Sabtu, 09 Juli 2016

Takwa Dalam Semua Keadaan


Oleh: Arief B. Iskandar


Ramadhan akan segera berlalu. Idealnya, setelah melewati masa-masa “training” sebulan penuh selama Ramadhan, setiap Muslim akan menjadi “sosok baru”; yang berbeda antara sebelum Ramadhan dan setelah Ramadhan. Setelah Ramadhan, ia makin rajin beribadah (melakukan banyak shalat sunnah, shaum sunnah, berzikir dan ber-taqarrub kepada Allah SWT, dll); makin banyak bersedekah; makin berakhlakul karimah; makin rajin menuntut ilmu, makin giat berdakwah dan beramal makruf nahi mungkar, dan seterusnya.

Sebaliknya, ia pun makin jauh dari perbuatan dosa dan maksiat kepada Allah SWT. Singkatnya, ia makin bertakwa kepada Allah SWT. Takwa inilah yang menjadi “buah” dari shaum yang ia jalani selama sebulan penuh selama Ramadhan (QS al-Baqarah [2]: 183). Jika itu yang berhasil ia raih, berarti ia telah melakukan shaum dengan benar. Sebaliknya, jika tidak, berarti shaumnya selama Ramadhan hanyalah sekadar menahan rasa lapar/haus semata, sebagaimana yang diisyaratkan Baginda Nabi saw. (HR Ahmad dan ad-Darimi).

Berbicara tentang takwa, Baginda Rasulullah saw. pernah bersabda kepada Muadz bin Jabal ra. saat beliau mengutus dia ke Yaman, “Bertakwalah engkau kepada Allah di manapun/kapanpun/dalam keadaan bagaimanapun…” (HR at-Tirmidzi).

Terkait dengan frase ittaqillah (bertakwalah engkau kepada Allah) dalam potongan hadis di atas, banyak ulama mendefinisikan kata takwa. Umumnya takwa mereka maknai dengan: melaksanakan seluruh perintah Allah SWT dan menjauhi semua larangan-Nya serta menetapi hukum-hukum-Nya. Dengan kata lain, hakikat takwa adalah sebagaimana dinyatakan oleh Hasan al-Bashri dan Umar bin Abdul Aziz, yakni: menjauhi semua yang Allah larang dan melaksanakan semua yang Allah perintahkan; lebih dari itu adalah kebaikan.

Menurut ulama salaf, takwa juga bisa berarti meninggalkan banyak hal yang mubah (halal) hanya karena takut terjatuh pada keharaman. Karena itu sikap wara' (takut terjatuh ke dalam dosa) dan takut kepada Allah, itulah hakikat takwa.

Said bin al-Musayyib pernah ditanya seseorang, “Bagaimana takwa itu?”

Ia balik bertanya, “Bagaimana pendapatmu, jika engkau berjalan di jalanan yang penuh duri, apa yang engkau lakukan?”

Orang itu menjawab, “Saya tentu akan hati-hati dan berusaha menghindari duri-duri itu agar tidak melukai kaki saya.”

Said bin al-Musayyib kemudian berkata, “Itulah takwa, yakni engkau menghindari berbagai 'duri' kemaksiatan.”

Makna inilah yang kemudian disitir oleh seorang alim dan zuhud dalam sebuah bait syairnya:

Jauhilah besar-kecilnya dosa
Itulah takwa
Jadilah seperti orang yang berjalan kaki di jalanan penuh duri
Ia selalu hati-hati
Jangan sepelekan dosa kecil
Sebab bukit pasir pun awalnya adalah butiran-butiran kecil

Banyak sifat yang dilekatkan kepada orang-orang bertakwa (muttaqin). Di antaranya, jika kita merujuk ayat-ayat di awal surah al-Baqarah, orang bertakwa adalah orang yang: mengimani yang gaib; mendirikan shalat; menginfakkan sebagian harta; mengimani al-Quran dan kitab-kitab yang Allah turunkan sebelum al-Quran; meyakini alam akhirat (QS al-Baqarah [2]: 1-4).

Lalu jika kita merujuk pada ayat lain, orang bertakwa disifati dengan beberapa ciri: menginfakkan hartanya di saat lapang ataupun sempit; mampu menahan amarah; mudah memaafkan kesalahan orang lain; jika melakukan dosa segera ingat kepada Allah SWT dan memohon ampunan-Nya; tidak meneruskan perbuatan dosanya (QS Ali Imran [3]: 133-135).

Tentu masih banyak sifat orang bertakwa yang disebutkan di dalam al-Quran maupun as-Sunnnah. Yang pasti, semua sifat tersebut sejatinya melekat pada siapapun yang dikategorikan bertakwa.

Adapun frase haytsuma kunta maknanya adalah: di tempat manapun kamu berada, baik dilihat manusia ataupun tidak (Ismail bin Muhammad al-Anshari, At-Tuhfah ar-Rabbaniyyah Syarh al-Arba'in an-Nawawiyyah, hlm. 18).

Secara lebih rinci dapat dijelaskan, bahwa kata haytsu bisa merujuk pada tiga: tempat (makan), waktu (zaman) dan keadaan (hal).

Karena itu sabda Baginda Rasul saw. kepada Muadz ra. tersebut sebagai isyarat agar ia bertakwa kepada Allah SWT tidak hanya di Madinah: saat turunnya wahyu-Nya, saat ada bersama beliau, juga saat dekat dengan Masjid Nabi saw. Namun, hendaklah ia bertakwa kepada Allah SWT di mana pun, kapan pun dalam keadaan bagaimana pun  ('Athiyah bin Muhammad Salim, Syarh al-Arba'in an-Nawawiyyah, 42/4-8).

Alhasil, kita pun sejatinya bertakwa tidak hanya saat berada pada bulan Ramadhan saja, yang kebetulan akan segera kita lalui, tetapi juga di luar Ramadhan selama sebelas bulan berikutnya.

Wama tawfiqi illa bilLah wa 'alayhi tawakkaltu wa ilayhi unib. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar