashrak Ya Allah
Saya memanggilnya Abu Hasan. Lelaki paruh baya yang ditugasi melayani saya dan kawan-kawan dokter dari Indonesia selama hampir sebulan di pinggiran Lattakia, Suriah, 2012 silam. Tugasnya menyiapkan masakan, memastikan midfa (penghangat ruangan) tidak kehabisan minyak, dan menemani kami sepanjang hari.
Saya tidak ingin bercerita tentang bagaimana ketulusan dia melayani kami, karena itu akan membuat saya malu—kami datang jauh-jauh dari Indonesia untuk melayani, tapi kok di sini malah dilayani. Cerita itu hanya akan membuat “sakit hati” oleh sebab kebaikan ahlu Syam yang tidak pernah bisa saya lunasi. Tapi malam ini tetiba saya teringat slogan (Anda boleh menyebutnya lagu) yang sering didengungkan Abu Hasan di hadapan kami.
Di waktu senggang, kami sering ngobrol dan bercengkrama. Kadang ia mengajari kami bahasa Amiyah yang banyak digunakan penduduk. Atau teka-teki bermuatan Islam. Dan yang termasuk sering ia dengungkan adalah lirik di atas. Ya Allah Malna Ghairaka ya Allah…. Ya Allah Ajjil Nashrak ya Allah.
Jujur, saya kesulitan mencari arti yang pas dari lirik Malna Ghairaka. Tapi kalau mau diartikan secara harfiyah, begini: “Ya Allah kami tidak memiliki siapapun lagi selain Engkau ya Allah. Ya Allah segerakanlah pertolongan-Mu ya Allah.” Liriknya memang pendek, tetapi bagi saya memiliki arti yang dalam dan “menyayat” hati.
Bagi saya, lirik tersebut menggambarkan kesendirian rakyat Suriah menghadapi musibah kemanusiaan terbesar—versi UNHCR. Saya sebut sendiri, karena ketika beberapa invidu atau lembaga kemanusiaan yang mencoba menghimpun dana dan bantuan untuk mereka, langsung dicap (terkait kelompok) teroris. Sendiri, karena setiap berbicara soal Suriah dianggap tabu. Karena ISIS-lah, konflik sectarian, lah… Atau juga karena fenomena rabun jauh: ngapain repot-repot mikir Suriah kalau yang di sini saja juga repot.
Sebaliknya, monster-monster pencabut nyawa yang mengintai mereka tak pernah kenal kata puas dan kenyang. Makin hari, justru makin rakus dan tamak. Lihat saja bagaimana hari ini China dan Korea Selatan sudah sepakat ikut dalam invasi militer Rusia di Suriah. Koalisi ini menambah kuat jaringan Syiah sebelumnya, yaitu Iran dan Hizbullah Lebanon.
Persekutuan tersebut semakin perkasa dengan sikap dingin Amerika dan Eropa melihat armada Rusia membombardir wilayah pemukiman penduduk (sering disebut sebagai basis pemberontak) Suriah. Dalam diamnya, Barat merasa girang karena tidak sendirian menghadapi jihad rakyat Suriah yang makin hari makin mengkhawatirkan mereka.
Sendiri, tak ada kawan. Sementara lawan makin solid dan bersatu padu siap mencabut nyawa mereka.
Dari pengalaman bergaul dengan rakyat Suriah, sesungguhnya saya tidak mengkhawatirkan kesendirian mereka ini. Justru makin kuat mereka melantangkan Ya Allah Malna Ghairaka, makin kecil ketergantungan mereka kepada manusia. Sebaliknya, mereka makin dekat, dan makin bergantung serta bersandar kepada Raja Diraja, Allah Rabbul Alamin. Kekuatan yang serba maha yang tak bakal terkalahkan. Itulah sumber kekuatan dan jaminan kemenangan!
Justru yang saya merasa miris dengan sikap acuh tak acuh, tak peduli dan masa bodoh yang diperagakan kaum Muslimin di luar Suriah. Mereka, yang terjerembab pada debat kusir seputar: isu terorisme, konflik sectarian dan sindrom rabun jauh. Miris, membayangkan apa yang bakal mereka jawab menghadapi tuntutan dan aduan rakyat Suriah kelak di hadapan Allah pada hari kiamat. Dan, mereka itu bisa jadi saya, Anda dan kita.

Jumat, 25 September 2015

Korbankan "Ismailmu"


Bayangkan dirimu berada di puncak kehormatan..penuh dg kebanggaan..dan hanya ada "satu hal" yg demi hal itu kau siap menyerahkan apapun dan mengorbankan kecintaan lain demi meraih cintaNya..
Itulah "Isma'ilmu"...
korbankanlah "Isma'ilmu"..
yg menghalangimu untuk taat..
yg menghalangimu untuk shalih..
yg menghalangimu untuk ikhlash..
yg menghalangi untuk berinfaq..
yg menghalangi untuk berjuang di jalanNya...
Isma'ilmu bisa berwujud manusia, objek, pangkat , jabatan bahkan kelemahanmu..
Smg Allah mengkaruniakan kita keshalihan spt Nabi Ibrahim..keta'atan seperti Nabi Isma'il, keikhlashan spt Bunda Siti Hajar dan keberkahan spt Nabi Muhammad SAW..Aamiin...


Kita mungkin bisa berkurban seekor domba, sapi atau unta.
Bahkan bila itu lebih banyak dari jumlah anggota keluarga kita.
Tetapi apakah kita sudah benar-benar berkurban dengan sesuatu yang amat sangat kita suka?
Mengorbankan siaran TV kesukaan kita demi belajar dienul Islam yang belum kita ketahui semuanya agar amal kita bisa sempurna ?
Mengorbankan harga diri kita untuk belajar pada seorang yang jauh lebih muda dan lebih sederhana, tetapi memiliki hati yang lurus dan ilmu yang terjaga ?
Mengorbankan zona nyaman kita demi mewujudkan cita-cita kita membangun sebuah peradaban yang tinggi nan mulia ?
Mengorbankan peluang bisnis atau penghasilan tinggi di luar negeri demi berbagi inspirasi di negeri ini kepada tunas-tunas muda.?
Saatnya membangun sebuah peradaban baru yang mempesona.
Mulai dengan merenungkan apa yang bisa kita ubah dalam diri kita.
Selamat Hari Raya Iedul Adha.
Semoga Allah menerima kurban-kurban kita.
"Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketaqwan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkanya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik." (Qs. 22:37) "

Rabu, 23 September 2015

Antara Ahlul Haq dan Orang Bijak


by: Rahmawan Puspawijaya

Kata-kata yang terdengar bijak, belum tentu benar. Islam menuntut kita berkata2 dan berperilaku sebagai pancaran dari aqidah, sebagai bentuk ketaatan terhadap syariah. Jika kita hanya ingin berkata2 bijak, bisa belajar pada filsafat yunani, atau kaum liberal yang fasih berkata2 bijak menggunakan akal pikirannya, tanpa terkait dengan aqidah islam. Tujuan dibuatnya tulisan ini adalah untuk membangun kesadaran, bukan untuk memojokkan pihak manapun. Semoga Allah melapangkan qolbu kita semua untuk terus menuju kebenaran.
Berikut adalah contoh kata2 populer yang biasa terdengar bijak, tapi sebenarnya bukan pancaran dari tsaqofah Islam. Tapi merupakan pola fikir yang terlahir dari berabad2 ghozwul fikr (perang pemikiran) Islam dengan pemikiran luar Islam yg terjadi ditengah umat, yg kemudian penulis coba luruskan melalui dialektikal yang dinarasikan melalui dialog antara "orang bijak" dan "ahlul haq" *.
*ahlul haq = pengikut kebenaran. Berbeda dengan Al Haq = yang Maha Benar, yaitu Allah SWT
ORANG BIJAK : bagaimana caranya memindahkan batu segunung ? ambil satu batu demi satu batu dan pindahkan, mulai dari sekarang, mulai dari diri sendiri.
AHLUL HAQ* : percuma anda pindahkan jika masih ada orang lain yang mengembalikan batu itu ketempat semula. Pastikan dulu semua orang bertujuan yang sama, barulah dimulai.
ORANG BIJAK : Tegakkan syariat Islam pada pribadi dari individu ke individu. Secara bertahap masyarakat akan berubah dan negara Islam akan terwujud.
AHLUL HAQ : Ketika anda berdakwah satu demi satu, musuh Islam juga sedang berdakwah.. tidak hanya satu demi satu, tapi juga menerapkan hukum bathil yang menyesatkan masyarakat. Maka ajaklah dahulu se-banyak2nya orang menuju tegaknya hukum Islam yg utuh, maka dakwah akan terlindung ke seluruh penjuru.
ORANG BIJAK : Islam Nusantara adalah model Islam terbaik, menerima perbedaan, bertoleransi dan bermusyawarah. Demokrasi sejalan dengan Islam.
AHLUL HAQ : Adakah islam di dunia ini yang lebih toleran, lebih menerima perbedaan dan lebih bermusyawarah dari Rosul SAW ? Tapi Rosululloh tidak memusyawarahkan apa2 yg telah jelas keharamannya, atau kekufurannya. Rosul bermusayawarah hanya pada perkara yg mubah.
ORANG BIJAK : Kita tidak boleh merasa paling benar, Allah dan RosulNya lah yang paling tahu. Kita menghargai perbedaan.
AHLUL HAQ : Allah dan Rosulnya tentu yang paling tahu.. Tapi jangan gunakan itu untuk berdalih dari mencari kebenaran yang haq. Kapan kita akan tahu apa yang benar2 dimaksud oleh Allah dan Rosul jika isi kepala terus memelihara jargon "tidak ada kebenaran yang mutlak" ala liberalis ?
ORANG BIJAK : Gunakanlah Hati .. Hati itu yang akan memandumu di jalan yang benar.
AHLUL HAQ : Berhentilah menggunakan istilah hati nurani.. Dari mana anda tahu hati anda telah benar atau sedang salah ? Hati juga masih membutuhkan asupan berupa kebenaran sehingga dia bisa memancarkan kebenaran. Gunakanlah istilah Qolbun Salim. Yaitu akal dan perasaan yang terikat aqidah dan tunduk pada syariah, yang melahirkan perkataan dan perbuatan di jalan yang benar.
ORANG BIJAK : Iman itu adanya di hati. Hanya orang-orang yang mendapatkan hidayah yang mendapatkan Iman. iialah yang telah dipilih oleh Allah. Yang penting bersyukur atas iman islam, dan tidak usah macam-macam.
AHLUL HAQ : Tentu nikmat iman adalah hal utama yang harus disyukuri. Tapi Jika berfikirnya hanya sampai di situ, bagaimana nasib orang yang belum Islam ? Apakah Rosululloh bermaksud islam ini hanya untuk orang islam, atau untuk mengajak sebanyak2 orang ke surga?
Urusilah yang telah jelas, dan serahkan rahasia Allah padaNya. Kepada siapa jatuh pilihan Allah atas iman / kafirnya seseorang adalah mutlak Rahasia Allah. Bahkan jika anda sudah merasa beriman, Allah bisa lepaskan.. Ada orang yang kafir, kapanpun kemudian Allah bisa islamkan. Biarlah Rahasia itu menjadi milik Allah.
Yang telah jelas dan bukan rahasia lagi adalah bahwa Allah menghendaki Islam menjadi rahmat bagi seluruh alam. Semua manusia dilahirkan Islam. Semua manusia diberi akal. Keberadaan akal itu sendiri adalah bagian dari hidayah, agar manusia bisa menerima dakwah Islam, dan berproses berfikir untuk menerima kebenaran. Tugas kita yang sudah islam untuk memahamkan yang belum islam. Semua manusia mencari Tuhannya, mencari tempat kembali, mencari ketentraman hati dan kepuasan akal, dan tujuan hidup.
Apakah Islam mengajarkan seperti yang anda fikirkan ? tidak usah macam-macam, Allah sudah menentukan semuanya ? Apakah ketika terjadi kemungkaran di depan mata anda diam tidak usah macam2? apakah ketika kaum muslimin ditindas penguasa dzolim anda berlepas diri dari dakwah kepada penguasa, hanya karena tidak ingin macam-macam? kan tidak begitu.
ORANG BIJAK : belajar agama itu jangan pakai akal... akal itu sumbernya hawa nafsu. Hawa nafsu itu dari setan. Pakailah hati...
AHLUL HAQ : Kalau akal disebut hawa nafsu, mau tdk anda sholat bermakmum kepada seekor lembu yang tidak berakal sekalian ? Atau anda mau memiliki ulil amri seekor gorila ? Cocok kan ngga ada akalnya ? Atau bahkan mau dipimpin oleh yang lebih rendah dari hewan.. yg dalam alquran disebut diberi qolbu tapi tak mau berfikir ? Ya tentu tidak begitukan?
Ketika anda mengurusi tujuan duniawi, saya yakin anda tahu bahwa anda menggunakan akal. Lalu kenapa untuk masalah akhirat yang kekal anda tidak mau menggunakan akal anda ?
Pemahaman yang benar adalah... letakkan akal dan perasaanmu di bawah kehendak Allah berupa hukum syara. Gunakan akal itu untuk memahami agama dengan benar, dan bertaqwa. Anda besok shubuh berencana sholat shubuh pun adalah bukti dari aktifitas akal anda.. karena tidak ada tali di hidung anda dan pecut dipunggung anda misalnya untuk Memaksa anda sholat, tapi anda akan melakukannya juga. Itu karena akal anda mengenali perintah sholat, dan memahami cara sholat, dan sadar akan ancaman bagi yang meninggalkan sholat.
ORANG BIJAK : tanpa saya rencanakan pun Allah sudah tahu saya akan sholat besok atau tidak. Allahlah yang mengerakkan anggota tubuh saya untuk melakukannya.
AHLUL HAQ : Allah mengetahui semuanya, itu adalah bagian dari Iman. Bahkan anda sendiripun tidak tahu kalau Allah masih memanjangkan umur anda sampai besok, atau sampai nanti malam, atau masih lama.
Pertanyaannya di akhirat kelak apakah anda akan dihisab atas perbuatan Allah terhadap anda, atau atas perbuatan anda menolak / mendirikan sholat besok?
ORANG BIJAK : Merubah masyarakat itu dengan Akhlak.
AHLUL HAQ : Bukan... Akhlak buruk masyarakat memang masalah, namun bukan akar permasalahan. Akhlak itu untuk merubah individu, bukan merubah Masyarakat. Masyarakat akan berubah setelah 3 hal di rubah : Pemikiran, Perasaan, dan Aturan. Tanpa tiga hal itu, masyarakat hanya akan terdiri dari sebagian orang berakhlak baik, sebagian lainnya berakhlak buruk, karena masyarakat tidak terikat pada pemikiran, perasaan, dan aturan Islam. Justru setelah 3 hal tadi dirubah, maka berubahlah akhlak masyarakat.
ORANG BIJAK : Kebangkitan masyarakat Islam itu tercapai dengan Pendidikan.
AHLUL HAQ : Bukan, pendidikan buruk masyarakat memang masalah, namun bukan akar permasalahan. jika dibangkitkan pendidikan, seperti selama ini orang islam menekuni pendidikan Islam, maka hasilnya adalah adanya gedung sekolah, gedung pesantren dan boarding school. Berujung kepada menjadikan pendidikan sebagai dunia usaha yang menguntungkan pemodal. Lagipula dimana kemudian fungsi pemerintah untuk mengadakan pendidikan yang gratis?
ORANG BIJAK : Kalau begitu kebangkitan masyarakat tercapai dengan mengusahakan kesehatan.
AHLUL HAQ : Bukan. kesehatan buruk masyarakat memang masalah, namun bukan akar permasalahan. Selama ini Rumah sakit berlabel Islam terus dibangun. Wal hasil, kesehatan tetap mahal, dengan sistem kesehatan yang kapitalistik, berujung kepada pemodal rumah sakit yang ingin segera kembali modal dan mendapat untung. Lagipula dimana kemudian fungsi pemerintah untuk mengadakan sistem kesehatan yang gratis?
ORANG BIJAK : Kalau begitu kebangkitan masyarakat dicapai dengan kegiatan sosial.
AHLUL HAQ : Bukan. Kesejahteraan buruk masyarakat memang masalah, namun bukanlah akar permasalahan. Jika kegiatan sosial digiatkan, hasilnya adalah membanyaknya lembaga-lembaga sosial yang sebenarnya akan membuat lalai pemerintah dari kewajibannya mengurusi rakyat miskin.
Kebangkitan umat tercetus setelah masyarakat menyadari akar permasalahan, dan mengetahui solusinya. Akar masalahnya adalah ditinggalkannya hukum Allah, sehingga solusinya akar masalahnya adalah tegakknya Hukum Allah.
KEBANGKITAN UMAT HANYA AKAN BISA DITEMPUH DENGAN AKTIFITAS POLITIK ISLAM YANG HAQ. Yaitu aktifitas yang melahirkan pemikiran Islam, perasaan Islam, dan keterhubungan antara hidup dan aturan islam di dalam Masyarakat. Dengan kesadaran masyarakat yang dibangun berupa opini penegakkan hukum islam secara kaffahlah, maka organisasi penggerak politik itu, bersama-sama dengan masyarakat akan melakukan perubahan yang mendasar, dalam satu tujuan untuk bertaqwa pada Allah, menegakkan konstitusi Islam di negerinya.
Itulah yang akan melahirkan perubahan hakiki yang menjadi solusi umat.

Hakekat Kemenangan Dakwah


Wahai pejuang Islam jnganlah kalian berpikiran…
kemenangan bergantung pada jumlah dan persiapan perjuangan kalian, namun kemenangan kalian bergantung pada keyakinan akan kekuatan dan pertolongan Allah.
Bukankah tentara thalut diseleksi Allah …disaat tentara butuh air minum…
Allah menguji keyakinan mereka…
apakah yakin melaksanakan perintah Allah sukses…
atau mendahulukan kebenaran rasional strategi perang lalu mengesampingkan perintah Allah yaitu hanya minum satu cawukan tangan. Maka, hanya sedikit tentara thalut yang taat sehingga satu satunya pondasi kemenangan thalut adalah keyakinan kemenangan bergantung pada ijin dan pertolongan Allah….
Alqur’an menyebut dengan redaksi: “..mereka yang yakin pertemuananya dengan Allah (berkata) “berapa banyak kelompok sedikit mengalahkan kelompok yang banyak karena ijin dan pertolongan Allah”..(terj. QS.2;249).
Sekali lagi,
Ingatlah kemenangan kaum muslimin adalah saat para pejuang bergantung pada keyakinan akan kekuatan, kekuasaan, dan pertolongan Allah bukan bergantung pada jumlah dan kekuatan fisik.
walaupun jumlah dan persiapan perjuangan adalah diantara sebab tapi tidak boleh bergantung pada sebab.
wahai pejuang Islam ketahuilah memperbanyak jumlah dan persiapan perjuangan akan segera diberi kemenangan bila tidak banyak kemaksiatan kepada Allah karena kemaksiatan memperlambat datangnya pertolongan Allah:
1. Berbangga dengan jumlah yang banyak, kaderku banyak.., massaku banyak…
2.Kemaksiatan pejuangnya…dakwah tapi melupakkan berbakti pada orang tua, merendahkan , tidak hormat, kata kasar kepada orang tua yang belum bergabung dalam perjuangan , menyerukan islam kaffah tapi belum menjadi anak sholih, suami sholih, istri sholihah, ayah sholih, tetangga sholih, pekerja sholih, suka muhasabah orang lain tapi marah ketika di muhasabah orang lain…
Ya Allah bantu kami untuk utuh dalam taat kepadaMU…
3. Suka berbantah-bantahan dalam implementasi perjuangan hingga saling mencaci..blok-blokan..sehingga soliditas perjuangan menjadi lemah … memang boleh saling menasehati…mengingatkan..tapi berakhlaklah..lembutlah dalam sikap, munculkan sayang dalam hatimu saat mengingatkan saudaramu, ucapakan dengan perkataan ma’ruf dan doakan saudaramu…
InsyaAllah Allah menyayangi kita semua….dan segera menolong perjuangan kita.
Wallahu a'lam
(copas)

Menjadi PR Dakwah


Setiap perusahaan membutuhkan PR. Bukan Pekerjaan Rumah, melainkan Public Relation, yang biasa disebut “PR”. Ia merupakan proses, usaha dan aktivitas yang dilakukan secara terencana untuk menjalin komunikasi yang baik dan saling menguntungkan. Perusahaan yang setiap pekerjanya – dari Direktur hingga Office Boy – mampu menjalankan fungsi PR, ia akan tumbuh menjadi perusahaan besar dan bonafide.

Dakwah pun demikian adanya. Ajaran Islam perlu dikomunikasikan kepada publik dengan baik. Ditampilkan secara utuh dan gamblang. Karena, Islam itu akan mempesona kalau ditampilkan apa adanya. Berbeda dengan kebatilan. Kebatilan itu tumbuhnya di area gelap dan remang-remang, sebab kalau tersingkap kedoknya akan ditinggalkan orang.

Setiap Muslim adalah PR Dakwah

Idealnya, setiap muslim menjadi representasi PR Islam, sesuai bidang yang digelutinya dan keahlian yang dimilikinya. Untuk itu, silakan ambil dan miliki sikap-sikap berikut ini, dan jadilah penyambung lidah pesan-pesan Rasulullah saw.

Perindah Penampilan

Penampilan memang bersifat lahiriah, tapi tetap saja erat kaitannya dengan batin. Umar bin Khattab punya kesan tersendiri terhadap orang yang berpenampilan prima. “Aku takjub pada pemuda yang taat beribadah, pakaiannya besih dan aromanya wangi”, katanya. Hal itu wajar karena setiap orang menyukai segala sesuatu yang indah. Apalagi keindahan lahiriah yang memancar dari keindahan batin.

Rasulullah saw pernah melihat seseorang yang rambutnya tidak terawat. Beliau “Apa tidak ada sisir untuk merapikan rambut” (Hr. Nasa’i; Shahih). Begitu juga ketika melihat seseorang yang bajunya kurang bersih, beliau menanyakan “Apa tidak ada air untuk mencuci?” (Shahih Ibnu Hibban). Jadi, mengenakan pakaian yang indah dan berpenampilan menarik itu tuntunan Nabi, bukan kesombongan. Rasulullah saw bersabda:

إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ

“Sesungguhnya Allah itu Maha Indah. Ia menyukai keindahan. Kesombongan ialah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain” (Hr. Muslim).

Senyumlah

Wajah senyum berseri itu bukan saja membuat orang lain senang, tapi juga membuatnya merasa dihormati. Bukankah menyenangkan dan menghormati orang lain itu merupakan prestasi? Tak mengherankan kalau rasulullah saw menilainya sebagai shadaqah. Sabda beliau:

تَبَسُّمُكَ فِيْ وَجْهِ أَخِيْكَ صَدَقَةٌ

“Senyummu di hadapan saudaramu itu merupakan shadaqah” (Hr. Tirmidzi; Shahih).

Oleh sebab itu, janganlah kesibukan membuat kita kehilangan nikmat senyum. Jangan pula kepenatan kerja membuat wajah kita ber- merk masam. Ingatlah, raut wajah itu berbicara lebih fasih dibanding kata-kata. Para sahabat merasa nyaman bila berada di samping rasulullah saw, karena wajah beliau selalu berseri dan murah senyum.Abdullah bin Harist ra memberikan kesaksian, “Aku tidak pernah melihat orang yang lebih banyak tersenyum dibanding rasulullah saw” (Hr. Tirmidzi; Shahih).

Tariklah nafas dalam-dalam…! Ucapkan Alhamdulillah…! Dan Tersenyumlah bahagia…!

Awali Salam

Kaedah umum mengatakan bahwa amalan wajib itu lebih utama dari pada amalan sunnah. Tapi ada pengecualian, yaitu salam. Walaupun mengucapkan salam hukumnya sunnah, namun ia lebih utama dibanding menjawab salam yang hukumnya wajib. Memulai salam, mengajak berjabat tangan, dan memulai pembicaraan ketika bertemu orang lain adalah sikap terpuji yang menandakan keluhuran budi.

Jadi, orang yang mulia bukanlah orang yang menunggu disapa, menunggu diberi salam atau menunggu dijabat tangannya. Rasulullah saw bersabda:

إِنَّ أَوْلَى النَّاسِ بِاللَّهِ مَنْ بَدَأَهُمْ بِالسَّلاَمِ

“Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang memulai salam kepada mereka” (Hr. Abu dawud; Shahih).

Ibnu Umar ra memiliki sikap tawadhu’ atau rendah hati yang membuat orang-orang menyukainya. Ia selalu memulai salam, baik ketika bertemu yang lebih tua atau yang lebih muda. Subhanallah…! Kalau seorang muslim berpenampilan prima, wajahnya senyum berseri, dan aktif memulai salam ketika bertemu, tentu ini merupakan PR yang sangat dahsyat. Terlebih lagi kalau semakin dihangatkan dengan jabat tangan. Hasan Basri mengatakan: “Al-mushafahah tazidu fil-mawaddah – Jabat tangan itu menambah kecintaan”.

Jadilah Dermawan

Harta merupakan alat pikat yang luar biasa. Manusia cenderung suka kepada orang yang banyak memberi bantuan materi kepadanya. Maka dari itu, di tangan penebar kesesatan, kekayaan menjadi sarana pemurtadan. Lemahnya iman dan kurangnya pemahaman Islam angat rentan terhadap iming-iming harta. Buktinya, ada di antara saudara-saudara kita korban bencana merapi yang karena uluran tangan missionaris, mereka berganti keyakinan. Sebaliknya, di tangan orang shalih, kekayaan akan menjadi pintu hidayah, penguat keyakinan dan kebaikan dunia akhirat.

Kuncinya adalah kelapangan hati untuk berderma di jalan Allah. Rasulullah saw bersabda:

نِعْمَ الْمَالُ الصَّالِحُ لِلْمَرْءِ الصَّالِحِ

“Sebaik-baik harta yang shalih adalah yang berada di tangan orang yang shalih” (Hr. Ahmad; Shahih).

Muslim yang dermawan itu dekat dengan Allah, dekat dengan manusia, dekat dengan surga dan jauh dari apa neraka. Anas meriwayatkan bahwa seorang laki-laki datang kepada rasulullah saw, lalu beliau memberinya kambing yang memenui lembah di antara dua bukit. Maka ia mendatangi kaumnya dan mengatakan “Ayo masuk Islam…! Sesungguhnya Muhammad saw kalau memberi tidak takut miskin”. Anas menuturkan “Seseorang datang kepada rasulullah saw hanya ingin mendapatkan dunia. Sore harinya, ia telah manjdi orang yang lebih menyintai agama Islamnya dibanding dunia seisinya”. (Shahih Ibnu Hibban).

Setelah fathu Makkah, Shafwan bin Umayyah termasuk orang kafir yang minta diberi kebebasan tinggal di Makkah selama dua bulan. Nabi mengabulkan, bahkan memberinya waktu empat bulan. Selanjutnya Nabi menghadapi perang Hunain dan Thaif, beliau meminjam 100 pedang lengkap dengan baju perangnya kepada Shafwan. Sahfan pun ikut perang di barisan kaum muslimin bersama Nabi.

Allah memberi kemenangan, dan banyak ghanimah (harta pampasan) yang diperoleh kaum muslimin. Dalam perjalanan pulang, sampai di Ji’ranah, Shafwan mengamati ternak yang memenuhi lorong diantara dua gunung. “Engkau menyukainya?” tanya nabi. Shafwan menjawab “Ya”. “Semua ternak yang ada di lorong gunung itu untuk kamu”kata Nabi. Shafwan lalu menyatakan:“Hanya seorang Nabi yang rela memberikan kekayaan sebanyak ini. Aku bersaksi tidak ada tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah hamba Allah dan utusanNya”. Di tempat itu pula ia menyatakan keislamannya. (Kanzul-‘ummal).

Nyatakan Simpati

Di samping bahasa hati dan sikap, bahasa verbal atau bahasa lisan tetap diperlukan. Bagi orang yang belum memahami niat baik yang kita tunjukkan dalam sikap, ia akan menjadi faham dengan pernyatan kalimat. Bagi yang sudah faham, pernyataan akan menjadi pengokoh yang menguatkan. Beritahukan bahwa ia mempunyai tempat tersendiri di hati kita.

Kita katakan, umpamanya “Aku senang bisa bersahabat dengan Anda”, “Kita menjadi bersaudara karena Allah”, “Aku sangat berbahagia dengan keislaman Anda”, atau “Aku mencintai Anda karena Allah”. Rasulullah saw bersabda:

إِذَا أَحَبَّ أَحَدُكُمْ أَخَاهُ فَلْيُعْلِمْهُ إِيَّاهُ

“Apabila seseorang di antara kalian mencintai saudaranya, maka beritahukanlah hal itu kepadanya” (Hr. Tirmidzi; Shahih).

Alangkah indahnya hidup saling menyintai karena Allah. Dan alangkah kekalnya persahabatan yang dibangun di atas ketaqwaan kepada Allah. Itulah kawan abadi. Allah berfirman:

الْأَخِلَّاءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ

“Teman-teman akrab pada hari (akhirat) itu, sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang bertakwa”. (Qs. Az-zukhruf/43: 67)

Pembaca yang mulia, aku mencintaimu karena Allah.