Sabtu, 09 Juli 2016

Menyiapkan Menghadapi Hari Esok


Oleh: Arief B. Iskandar

Hari esok atau esok hari, dalam pandangan siapapun, adalah waktu yang amat dekat; amat pendek; amat cepat kedatangannya; tak lebih dari beberapa jam saja setelah hari ini.

Bagi Anda yang hendak melakukan perjalanan jauh esok hari, jika hanya hari ini waktu yang tersedia untuk persiapan, belum tentu cukup seharian bagi Anda mempersiapkan bekal untuk perjalanan itu. Apalagi perjalanan itu dalam rangka bertemu dengan orang yang selama ini Anda hormati, Anda agungkan sekaligus Anda segani. Katakanlah orang yang hendak ditemui itu adalah atasan Anda di kantor, atau mungkin pejabat tinggi di kota Anda. Esok hari itu mereka hendak menanyai, ’menginterogasi’ sekaligus meminta pertanggungjawabkan amanah yang telah mereka berikan kepada Anda. Di hadapan merekalah esok hari, nasib Anda ditentukan; apakah berbuah manis dan membahagiakan atau justru pahit dan menyakitkan; apakah mendapatkan penghargaan atau malah dipecat dari jabatan dan pekerjaan. Menghadapi peristiwa penting dan menentukan itu esok hari, tentu amatlah mendebarkan. Lebih mendebarkan lagi jika selama menjalankan amanah itu Anda merasa terlalu banyak melakukan kelalaian dan membuat kesalahan.

Atau, katakanlah esok hari itu Anda akan menghadapi sidang ujian yang menentukan masa depan hidup Anda. Kelulusan Anda esok hari dalam sidang ujian itu menentukan kesuksesan hidup Anda selanjutnya. Sebaliknya, kegagalan Anda dalam ujian esok hari, menjadikan Anda pun bakal gagal meraih kesuksesan hidup berikutnya. Menghadapi peristiwa penting dan menentukan itu esok hari, tentu pula amat mendebarkan. Lebih mendebarkan lagi jika untuk menghadapi sidang ujian esok hari itu, Anda merasa kurang persiapan, karena waktu yang Anda miliki untuk persiapan itu hanya hari ini.

****

Membincangkan esok hari, juga ihwal menyiapkan bekal di perjalanan, sekaligus persiapan menghadapi pertanggungjawaban atau ujian sidang seperti di atas, tentu menarik jika dikaitkan dengan firman Allah SWT (yang artinya): Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah, dan hendaknya setiap diri memperhatikan apa yang telah dia perbuat (sebagai bekal) untuk hari esok. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Mahaawas atas apa saja yang kalian lakukan (TQS al-Hasyr [59]: 18).

Imam ath-Thabari, Imam al-Alusi, Imam az-Zamakhsyari, Imam Abu Saud dan para mufassir lainnya dalam kitab tafsirnya masing-masing umumnya sepakat, bahwa yang dimaksud hari esok dalam ayat di atas adalah Hari Kiamat (Lihat antara lain: Ath-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, XXIII/297).

Mengapa Hari Kiamat Allah SWT istilahkan dengan hari esok? Tidak lain karena begitu dekatnya Hari Kiamat itu sehingga laksana hari esok. Dengan kata lain, kehidupan dunia ibarat hari ini, sementara kehidupan akhirat ibarat hari esok (Al-Alusi, Ruh al-Ma’ani fi Tafsir al-Qur’an wa as-Sab’ al-Matsani, XX/439).

Bagaimana membayangkan Hari Kiamat itu sebagai peristiwa yang amat dekat laksana hari esok? Pasalnya, kebanyakan manusia sepertinya menganggap Hari Kiamat itu adalah peristiwa masa depan; peristiwa yang masih jauh sekali dan masih sangat lama, entah kapan. Karena itu, kebanyakan manusia sering melupakan kepastian kedatangan Hari Kiamat. Buktinya, hanya sedikit di antara manusia yang benar-benar mempersiapkan diri menghadapi peristiwa mahapenting ini; peristiwa yang justru paling menentukan dalam seluruh fase kehidupan manusia sejak di alam ruh, alam rahim, alam dunia, alam barzakh dan tentu alam akhirat. Pada fase inilah ujung dari segala. Pada fase ini pula akhir nasib manusia, apakah selamat atau celaka; apakah masuk surga atau masuk neraka; apakah bakal mereguk kebahagiaan abadi atau kesengsaraan tiada henti. Karena itu, sejatinya hari esok (baca: Hari Kiamat) itu adalah hari yang paling mendebarkan bagi seorang manusia selama hidupnya. Anehnya, perasaan demikian tampaknya hanya dirasakan oleh sedikit manusia; kebanyakan mereka seolah tenang-tenang saja tanpa mempersiapkan diri. Mungkin karena, sekali lagi, tak terbayangkan pada kebanyakan manusia, bahwa dekatnya kedatangan Hari Kiamat itu seperti dekatnya kedatangan hari esok!

Untuk membayangkan betapa dekatnya Hari Kiamat ini sehingga Allah SWT menyebutnya dengan esok hari, mari kita merenung sejenak. Ingatlah dan bayangkanlah kembali masa kecil Anda, saat usia TK atau SD, lengkap dengan seluruh pengalaman manis atau pahit. Masih bisa terbayang dengan jelas di pelupuk mata Anda, bukan? Padahal saat ini usia Anda mungkin ada yang 20 tahun, 30 tahun, 40 tahun, atau mungkin 60 tahun. Sebagian mungkin sudah punya anak bahkan cucu. Namun, saat membayangkan masa kecil, sepertinya hal itu baru kemarin Anda alami. Artinya, usia 20, 30, 40, atau 60 tahun sesungguhnya bukanlah usia yang panjang. Rentang waktu tersebut sesungguhnya amatlah pendek.

Tentu akan terasa lebih pendek lagi jika usia kita hari ini kita bandingkan dengan jarak zaman kita dengan zaman Baginda Rasulullah saw., misalnya, yang memiliki rentang waktu lebih dari 14 abad lalu. Apalagi jika usia kita yang rata-rata 60-70 tahun itu kita bandingkan dengan rentang waktu penciptaan Adam as., entah puluhan ribu atau bahkan ratusan ribu tahun lalu. Bandingkan pula usia kita hari ini dengan usia jagad raya yang menurut para ahli diciptakan oleh Allah SWT miliaran tahun yang lalu. Andai usia dunia yang miliaran tahun itu kita tarik sebagai garis lurus, lalu kita bandingkan dengan usia manusia yang hanya 60-70 tahun, tentu usia manusia tersebut hanya setitik noktah yang tidak kelihatan dibandingkan dengan panjangnya garis—mungkin miliaran kilometer—yang mencerminkan sangat panjangnya usia jagad raya ini. Dengan kata lain, sesungguhnya betapa cepatnya manusia hidup di dunia ini dibandingkan dengan usia jagad raya ini. Padahal miliaran tahun usia jagad raya ini pun amatlah singkat di mata Allah SWT. Maka dari itu, Allah SWT menyebut tibanya Hari Kiamat—sebagai ujung kehidupan dunia ini—dengan istilah hari esok. Bahkan karena begitu amat cepat kedatangan Hari Kiamat itu, Allah SWT sampai berfirman (yang artinya): Tidaklah (waktu kedatangan) Hari Kiamat itu kecuali seperti kedipan mata atau lebih cepat dari itu (QS an-Nahl [16]: 77).

Jadi apakah kita masih menganggap usia jagad raya ini masih amat panjang; kedatangan Hari Kiamat itu masih sangat jauh; dan hidup di dunia ini masih cukup lama? Baiklah jika anggapan dan pandangan kita masih seperti itu. Lalu bagaimana dengan kematian kita yang amat rahasia. Bukankah itu bisa terjadi kapan saja, termasuk esok hari?! Sudahkah kita mempersiapkan diri?!

Wama tawfiqi illa bilLah. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar